Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rumah Kuburan


INI
 seperti sebuah mimpi. Aku berdiri di tengah kota yang tak pernah terduga. Sebuah kota menyeramkan sekaligus menawan, yang tak pernah terlintas dalam pikiran. Tapi akhirnya harus kuakui, aku mulai terpesona saat menatapnya untuk pertama kali. Seperti sedap aroma cinta pada pandangan pertama, kutapaki buminya dengan mesra.

Itulah kesan pertama saat aku menginjakkan kaki di sebuah kota yang tak pernah terbayangkan, kota Yerusalem. Kudengar kota ini berdiri dengan seuntai kisah masa lalu yang luar biasa. Satu-satunya kota yang tak ada duanya di dunia. Ya, sebuah kota yang hidup dua kali, di bumi dan di langit. Sebuah kota yang selalu menari-nari di antara kedua alis, menjadi pusat mata dunia.

“Kota ini selalu menjadi rebutan. Semacam hadiah kemenangan bagi yang mampu menaklukkan, dara dan nyawa melayang, pesta kematian yang mengerikan.”

Itulah kalimat pertama Yasmin saat pertama kali hendak membawaku menyusuri jalanan kota. Darinya aku mendapatkan pelajaran berharga, tentang kepastian yang tak bisa ditawar. Ditarik ulur serupa gembala. Macam dialektika perdagangan. Bernegosiasi apik mencari kelenturan harga, barter atau tawar menawar ala politik dagang sapi. Sayangnya tak ada. Kebijakan Tuhan tak bisa ditawar. Tak gentar akan gertak dan ancaman. Ah, Tuhan memang selalu kokoh berdiri di atas kakinya sendiri. Beruntung sekali yang mengeksekusi kelompok Bali Nine bukan tangan Tuhan, melainkan orang-orang yang takut akan gertak sambal ala menu lalapan. Kalau tidak, aku yakin mereka sudah lama mati tertembus peluru senjata laras panjang di Nusa Kambangan.

Kemudian, aku membayang kata-kata Yasmin, tentang kematian. Aku sudah tahu banyak tentang kota ini, meski hanya bersumber dari koran dan layar ajaib televisi. Simbah darah seringkali mengucur membasuh debu dan tanah. Nyawa lebih sering melayang seringan kapas ditiup angin, segemulai awan yang berarak dari utara ke selatan, menjemput kematian. Macam seonggok tubuh yang hanya tinggal menunggu waktu untuk menghembuskan nafas menuju rumah terakhir. Beberapa istilah kelam mulai merangsang imajenasi liar: Kota peperangan, kota pertikaian, kota penjagalan, kota kematian, dan tentu yang lebih mengerikan adalah… rumah kuburan.

Rumah kuburan. Ya, aku lebih suka menyebutnya demikian. Sebuah perjalanan profesi telah membawaku kesini. Meliput warisan masa lalu yang membawa tanah ini pada gemerlap nafsu masa kini. Di sinilah aku bertemu Yasmin, orang baru yang tiba-tiba begitu dekat denganku. Perempuan pemandu wisata berhidung mancung yang mencintai tanah kelahirannya sebaik ia mencintai tubuhnya yang bugar semampai. Bola matanya kebiruan, macam kerling kilau permata. Beberapa kali aku harus mengelap keringat meski mata tak mau berhenti menguliti setiap lekuk tubuh kota, juga tak mampu membunuh decak pukau pada wajah Yasmin yang purnama.

Kami naik mobil milik perusahaannya, sebuah perusahaan penyedia jasa travel lengkap dengan paket wisata. Mesin mobil meraung bergerak pelan. Yasmin seakan mengerti getaran hatiku yang ingin menikmati setiap jengkal tubuh kota. Rumah-rumah tak bergenteng berjejer rapat. Hanya beberapa saja pepohonan yang terlihat rindang. Mungkin benar, setiap yang bernama kota itu sama saja. Tak sedikitpun menyisakan ruang bagi udara untuk bersenandung riang dengan dedaunan.

Lihatlah kota ini, gedung-gedung tertanam menghutan macam pepohonan di pedalaman Kalimantan. Berbaris saling himpit. Bentuknya macam rumah kubus, nyaris seratus persen berkomposisi beton. Persis yang tersaji di tubuh negeri sendiri. Gedung-gedung tinggi menjulang nyaris mencium langit. Sulit untuk mengatakannya tidak beratap. Tidak kudapati atap model genteng, daun nyiur atau daun siwalan yang dirajut seperti kebanyakan rumah model suku pedalaman. Maklumlah, ini identitas wajah kota.

