Ternyata, Sultan Abdurrahman Sahabat Stamford Raffles
Sumenep, Rumah Baca Orid
Bangsawan asal Bangkalan, Madura, R Harunur Rasyid, yang ikut meneliti seni ukir dan sejarah Sumenep dalam bukunya yang berjudul Membaca Sejarah Sumenep dari Seni Ukir Sumenep, menjelaskan, setiap ukiran yang ada di sudut petilasan bangunan kuno Sumenep punya nilai sastra tinggi dan bercerita tentang sejarah di sekitarnya. Artinya, di balik pembangunan masjid tersebut ada tokoh cendekiawan mumpuni yang memainkan peran di balik pendirian Masjid Agung Keraton Sumenep.
Gubenur Jenderal Batavia Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java, pada lempeng ke-21 menyebutkan, di Pulau Jawa terdapat seorang sultan yang piawai dalam membuat dan membaca bahasa sandi kuno. Ia juga ahli strategi perang, ahli botani, dan menguasai bahasa Belanda, Inggris, Jawi Kuno, dan Sansekerta.
Raffles menyebut dalam buku yang ditulisnya itu adalah nama “Sultan Abdurrahman Pakunatan Ningrat”, putra Panembahan Somala. Sang Sultan inilah yang menjadi otak seni arsitektur Sumenep, khususnya pada ukiran yang berbentuk bunga. Sebab, dilihat dari motif kembang yang menjadi penghias banyak bangunan kuno di Sumenep, sama sekali tidak terlihat adanya motif bunga lokal Madura atau Jawa.
Banyak para ahli memastikan, motif ukiran bunga yang asing bagi mata masyarakat Madura itu dipenga ruhi oleh pengalaman Sultan Abdurrahman Pakunatan Ningrat yang kerap diajak Raffles keliling nusantara untuk meneliti tanaman Indonesia dan membuat ensiklopedia aneka tanaman tropis. Bahkan, Raffles yang selama bertahun-tahun tidak bisa memecahkan prasasti kuno di Bali, berkat bantuan Sultan Abdurrahman Pakunatan Ningrat, sandi itu akhirnya bisa dibaca.
Ir Zein MPW, dosen arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, yang saat itu mengungkap pertama kali keberadaan nama Sultan Abdurrahman Pakunatan Ningrat dalam buku The History of Java, menjelaskan bahwa Raffles dalam bukunya setebal hampir tiga meter itu tidak pernah menyebut nama raja-raja lain di Pulau Jawa. Yang disebutnya hanya Sultan Abdurrahman Pakunatan Ningrat.
Hanya saja, Raffles tidak menyebut secara khusus bahwa Sultan berasal dari Sumenep, karena Madura saat itu dalam beberapa literatur, disebutnya sebagai Ekor Pulau Jawa. Sama seperti halnya penyebutan oleh Helene Bouvier, sarjana etnologi Universite de Paris (Prancis), yang tidak menyebutnya Madura, tapi sebagai Ekor Pulau Jawa.
Kepiawaian lainnya Sang Sultan -yang hingga kini terawat dan mendapat perhatian khusus dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) Jakarta- yakni 17 judul kitab ukuran tebal tulisan tangan Sultan. Itu merupakan karya besar kitab-kitab klasik yang bisa disaksikan di Museum Sumenep hingga kini, berjudul seperti Hizbul Watan, Jihad Sabilillah, dan Minhajul Qowwin.
Huub De Jongnge, pakar sejarah asal Belanda yang lama bermukim di Madura untuk kegiatan penelitiannya, menuturkan, pada kesempatan hari jadi Kota Sumenep dua tahun silam bahwa prinsip keterbukaan masyarakat Madura, khususnya Sumenep, tecermin dari pemimpin kerajaan pada saat itu. Terbukti, Sultan Abdurrahman Pakunatan Ningrat ternyata bisa bersahabat dengan Raffles dan bisa menerima Law Phia Ngo menjadi arsitektur tempat ibadah Muslim Sumenep hingga kompleks kuburan sesepuhnya.
Orang Madura menjadi keras dan brutal. Menurut dia, manakala terkait dengan sirri, cemburu karena agama, misalnya, simbol-simbol agamanya dihina, istri diganggu, dan harga diri mereka diinjak-injak secara tidak adil.
“Orang Madura sama saja dengan bangsa Indonesia lainnya. Yang berbeda dari mereka adalah sangat reaktif jika masalah sirri,” ujar Hub De Jongnge. Hal itu dilatarbelakangi kehidupan orang Madura yang berada di kawasan pulau tandus berkapur sehingga alam menempanya dengan keras pula. (lontarmadura/fairozi)