Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ma'ruf Amin dan Arus Baru Ekonomi Indonesia


KIAI
Haji Ma’ruf Amin dikenal luas sebagai ulama dan politisi Indonesia. Dia Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Rais ‘Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU). Selain itu, Kiai Ma’ruf juga diakui sebagai seorang cendekiawan muslim dengan kedalaman dan keluasan ilmu di bidang fikih dan syariah Islam, khususnya di bidang ekonomi syariah. Maka tak heran bila sejak awal didaulat sebagai calon wakil presiden untuk mendampingi petahana Presiden Joko Widodo, Kiai Ma’ruf langsung memaparkan gagasannya mengenai strategi pembangunan ekonomi Indonesia ke depan.

Ma’ruf menamai gagasannya tersebut dengan Arus Baru Ekonomi Indonesia. Suatu gagasan konseptual yang telah dilengkapi pula dengan rekomendasi program, sehingga untuk selanjutnya secara ringan dapat dilabeli dengan istilah Ma’rufnomics.

Secara garis besar Arus Baru Ekonomi Indonesia atau Ma’rufnomics tersebut, sesuai penjelasan Kiai Ma’ruf sendiri dalam beberapa kesempatan, disandarkan kepada Sila ke-5 Pancasila yang wujudnya adalah ekonomi kerakyatan yang berkeadilan sosial. Titik penekanannya adalah dengan meratakan kesenjangan antara si kaya dengan si miskin, yang kuat dengan yang lemah, antardaerah dan antara produk lokal dengan global. Membangun yang lemah bukan dengan melemahkan yang kuat, apalagi dengan membenturkan yang lemah dengan yang kuat. Membangun yang lemah dengan menguatkan yang lemah melalui kolaborasi kemitraan antara yang kuat dengan yang lemah. Sehingga output-nya adalah kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Ketimpangan Ekonomi

Penekanan Kiai Ma’ruf terhadap persoalan ketimpangan ekonomi ini menemukan pijakannya pada realitas yang ada. Data menunjukkan bahwa kekayaan 50 persen penduduk Indonesia terus menurun dalam lima tahun terakhir, dari 3,8 persen total kekayaan nasional menjadi 2,8 persen. Hal ini tercermin pula pada penguasaan 1 persen penduduk terkaya terhadap 45 persen kekayaan nasional. Sebagaimana lembaga Oxfam International dalam laporannya pada 2017 mengilustrasikan “Empat miliarder terkaya Indonesia memiliki kekayaan lebih dari gabungan 100 juta orang termiskin.”

Laporan Oxfam juga mengungkap telah terjadi konsentrasi kekayaan pada kelompok kaya di Indonesia dalam 15 tahun terakhir. Kekayaan tersebut sebagian besarnya diperoleh dari sumber daya alam dan komoditas seperti kelapa sawit, batu bara, dan mineral lainnya. Selain itu, kekayaan mereka juga diperoleh dari sektor keuangan, teknologi komunikasi, dan multimedia. Kelompok kaya tersebut telah menggabungkan kekayaan senilai 49,8 miliar dolar AS, sementara 84 persen penduduk Indonesia lainnya memiliki kekayaan yang kurang dari 10 ribu dolar AS. Tidaklah mengejutkan ketika Credit Suisse pada 2016 menobatkan Indonesia memiliki ketimpangan pendapatan terburuk keenam dunia setelah Rusia, Denmark, India, Amerika, dan Thailand.

Isu ketimpangan inilah yang memperlambat upaya peningkatan angka pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan. Ketimpangan juga mengancam kohesi sosial serta memicu dorongan untuk terlibat paham radikalisme dan terorisme. Presiden Jokowi sendiri memang telah berupaya mengurangi ketimpangan tersebut, meskipun keberhasilannya belum terlalu dapat dirasakan.

Ekonomi Umat

Istilah ekonomi umat sebenarnya merujuk pada ekonomi berbasiskan nilai universal. Umat yang dimaksud tentunya adalah seluruh umat beragama yang saling berinteraksi dalam bingkai Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ekonomi umat bukanlah milik umat Islam semata. Ketika ekonomi umat dikembangkan dalam koridor umat Islam sebagai mayoritas, tidak berarti mengesampingkan umat minoritas lainnya. Mengembangkan ekonomi umat berarti memberdayakan semuanya, menitikberatkan pada pemerataan, keadilan sosial, dan kepedulian guna memperkecil ketimpangan ekonomi saat ini.

