Gus Mus: Tak Seharusnya Menyombongkan dan Merasa Benar Sendiri
Jakarta, Rumah Baca Orid
Kiai Mustofa Bisri, yang biasa disapa Gus Mus, mengkritisi mereka membawa agama ke panggung politik.
Dilansir dari Kompas, Hal itu disampaikannya saat tampil pada acara Mata Najwa, bersama Quraish Shihab, yang ditayangkan Metro TV, Rabu (21/6/2017) malam.
Gus Mus menjawab pertanyaan presenter Najwa Shihab soal agama dan politik.
Najwa menanyakan soal pernyataan Gus Mus dalam akun Twitter-nya yang pernah menyinggung soal pihak-pihak yang menyeret agama dalam urusan politik, khususnya Pilkada.
“Ya kan itu keterlaluan. Pilkada itu apa sih? Anda berkali-kali katakan “Allahu Akbar”. Anda kira Allah itu seberapa besar? Apa sama dengan Masjid Akbar di Surabaya itu? Apa sama dengan rapat akbar, pengajian akbar? Anda buka Youtube, klik kata kunci ‘bumi’, Anda akan tahu besarnya bumi ini. Dan seberapa besarnya alam ciptaan-Nya ini. Bumi itu kecil sekali,” kata Gus Mus.
“Saya ibaratnya biji kacang hijau. Di mana DKI dalam kacang hijau itu? Di mana TPS-TPS dalam kacang hijau itu? Kalau kita katakan “Allahu Akbar”, dan kita belum bisa mengecilkan diri kita sendiri, kita belum menghayati “Allahu Akbar”, kecuali untuk demo saja,” lanjut dia.
Ia mengingatkan, tak seharusnya ada kesombongan dan kelompok yang merasa benar sendiri.
“Jadi kalau ada orang yang sombong, petentang-petenteng, merasa benar sendiri, saya ketawa. Biji kacang hijau kok petentang-petenteng,” kata Gus Mus.
Sementara itu, Qurais Shihab mengingatkan, hendaknya manusia bersikap rendah hati saat berhadapan dengan siapapun.
“Orang yang lebih rendah dari Anda, bisa jadi punya pengetahuan yangAanda tidak tahu. Profesor, banyak hal yang dia tidak tahu. Boleh jadi, pembantu, sopir, lebih pandai dari dia. Kita diciptakan dari tanah, supaya kita rendah hati. Iblis dari api, sehingga dia merasa tinggi hati. Tanah walau diinjak-injak, tapi menumbuhkan tumbuhan. Manusia begitu, semakin rendah hati, semakin terbuka hatinya untuk menerima kebenaran, memancarkan cahaya,” kata Quraish Shihab.
Meneladani Rasul
Gus Mus juga mengatakan, Muslim yang menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai panutannya, pasti akan menjadi seorang yang toleran.
Ia menyampaikan hal itu menjawab pertanyaan Najwa mengenai bagaimana seharusnya hidup bersama di tengah perbedaan.
“Kalau orang Islam, mengikuti Kanjeng Nabi, Rasulullah SAW, pemimpin agungnya, dia akan toleran,” kata Gus Mus.
Ia mengingatkan, agar setiap individu terus meningkatkan pengetahuannya dan tak pernah berhenti belajar.
“Kalau tidak ngerti, mencari tahu, itu lebih baik. Maka saya selalu mengatakan, mbok belajar terus, jangan berhenti belajar. Kalau membela keyakinan, ya belajar soal keyakinan Anda. Kenal enggak sama pembawa keyakinan ini? Kenal sama Rasulullah enggak? Kenal Rasulullah ya melalui ilmu. Nabi itu bersabda, selama orang itu masih belajar, orang itu pandai. Ketika orang itu berhenti belajar karena merasa pandai, mulailah dia menjadi bodoh,” papar Gus Mus.
Qurais Shihab berpendapat, kehidupan tak mungkin tanpa perbedaan. Akan tetapi, perbedaan itu seharusnya ada titik temu. Tidak ada yang merasa paling benar.
“Kanjeng Nabi itu seringkali membenarkan dua atau lebih pendapat yang berbeda-beda, semua benar. Karena kita tidak bisa hidup tanpa perbedaan. Agama mengatakan, cari titik temu. Kita sebagai bangsa sudah ada titik temunya. Dulu, ada yang mau negara ini sekuler, ada yang mau negara agama. Kita punya titik temu, Pancasila,” ujar Quraish Shihab.
Keduanya juga mengingatkan, agar syiar agama disampaikan dengan cara yang teduh, sehingga mereka yang menerimanya akan mendapatkan hidayah.
“Dakwah itu kan mengajak, mengajak itu bernuansa merayu, membujuk,” kata Gus Mus.