Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Halaman Gelap Modernitas Jepang


Oleh: Puri Bakthawar*

MEMBACA lembar-lembar kemajuan peradaban manusia, kita acap melewatkan halaman-halaman gelap paradoks di baliknya. Lebih dulu kita disilaukan, oleh gedung-gedung megah yang menjulang atau mobil-mobil mewah yang mengundang decak kagum. Kerap kita lupa, bahwa di balik tiap raihan prestasi, ada rasa sakit yang mesti dibayar. Jepang, negeri yang kini berdiri sebagai garda depan teknologi, punya pengalaman panjang untuk hal ini.

Novel Kappa ditulis pada tahun 1927, dalam kurun di mana Jepang menikmati modernisasi pasca Restorasi Meiji. Di era yang sering disebut sebagai Demokrasi Taisho ini, stabilitas politik terjaga dan demokratisasi publik lewat media massa berkembang. Keterbukaan ekonomi dan percepatan industri memicu kenaikan tingkat kesejahteraan. Implikasinya, warga Jepang mampu untuk mengakses pendidikan tinggi. Dengan literasi ilmu pengetahuan, Jepang secara berangsur menjadi kekuatan dari Timur jauh yang diperhitungkan, hingga menjelang Perang Dunia I.

Meski demikian, di balik capaian indah itu tersembunyi lorong-lorong gelap. Individualisme menjalar seiring dengan modernisasi. Nilai-nilai tradisional seperti kesetiaan dan solidaritas terus terpinggir. Keluarga bukan lagi hal yang dekat, melainkan asing lagi jauh. Manusia berjalan maju, menyulap rimba belantara menjadi gedung pencakar langit, namun seakan tak tahu kapan dan ke mana akan pulang.

Si Gila yang Terasing dalam Ilusi Modernitas

Suatu kali, pasien nomor 23 sebuah Rumah Sakit Jiwa di desa S di luar kota Tokyo bercerita pada tokoh aku, yang kemudian merekam kisah tersebut pada sebuah buku harian. Si gila itu, tiga tahun sebelumnya, mendaki gunung Hodaka melalui lembah Azusagawa yang sempit di sebuah pagi berkabut. Pada saat itulah, untuk pertama kali dalam hidupnya, ia melihat Kappa. Makhluk itu, samar-samar dalam penglihatan si gila, berdiri di atas karang dengan satu tangan menggelayut pada sebatang pohon, sambil memandangi si gila dengan rasa ingin tahu yang teramat (hal 7).

Siapakah Kappa? Kappa mirip anak manusia berumur 10 tahun namun berkulit hijau. Mereka biasa telanjang. Berdirinya tegak, bertempurung kura-kura, dan memiliki mulut berbentuk paruh burung. Kappa berjenis amfibi, hidup di sungai, dan biasa keluar pada malam hari untuk mencuri apel dari ladang-ladang penduduk. Mereka cukup kuat, bahkan untuk menggeret seekor lembu atau kuda ke dalam air, lantas mengisap darah hewan tersebut hidup-hidup. Kappa mampu bicara bahasa manusia (hal 2).

Karena penasaran, si gila mendekati Kappa dan berusaha menangkapnya. Namun makhluk aneh itu segera berlari. Gesit, tak kalah lincah dari pergerakan seekor kera. Si gila mengejar Kappa sekuat tenaga, hingga akhirnya pada sebuah pekarangan bambu, Kappa terdesak. Si gila tersenyum menyeringai, ia bersiap melompat dan menerkam Kappa. Tetapi rupanya ada suatu lubang, atau entah apa, yang tidak dilihatnya. Ketika ia hampir berhasil menyentuh kulit Kappa, terlebih dulu ia terperosok ke dalam lubang itu, yang membawanya pada sebuah dunia yang tak pernah diketahuinya. Dunia Kappa (hal 8).