Mobil terus melaju melewati jalan menuju dataran yang semakin meninggi. Kian jauh, aku semakin bingung membaca arah. Semacam berjalan di tengah lorong gelap dalam kilatan cahaya. Bau asap besi lebih akrab menyeruak ke dalam lubang hidung. Rumah-rumah seolah merengsek maju, mencium bibir aspal yang tak sedikit pun mengelupas.

Di sebuah kompleks yang disucikan, kami singgah di makam nabi Daud, sang utusan bertahun-tahun silam. Kata Yasmin, tentu seperti yang aku pahami dari buku-buku kenabian, Daud lah yang menaklukkan kota ini dari kekuasaan tangan orang-orang Yebus. Usai berdoa sambil menelisik seluruh sudut kompleks, hati bergetar hebat. Pemandangan luar biasa yang dulu hanya bayang-bayang masa kecil kini semacam bulan jatuh di pelupuk mata.

Bagaimana tidak, sebuah masjid model timur tengahan berdiri gagah. Di atasnya kubah berwarna biru gelap menadah langit. Mengajakku beristirah, menyebut nama keagungan sang pencipta dalam-dalam. Kata Yasmin, kompleks bangunan ini disebut Al-Haram, Bukit Kuil, semacam rumah suci. Tempat singgahnya sepuluh firman Tuhan. Tempat Isa menerima wahyu kenabian. Tempat Muhammad menyentuhkan telapak kaki sebelum terbang mengendarai Buraq menuju langit, berjalan-jalan di Sirotul Muntaha, melihat taman surga dan tungku api neraka.

Pada jarak sejauh sembilan puluh meter, sebuah masjid lainnya terlihat lebih mencolok. Bangunannya lebih tinggi, berkubah silau kuning emas. Kemudian kutahu, masjid itulah yang bernama masjid kubah Sakhrah. Waktu membawaku pada suasana kota yang damai, kurasakan jauh di relung hati yang paling permai. Sebab pada menit-menit berikutnya, aku dibuat terpana oleh pesona masjid Buraq, juga masjid Marwan. Masjid-masjid itu seperti satu keluarga besar, mengalir desir darah persaudaraan.

Di sebelahku, Yasmin menutup mata, menghirup angin, mengundangnya lebih dalam menyentuh dada. Kedua bola mataku tak berhenti menyala-nyala. Bergantian antara melihat pesona kubah dan menikmati pipi Yasmin yang berwarna merah muda.

Betapa aku telah bertemu kota menakjubkan, setelah Madinah dan Mekah. Jauh sebelum kaki dan hatiku tertambat di sini, kupikir kota ini hanya tanah gersang. Debu beterbangan hinggap di dinding rumah. Menyelimuti bukit-bukit mulia yang diagungkan. Matahari bersinar terik, panas berlipat-lipat. Berdiri di atas tanahnya, macam berada dua jengkal di bawah matahari. Macam berjalan di gurun sahara. Macam berada di garis terdalam dari neraka. Malamnya, bulan sumringah diantara gemawan. Angin berdesir lebih senyap dari kesunyian.

Ini kota yang mempesona. Meski sebenarnya aku ragu, kota ini lebih mirip kota horor. Penuh kegelapan di setiap lorong. Sulit membedakan antara siang dan malam. Sebab, sepanjang jarum jam berputar, kota ini tak lepas dari perebutan. Perang, desing peluru, deru derap pasukan penjagal lebih sering terdengar. Jet tempur, pertikaian berkepanjangan, penjarahan dan kesucian terlintas membayang.

“Kota ini akan selalu menawan sepanjang tak ada perang, bahkan meski perang terus berkelanjutan, aku yakin kota ini tetap akan berjuntai membelah awan,” suara Yasmin memecah kesunyian. Kini matanya dibiarkan terbuka, seperti mataku, matanya binar menyala-nyala.

Aku melayangkan pandang. Menyisir satu per satu sudut kota lama. Yasmin tersenyum memandangku. Telunjuk tangannya merambah udara. Bergerak melukis lekuk seluruh tubuh kota pada kanvas angin yang tak nampak di depan mata. Tanpa harus menjadi dirinya, aku tahu kepedihan sedang melanda hatinya.

Aku mengacungkan jempol tangan. “Kotamu indah, aku jatuh cinta sejak pandangan pertama.”

Sekali lagi Yasmin menyunggingkan senyum, manis bercampur getir. Tak sepenuhnya manis tapi juga tak sepenuhnya pahit. Senyum terpaksa, semacam kepura-puraan tapi bukan senyum kepalsuan. Tetap terlihat manis meski sebenarnya terasa kecut.

