Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hamba-Hamba Allah yang Cerdas


“Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik,” (QS. ar-Ra’d: 29).

ADA makna yang begitu dalam, perihal syair yang disebutkan pada muqoddimah kitab Riyadhus Shalihin karya Syaikh Imam an-Nawawi, “Innalillahi ‘ibadan futhona, tholaqu ad-dunya wa khoful fitana, nadhoru fiha falamma ‘alimu, annaha laisat lihayyin wathona, ja’aluha lujjatan wattakhodzu, sholihal a’mali fiha sufuna.” Artinya kurang lebih demikian, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memiliki hamba-hamba yang cerdas lagi bijaksana. Ialah mereka yang menceraikan dunia karena khawatir akan tipu daya dan fitnahnya. Mereka benar-benar melihat dan mengetahui, bahwa sesungguhnya dunia bukanlah tempat hidup yang sebenarnya bagi manusia. Mereka melihat dunia sebagai bahtera lautan yang sangat dalam dan menjadikan amal saleh sebagai perahu untuk mengarunginya.

Siapakah hamba-hamba yang cerdas lagi bijaksana itu? Mereka adalah anak manusia yang berhasil menyelesaikan misinya yang agung sebagai hamba Tuhan dalam mengarungi dalamnya lautan dunia. Mereka menthalaq atau menceraikan dunia dari hatinya yang telah membelenggunya dalam menemukan kebenaran yang seutuhnya.

Sungguh, dunia bukanlah tempat hidup yang sebenarnya bagi manusia. Dunia dengan segala kesusahan, kepenatan, kemiskinan, kehinaan, kelaparan, kematian, bencana, kengerian, kebosanan, kebinasaan, kesakitan, bukanlah tempat yang sesungguhnya bagi manusia. Ada tempat sejati yang telah dijanjikan dan disediakan bagi umat manusia. Tempat itu adalah Surga. Sebagaimana dikisahkan dalam penciptaan manusia yang pertama, yaitu Nabi Adam dan Ibu Hawa. Tempat manusia yang sebenarnya adalah Surga. Merupakan tanah kelahiran, kampung halaman, sekaligus tempat kembali bagi umat manusia yang sejati. Hanya karena tergoda tipu daya iblis, maka Nabi Adam dan Ibu Hawa terusir dari Surga dan dicampakkan ke dunia yang penuh dengan kesusahan dan kengerian. Hingga akhirnya, selanjutnya anak cucu Nabi Adam harus menjalani hidup di tempat yang tidak sebenarnya, dunia.

Sementara, banyak manusia yang tidak ingin kembali ke kampung halamannya yang dahulu. Mereka lebih memilih dunia sebagai tempatnya hidup dan bersenang-senang. Mereka menjadikan dunia sebagai satu-satunya tempat kehidupan dan mereka serasa tak ingin mati. Padahal hampir setiap hari kita mendengar, diumumkan pada setiap masjid, manusia yang telah berpulang dan tak kembali lagi ke dunia, untuk melanjutkan perjalanannya yang maha panjang. Demikian, menunjukkan hidup manusia di dunia ini tidak selamanya, hanya sebatas tempat persinggahan sementara.

Sepintas mata, dunia memang begitu indah dan memesona. Namun, bagi hamba-hamba yang cerdas lagi bijaksana mereka mengerti, bahwa di dalamnya terdapat tipu muslihat dan fitnah yang begitu kejam. Sebagaimana kenikmatan buah khuldi yang di dalamnya terdapat tipu daya iblis untuk menggoda Nabi Adam dan Ibu Hawa. Manakala Nabi Adam dan Ibu Hawa memakan buah khuldi, seketika terbanglah pakaian surganya, hilanglah kemuliaannya, dikeluarkanlah mereka dari Surga, tempat manusia yang sejati.

