Gender dan Agama Para Pahlawan Nasional
Rumah Baca Orid
Sebelum menetap di kawasan Cendana, Soeharto tinggal di kawasan Gambir. Letaknya tak jauh dari lokasi Monumen Nasional saat ini. Rumah Soeharto saat itu sederhana dan tanpa pembantu. Pada satu waktu, tahun 1965, anaknya, Hutomo Mandala Putra alias Tommy tersiram sup.
“Saya lihat Mbakyu Harto repot. Tommy dirawat dan di rumah mereka tidak punya pembantu. Mbok Darmi, pembantu saya, kami antarkan ke rumah Mas Harto. Waktu itu beliau masih tinggal di Jalan Abdul Muis, belakang Sarinah. Kebetulan, ketika kami sedang ngantar pembantu, Kolonel Latief juga datang bertamu,” ucap Soejoto, sebagaimana ditulis Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang (2010).
Kenangan sederhana Soejoto itu sesungguhnya dahsyat. Nama jalan yang ia sebutkan, Abdul Muis, adalah orang Indonesia yang kali pertama diberi gelar pahlawan. Laki-laki yang juga pemimpin redaksi Harian Kaoem Moeda itu adalah pengurus besar Sarekat Islam. Muis juga menjadi anggota Volksraad (dewan perwakilan rakyat Hindia Belanda), mewakili organisasi tersebut. Pada Juni 1959, Abdul Muis wafat. Dua bulan kemudian Presiden Sukarno memberinya gelar pahlawan.
Sementara itu, “Mbakyu Harto” yang tak lain adalah istri Soeharto, Fatimah Siti Hartinah, dianugerahi gelar pahlawan tujuh bulan setelah ia wafat pada 28 April 1996. Itu mengacu Keputusan Presiden RI No. 060/TK/Tahun 1996. Alasannya, perempuan yang akrab dipanggil Tien Soeharto ini dianggap berjasa “sangat luar biasa … dalam perjuangan melawan penjajah pemerintah kolonial Belanda … khususnya dalam perjuangan mempertahankan prinsip kemerdekaan, membangun negara dan bangsa Indonesia.”
Data Kementerian Sosial menunjukkan, sejak gelar pahlawan dikenalkan pada 1959, pemerintah Indonesia telah memberikannya kepada 173 orang.
Di masa Sukarno (1945-1966), sebanyak 49 orang ditetapkan sebagai pahlawan. Sedangkan semasa Soeharto (1966-1998), 55 orang ditetapkan sebagai pahlawan.
Sejak Reformasi, yang mengatur seseorang hanya boleh menjabat presiden sebanyak dua periode, jumlah gelar pahlawan yang diberikan tiap presiden tak sebanyak dua presiden sebelumnya.
Presiden Habibie (1998-1999) memberikan rutinitas tahunan gelar pahlawan kepada Tjilik Riwut (Dayak), Sultan Syarif Kasim Syarifuddin (Siak), Adam Malik (Batak Mandailing), dan La Maddukelleng (Wajo).
Sedangkan Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001) memberi gelar pahlawan kepada empat orang. Pada 1999, ia menetapkan tiga pahlawan. Pada 2000, ia juga menetapkan Fatmawati sebagai pahlawan.
Sementara itu, ada delapan orang yang ditetapkan sebagai pahlawan oleh Presiden Megawati (2001-2004); serta 24 orang dan 15 orang semasa dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014).
Semasa Joko Widodo, yang menjabat presiden sejak 2014, sudah 14 orang ditetapkan sebagai pahlawan. Termutakhir, 9 November kemarin, Jokowi memberikan gelar pahlawan untuk TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid (Lombok), Laksamana Malahayati (Aceh), Sultan Mahmud Riayat Syah (Riau), dan Lafran Pane (Tapanuli, meninggal di Yogyakarta).
Hanya 7% Pahlawan Nasional adalah Perempuan.
Dari total 173 pahlawan nasional, perbandingan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan sangat jomplang. Hanya ada 12 perempuan yang ditetapkan sebagai pahlawan; sebaliknya, ada 161 pahlawan laki-laki.
Selama pemerintahan Yudhoyono, tak satu pun perempuan ditetapkan sebagai pahlawan. Hal sama dilakukan oleh Habibie dan Megawati.
Setidaknya ada dua pola dari pemberian gelar pahlawan kepada perempuan. Enam orang di antaranya berjuang di medan perang, seperti Laksamana Malahayati, Cut Meutia, dan Cut Nyak Dhien dari Aceh, serta Martha Christina Tiahahu (Maluku) dan Nyi Ageng Serang (Jawa Tengah).