Ekonomi umat telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam 30 tahun terakhir. Ia berkembang dalam bentuk lembaga perbankan syariah dan telah diadaptasi oleh lembaga keuangan lainnya seperti sektor asuransi, pegadaian, hingga pasar modal dan pasar komoditas berbasis syariah. Peningkatan terjadi tidak hanya dalam hal aset, namun juga dalam variasi produk, kesadaran, dan pemahaman terhadap keuangan syariah di kalangan pelaku industri dan masyarakat, serta kerangka regulasi yang relatif sudah lengkap dan komprehensif.

Fatwa MUI tentang keharaman bunga bank ditengarai turut mempengaruhi secara positif pertumbuhan ekonomi umat terutama di sektor perbankan syariah. Setelahnya, terjadi pergeseran dana masyarakat yang signifikan dari bank konvensional ke bank syariah. Perkembangan perbankan syariah ini didukung tidak hanya oleh pemerintah pusat, melainkan pula oleh pemerintah daerah.

Misal pada 2016 telah dilakukan konversi Bank Pembangunan Daerah Aceh (Bank Aceh) yang memiliki aset senilai Rp 20 triliun menjadi bank syariah. Selanjutnya menyusul rencana Bank Pembangunan Daerah NTB untuk melakukan konversi ke perbankan syariah. Aksi korporasi serupa tentu akan dapat terus meningkatkan pangsa pasar perbankan syariah yang per Desember 2017 telah mencapai 5,33 persen.

Perkembangan kinerja keuangan syariah tidak hanya terjadi pada sektor perbankan, namun juga pada asuransi syariah, pembiayaan syariah, dan pasar modal syariah (berupa produk sukuk, reksadana syariah, dan sukuk negara syariah), serta lembaga keuangan non-bank syariah lainnya. Selain pangsa pasar perbankan syariah sebesar 5,33 persen, sukuk negara telah mencapai 14,82 persen, sukuk korporasi mencapai 3,99 persen, reksadana syariah mencapai 4,40 persen, lembaga pembiayaan syariah mencapai 7,24 persen, lembaga keuangan syariah mencapai 9,93 persen, lembaga keuangan mikro syariah mencapai 22,26 persen, dan asuransi syariah mencapai 3,44 persen. Jika saham emiten dan perusahaan publik yang memenuhi kriteria syariah juga dimasukkan, maka produk keuangan tersebut telah mencapai 55,13 persen dari total kapitalisasi pasar saham yang tercatat di Bursa efek Indonesia.

Sementara di sektor riil masih ditemukan berbagai tantangan dan persoalan. Diperlukan redistribusi dan optimalisasi sumber daya alam secara arif dan berkelanjutan. Koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah juga perlu digerakkan untuk mampu menjadi pelaku usaha di kancah perekonomian nasional. Kemitraan yang sejajar dan memberdayakan perlu dibangun antara usaha besar dengan usaha kecil dalam suatu sistem produksi dan pasar yang terintegrasi.

Terobosan

Salah satu terobosan dalam merevitalisasi ekonomi umat adalah penyaluran kredit ultramikro oleh pemerintah. Terdapat anggaran sejumlah Rp 1,5 triliun berupa investasi pemerintah yang diperuntukkan bagi lapangan usaha pada level di bawah usaha mikro (ultramikro) yang tidak dijangkau oleh program KUR dan sejenisnya. Kredit ultramikro ini dibuat sebagai evaluasi terhadap program KUR yang banyak kelemahan.

Salah satu kelemahan KUR adalah penggunaan instrumen perbankan dalam penyalurannya dengan berbagai kerumitan persyaratan dan administrasi. Sementara pelaku usaha mikro dan kecil hampir seluruhnya tidak bankable. Sedangkan kredit ultramikro disalurkan melalui lembaga keuangan bukan bank, seperti koperasi, BMT, dan koperasi pesantren.

Salah satu peran Kiai Ma’ruf yang saya ketahui adalah mendorong agar porsi terbesar penyaluran kredit ultramikro tersebut dapat dilakukan melalui NU, Muhammadiyah, dan lembaga-lembaga keumatan lainnya. Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam rekomendasi Kongres Ekonomi Umat 2017 yang diselenggarakan oleh MUI di Jakarta pada April 2017 yang lalu.

Ketika Ma’rufnomics bertujuan untuk mengatasi ketimpangan guna mewujudkan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan, maka ia sejatinya merevitalisasi ekonomi umat. Dalam hal ini, inklusivitas program adalah ciri utama dari revitalisasi ekonomi umat. Oleh karenanya, bila Ma’rufnomics ingin sungguh-sungguh dijadikan arus baru ekonomi Indonesia, maka perlu senantiasa ditekankan keberpihakannya dalam membangun sistem perekonomian nasional yang adil, merata, dan mandiri dalam mengatasi kesenjangan ekonomi. (*)

*Rama Pratama, kandidat Doktor FEB UI dan Direktur Eksekutif Narasi Institute.