Baca: Menjadi Santri yang Sesungguhnya

Hamba-hamba Allah yang cerdas melihat dunia sebagai bahtera lautan yang sangat dalam. Ada manusia yang menyelamatkan diri dengan menggunakan perahu berupa iman dalam mengarungi lautan untuk sampai ke dermaga pulau Surga. Ada manusia yang tidak berbekal apa-apa, dan ia segera terciduk oleh ombak lautan yang deras. Ada manusia yang menggunakan perahu iman, namun tiba-tiba di tengah perjalanan ia menenggelamkan diri ke lautan karena tergoda intan dan permata yang ada di dalamnya. Betapa, telah tenggelam di dalam bahtera lautan itu kebanyakan manusia yang terlupa akan tempat tujuan kembali, pulau Surga. Sedikit sekali manusia yang dengan sabar mendayung perahunya untuk bisa sampai ke dermaga Surga. Padahal, telah siapkan di sepanjang perjalanan manusia itu peta dan kompas kehidupan berupa firman Tuhan dan sabda Nabi Muhammad sebagai petunjuk jalan pulang. Namun, sebagian manusia mengabaikan dan lebih memilih mencari keindahan permata yang ada di dalam lautan.

Disebutkan dalam al-Quran surat ar-Ra’d ayat 22, “Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).” Jelas sudah, hanya orang-orang yang sabar dalam menjalankan kebaikan dan menyelamatkan imannya dari derasnya arus gelombang dan dalamnya lautan dunia, mereka yang akan kelak sampai di tempat kesudahan (Surga) yang baik.

Lanjutan ayat tersebut, “(yaitu) surga ´Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu.”

Hamba-hamba yang cerdas lagi bijaksana itu, disambut kedatangannya oleh malaikat penjaga Surga. Para malaikat itu memberi hormat dan mengucapkan salam kepada mereka, “Salaamun ‘alaikum, bimaa shobartum fani’ma ‘uqbaddaar. Selamat, selamat, wahai manusia-manusia yang cerdas. Selamat atas kesabaranmu dalam menjalankan kebaikan dan menjauhi kemungkaran di muka bumi, selamat atas kesabaranmu di dalam mengarungi derasnya lautan dunia, sungguh Surga telah menanti kedatanganmu, merupakan tempat kesudahan yang sejati bagi manusia-manusia yang cerdas.”

“(sambil mengucapkan salam): “Salamun ´alaikum bima shabartum”. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu,” (QS. ar-Ra’d: 24).

Sementara sisanya, manusia-manusia yang dungu, manusia-manusia yang bodoh, manusia yang tidak bersyukur dan menggunakan akalnya, mereka tak bisa pulang ke kampung halamannya. Ialah mereka yang merusak janjinya pada Tuhan setelah diikrarkan dengan teguh di alam ruh, mereka yang memutuskan segala apa yang telah diperintahkan oleh Allah, dan mereka yang berbuat kerusakan. Perjanjian antara Allah dan anak manusia di alam ruh disebutkan dalam al-Quran surat al-A’raaf ayat 172, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap janji ini (keesaan Tuhan)”

Sedemikian, manusia-manusia yang tidak cerdas itu telah siapkan tempat kembali yang sebenarnya pula, Neraka. Itulah sebagai balasan atas kegagalan menyelesaikan misinya yang agung sebagai seorang anak manusia dalam mengarungi lautan dunia.

Disebutkan dalam surat ar-Ra’d ayat 25, “Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).”

Lanjutan ayat tersebut, “…mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).”

Baca: Pesantren Adalah Sebuah Jawaban

Demikian, semoga kita tergolong sebagai hamba-hamba yang cerdas, yang tidak latah dan silau hanya dengan keindahan dan gemerlap dunia yang menipu. Akhirnya, hanya dengan bersabar dalam menanam kebaikan dan menepis segala kemungkaran, berpegang teguh pada agama Allah, dan selalu mengingat-Nya yang dapat menyelamatkan iman kita dari deras dan dalamnya lautan dunia. “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram,” (QS. ar-Ra’d: 28).

*M. Fahmi, sedang menempuh studi jurusan Matematika di UIN Maliki Malang dan menetap di PP. Anwarul Huda Karangbesuki Malang.