Sementara RA Kartini (Jawa), Dewi Sartika (Sunda), Maria Walanda Maramis (Minahasa), Nyai Ahmad Dachlan (Jawa), dan Rasuna Said (Minang) dikenang atas perjuangannya sebagai penulis, jurnalis, serta pendiri sekolah bagi perempuan—sebuah elan tindakan revolusioner bagi perempuan pada zamannya.
Ditinjau dari asal daerahnya, tempat kelahiran pahlawan yang dianugerahi oleh Presiden Sukarno berasal dari tiga pulau: Sumatera, Sulawesi, dan Jawa. Sebagian besar yang dipilih pun hidup pada akhir abad 19 sampai abad 20, sebuah masa yang dikenal era pergerakan nasional dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Pola ini berubah sejak Soeharto berkuasa. Pada 1968, kali pertama Soeharto menetapkan gelar pahlawan, ia menganugerahinya kepada W.Z. Johannes dari Rote (Nusa Tenggara Timur) dan Pangeran Antasari dari Banjar (Kalimantan Selatan).
Pada era Soeharto pula tokoh-tokoh yang lahir pada abad 16 atau abad 17 ditetapkan sebagai pahlawan. Misalnya, Sultan Hasanuddin (Gowa), Sultan Ageng Tirtayasa (Banten), dan Untung Surapati (Bali).
Tokoh yang hidup pada masa lampau itu tidak ditemukan lagi dalam daftar pahlawan yang ditetapkan oleh presiden setelah Reformasi, kecuali pada era Jokowi yang menetapkan Laksamana Malahayati, pejuang Aceh yang hidup pada akhir abad 16.
Kini hampir setiap provinsi memiliki ikon pahlawannya masing-masing. Jawa Tengah dicatat sebagai tempat kelahiran pahlawan terbanyak, yakni 33 orang, disusul oleh Sumatera Barat (15 orang), dan Yogyakarta (13 orang).
Berdasarkan cacah administratif, hanya provinsi baru seperti Papua Barat, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Barat yang belum ada apa yang disebut “pahlawan nasional”. Selain itu, Pemerintah SBY-Jusuf Kalla pada 2004 menetapkan Raja Ali Haji yang lahir di Selangor (kini masuk wilayah administrasi Malaysia) sebagai pahlawan. (Leluhur Ali Haji berasal dari Bugis.)
Namun, secara keseluruhan, Jawa masih mendominasi. Sedikitnya ada 86 “pahlawan nasional” (yang lahir) dari Pulau Jawa.
Meski ada kesan setiap provinsi, dengan pertimbangan etnis tertentu, hanya ada satu orang etnis Tionghoa-Indonesia yang ditetapkan sebagai pahlawan. Ia adalah John Lie Tjeng Tjoan, laksamana muda Angkatan Laut Indonesia, yang berperan melawan blokade laut Belanda pada periode 1945-1949.
Agama Para Pahlawan
Selain itu, ketimpangan terlihat dari agama orang-orang yang ditetapkan sebagai pahlawan. Dari 173 daftar pahlawan nasional, sebanyak 134 orang memeluk Islam, lalu 22 orang Kristen, 8 orang Katolik, 6 orang Hindu, dan 3 orang penghayat kepercayaan.
Keragaman agama yang dipeluk para pahlawan pun bervariasi. Terdapat 24 kali kesempatan pemberian gelar pahlawan adalah orang-orang yang beragama Islam semuanya. Misalnya, pada 1999, gelar pahlawan diberikan kepada Ilyas Yacoub (Minang), Hazairin (Minang), dan Abdul Kadir (Sintang).
Meski demikian, ada 21 kali kesempatan juga ketika agama orang-orang yang ditetapkan sebagai pahlawan tak semuanya Islam. Contohnya, pada 2007, dari empat orang yang ditetapkan sebagai pahlawan, salah satunya beragama Katolik, yakni Ignatius Slamet Rijadi (Surakarta).
Presiden Jokowi sendiri sudah memberikan gelar pahlawan sebanyak empat kali untuk 14 orang, 12 orang di antaranya beragama Islam.
Hanya dalam satu kali kesempatan saja, yakni pada 2015, gelar pahlawan diberikan kepada dua tokoh non-muslim. Keduanya I Gusti Ngurah Made Agun (Bali) yang beragama Hindu dan Bernard Wilhelm Lapian (Minahasa) yang beragama Kristen.
Pola berbeda ditemukan dalam pemberian gelar pahlawan pada era SBY-Boediono. Ada 15 orang yang diberikan gelar pahlawan, 8 orang di antaranya tokoh non-muslim. Pada era kedua pemerintahan Yudhoyono, tak semua pahlawan nasional setiap tahun diberikan kepada tokoh beragama Islam.
Bahkan, pada 2010, gelar pahlawan diberikan kepada Johannes Leimena (Maluku) yang beragama Katolik dan Johannes Abraham Dimara (Biak, Papua) yang beragama Kristen. (tirto.id)