Gus Dur, Gus Mutawakkil, dan Kitab Al-Hikam yang Hilang
Kisah Gus Mutawakkil, Pengasuh Pondok Genggong, Probolinggo, yang ketakutan karena merasa menghilangkan titipan Gus Dur.
Rumah Baca Orid – Di Probolinggo, Jawa Timur, ada pesantren yang sudah berdiri sejak tahun 1839 Masehi. Pesantren Zainul Hasan Genggong namanya, atau lebih dikenal dengan sebutan Pondok Genggong. Sebuah pesantren yang lebih tua daripada beberapa pesantren legendaris seperti Pondok Al-Munawwir Krapyak sampai Pondok Tebuireng Jombang.
Karena termasuk pesantren “sepuh”, sudah sewajarnya jika K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyempatkan diri untuk berkunjung. Saat kunjungan tersebut Gus Dur tidak datang sendiri, ia datang bersama dengan Dr. Muhammad Athaillah S.H., seorang intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) yang kala itu (sekitar tahun 1990-an akhir) masih bekerja di LIPI Jakarta.
Meskipun saat itu Gus Dur belum menjadi seorang presiden, reputasi cucu K.H. Hasyim Asy’ari ini sudah dikenal di mana-mana. Terlebih di seluruh penjuru daerah di Jawa Timur. Hampir tidak ada orang yang tidak kenal siapa Gus Dur. Untuk itulah K.H. Moh. Hasan Mutawakkil ‘Alallah, atau biasa disapa Gus Mutawakkil, menyambut dengan gegap gempita kedatangan rombongan Gus Dur di Pondok Genggong yang diasuhnya.
Kebetulan kunjungan Gus Dur ke Pondok Genggong bebarengan sebuah acara di pondok. Suasana pun jadi cukup ramai, bahkan riuh, sehingga lumayan sulit mendengar percakapan orang lain.
Saat itu Gus Dur sudah menjabat sebagai Ketua Umum PBNU, kebetulan hari itu memang ada agenda kunjungan Gus Dur ke beberapa pesantren di daerah Jawa Timur. Pondok Genggong hanya satu dari agenda kunjungan tersebut. Khawatir besok terlalu capek karena masih ada kunjungan ke pesantren lain, Gus Dur pun undur diri terlebih dahulu ke Gus Mutawakkil.
“Gus, Gus Mutawakkil,” panggil Gus Dur.
“Iya, Gus?” balas Gus Mutawakkil.
“Aku pamit dulu, ya? Mau kunjungan ke pesantren-pesantren yang lain. Aku titip Hikam, ya?” kata Gus Dur langsung berlalu.
“Oh, injih, Gus,” kata Gus Mutawakkil.
Barangkali karena Gus Mutawakkil juga ikut sibuk mengurusi tamu-tamu yang lain, ia tidak cukup memerhatikan apa yang dikatakan Gus Dur barusan. Suasana cukup ramai dan lalu lalang banyak orang menyalaminya, membuat Gus Mutawakkil agak sedikit kerepotan. Masalahnya, setelah suasana tenang karena prosesi acara sudah selesai, Gus Mutawakkil malah telanjur ketiduran di ndalem (kediaman)-nya karena kecapekan.
Pada pagi harinya, seluruh santri kebingungan melihat Gus Mutawakkil panik. Pengasuh Pondok Genggong ini terlihat bolak-balik mengitari pesantrennya. Juga naik turun rumahnya yang dua lantai. Melihat satu per satu kursi yang digunakan acara tadi malam. Gus Mutawakkil pun memanggil beberapa santri-santrinya.
“Anu, Kang, tolong carikan Kitab Al-Hikam. Tadi malam Gus Dur titip kitab itu. Tapi saya enggak tahu naruhnya di mana,” kata Gus Mutawakkil kepada santri-santrinya.
Akhirnya pencarian di seluruh pesantren pun dimulai. Para santri ikut mencarikan kitab Al-Hikam yang dititipi Gus Dur. Kitab ini merupakan kitab tasawuf yang dikarang oleh Syaikh Ibnu Atha’illah al-Sakandari, seorang ulama produktif dari Mesir pada era kekuasaan Dinasti Mamluk. Sebuah kitab favorit bagi banyak kiai karena kandungan isinya yang menarik dan termasuk salah satu kitab yang diajarkan di banyak pesantren tradisional.
Setelah dicari beberapa jam, ternyata kitab Al-Hikam yang dimaksud tidak ketemu juga. Sampai akhirnya datanglah K.H. Nukman Hamid alias Gus Nukman dari Pasuruan yang kebetulan juga tidur di Pondok Gonggong. Gus Nukman heran dengan Gus Mutawakkil yang dari tadi berseliweran hilir mudik melewati pintu kamar tidur tamu.
Sudah jadi tradisi di pesantren tradisional memang, jika sedang ada hajatan, pondok pesantren pasti menyediakan kamar tidur untuk para tamu yang menginap. Kebiasaan yang juga akan diikuti oleh para gus atau para kiai yang kemalaman untuk pulang saat bertamu di sebuah pondok pesantren. Dan karena pernah sama-sama mondok, tidur di atas karpet atau alas ala kadarnya tidak pernah jadi masalah bagi para kiai ini.
“Ada apa toh, Gus? Kok kelihatan repot banget? Nyari apa?” kata Gus Nukman dari depan kamar tidur tamu.
Masih dengan wajah panik, Gus Mutawakkil pun menjelaskan duduk perkaranya.
“Aku tadi malam dititipi Gus Dur Kitab al-Hikam. Di mana, ya, naruhnya? Waduh, aku kok ya enggak tanya dulu kitabnya ditaruh di mana sama Gus Dur,” kata Gus Mutawakkil masih bingung. “Bisa dimarahi aku nanti,” tambahnya.
Gus Nukman pun tersenyum, “Walah, sampeyan itu bagaimana, toh? Maksudnya Gus Dur titip Hikam tadi malam itu Gus Hikam ini,” tunjuk Gus Nukman sambil menunjuk sosok yang sedang tiduran di atas karpet di dalam kamar tidur tamu.
Tentu saja Gus Mutawakkil bingung, sebab yang ditunjuk Gus Nukman adalah Dr. Muhammad Athaillah S.H., tamu yang tadi malam datang bareng Gus Dur.
“Lho, nama sampeyan siapa, Kang?” tanya Gus Mutawakkil.
“Hikam, Gus,” kata orang yang ditanya.
Setelah dicek, ternyata nama lengkapnya adalah Muhammad Athaillah Shahibul Hikam. “Hikam” adalah nama belakangnya. Jadi yang dimaksud tadi malam adalah: Gus Hikam dititipkan agar tidur di pondok karena tidak ikut keliling kunjungan pesantren berikutnya bareng Gus Dur.
“Masya Allah, aku kira Hikam itu Al-Hikam karangan Ibnu Atha’illah,” kata Gus Mutawakkil. (tirto.id)