*
Ryunosuke Akutagawa, penulis Kappa, lahir pada tahun 1892 dari keturunan samurai kuno. Ibunya mengalami kemunduran mental saat Ryunosuke berumur 9 tahun. Ayahnya, seorang pedagang susu di distrik Tsukiji, menyerahkan kepengasuhan Ryunosuke pada pamannya dari garis ibu, di mana pada akhirnya Ryunosuke mendapatkan nama keluarga Akutagawa. Tumbuh besar tanpa orang tua kandung, Ryunosuke kecil menjadi sensitif, sulit bergaul, dan tidak mudah percaya pada orang lain.

Ia menulis Kappa sebagai karikatur masyarakat Jepang yang tengah menentukan arah. Dunia Kappa digambarkannya sebagai parodi atas tatanan masyarakat yang hiperaktif dan terobsesi pada pembangunan, namun mengalami krisis kekosongan jiwa. Akutagawa mengungkapkan sinismenya pada modernisasi yang berbasis pada dunia materiil. Materialisme, yang diejawantahkannya berupa pembangunan fisik dan sirkulasi uang, mengikis habis nilai kemanusiaan yang disimbolkannya dalam tokoh si gila. Digambarkan bahwa si gila mengalami kegagapan terhadap segala macam bentuk kemajuan. Modernisasi tidak membuat ia bahagia, tapi justru membuat jiwanya kelelahan, seolah terus menerus dikejar oleh suatu hal yang tak tampak.

Si gila berusaha mencari kebahagiaan. Lewat filsafat, syair, agama, maupun hal lain yang dianggapnya dapat memberi jawaban. Namun, definisi terbaik mengenai kebahagiaan yang diperolehnya hanyalah memori masa lalu, yakni pada masa kecilnya: bermain-main air di sebuah telaga yang jernih. Menjelang masa dewasa, kebahagiaan akan terampas secara berangsur-angsur, tanpa dapat ditawar dan dikembalikan lagi.

Modernisasi, dalam pandangan Akutagawa, adalah sebuah bencana. Modernisasi adalah monster yang menculik jiwa-jiwa manusia di pagi hari dan melahapnya tanpa ampun ketika waktu menjelang senja. Keberhasilan Jepang bertransformasi menjadi sebuah negeri modern, setelah sebelumnya mengalami konflik politik dan perang saudara berkepanjangan, dilihatnya secara pesimis sebagai usaha yang semu dalam menemukan kembali hakikat kemanusiaan. Jepang, sebagaimana kita tahu, tersohor sebagai negeri dengan segudang inovasi di bidang teknologi. Namun di sisi lain, Jepang juga termasuk dalam kategori negara dengan angka bunuh diri tertinggi.

**
Menyelesaikan halaman terakhir Kappa, kita kembali dihadapkan pada pertanyaan klasik, yang seolah tak relevan lagi dalam hiruk pikuk kehidupan modern: untuk apakah manusia hidup di dunia?, dan apakah manusia hidup berbahagia?

Intelektual muda Indonesia yang legendaris, mendiang Soe Hok Gie, di waktu-waktu terakhir hidupnya bahkan pernah berujar, “Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, atau dilahirkan untuk lantas mati muda”.

Ryunosuke Akutagawa mati bunuh diri pada tahun 1927 dengan menenggak barbital, sejenis pil tidur berdosis tinggi untuk mengusir halusinasi akut dan depresi yang telah lama mengganggunya. Pada catatan terakhirnya, ia menulis dengan nada murung: “Aku tak ingin melihat masa depan dalam kesendirian. Rasa sepi telah merampas sejumput kebahagiaan, dan aku tak ingin terkurung dalam bayang-bayang tidak beralasan ini”.

Ia masih berusia 35 tahun pada waktu itu. (*)

*Lahir di Salatiga, 7 November 1990. Sekarang sedang menempuh studi dan menjadi Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya UGM. Mencintai buku-buku dan dunia cerita. Beliau dapat dihubungi melalui HP: 0813-2983-0905, Email: puribakthawar@gmail.com, Twitter: @puribakthawar


Kappa 

Data Buku
Judul: Kappa
Penulis: Ryunosuke Akutagawa
Penerjemah: Winarta Adisubrata
Peresensi: Puri Bakthawar
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Cetakan: I, Juni 2016
Tebal: 83 halaman
ISBN: 978-602-424-095-0