“Kau tahu, tak ada satu orang pun di dunia yang menginginkan perang. Aku tak tahu, entah siapa yang memulai, perang sudah menjadi drama kolosal di sini. Dari kecil aku sudah terbiasa dengan desing peluru dan ledakan bom yang menghujam tembok-tembok rumah,” senyum Yasmin perlahan terkulum.

Aku setuju, tak ada satu orang pun di dunia yang menginginkan perang. Orang-orang di negeriku juga sama, sangat membenci sesuatu yang bernama perang. Perang? Kata seram itu tiba-tiba mengusik.

Aku menoleh pada Yasmin. “Apakah perang  itu juga semacam konflik, pertikaian, adu mulut, saling tuding dan memenjarakan?” aku diam memikirkan sesuatu. “Atau semacam kriminalisasi? Itu istilah paling keren di negeriku.”

Yasmin mengangguk, menatapku sebentar lalu mengalihkan arah pandang pada burung-burung kapas yang beterbangan di atas kubah.

“Apakah juga semacam perang dingin? Maksudku, apakah juga semacam upaya saling menikam di dalam satu selimut yang sama?”

“Entahlah, yang jelas setiap yang bernama perang tak pernah ada untungnya, apalagi dalam satu selimut yang sama. Itu hanya akan memporak-porandakan bangunan arsitektur berbangsa.”

Yasmin membawa langkahku menyusuri anak tangga, naik ke atas sebuah gedung. Aku mengekornya di belakang. Aroma wewangian tubuhnya menyeruak, nyaris merubuhkan tiang penyanggah hidung. Matahari sudah condong di arah barat saat kami tiba di atap paling atas.

Dari sini, pemandangan kompleks dua masjid itu lebih terlihat jelas. Pepohonan tak seberapa banyak tumbuh, seolah kota tak terlihat gersang. Biar tak hanya gedung-gedung bisu yang ditanam, biar burung-burung riang memainkan siul di ranting dedahanan. Anak-anak berlarian, berpagut pada batang pohon yang rindang.

“Ini kota yang benar-benar luar biasa, tak maukah kau bercerita bagaimana kota ini dibangun?” aku menatap langit biru, lalu turun menapaki garis wajah Yasmin.

“Apa yang bisa diceritakan dari kota yang sudah menjadi panggung pertunjukan media? Kota ini penuh dengan bayang-bayang masa lalu yang mengerikan. Kota yang selalu mengalami perubahan, meski tetap saja akhirnya kembali pada tempat yang sama.”

Selanjutnya, entah apa yang dipikirkan, Yasmin mengedarkan pandangan pada empat penjuru arah. Lekat-lekat menatap langit, kemudian berucap kalimat yang tidak kupahami maksudnya.

“Lihatlah melalui dimensimu yang lain, aku ingin memperlihatkan sesuatu padamu.”

Aku diam membisu, seperti terbius. Sulit membedakan mana ketidakmengertian dan decak kagum. Yang jelas, selepas satu detik perkataannya yang magis, Yasmin mengangkat tangan kanan, jempol dan jari telunjuknya seperti hendak membentuk huruf O, lalu dimasukkan ke dalam mulut. Dan… melengkinglah siul tajam. Menerobos lorong-lorong secepat gerak cahaya, menggema di kolong langit.

Dari utara, segerombolan burung gagak beterbangan. Bulu-bulunya hitam pekat, siulnya membahana antara bersenandung dan mempropaganda hendak mencabik mangsa. Semakin lama, jumlahnya semakin banyak. Mereka mengepakkan sayap, berputar-putar di atas bukit Haram. Burung-burung itu saling bersahutan, seperti hendak membuka lembar kelam.

Ketika itu, aku melihat sesuatu yang lain di bawah, tepat di seluruh punjuru sudut kota. Aku seakan terlempar memasuki dimensi lain, ini bukan dunia abad milenium ketiga. Aku tiba-tiba tahu, sekarang aku berada di tahun 70 Masehi. Tahun dimana Titus, sang putra Kaisar Roma Vespasian bersiap menaklukkan kota ini. Seribu tahun setelah Daud menaklukkan kota ini untuk pertama kalinya.

Aku bisa menyaksikan dengan mata telanjang, tentara dan para penjagal mengepung kota. Gerbang-gerbang kuil dibakar, orang-orang tertikam aroma kematian yang mencekam. Perut-perut buncit menahan lapar. Ayah, ibu dan anak saling berebut makan. Orang-orang menyimpan uang-uang logam mereka ke dalam perut. Ketika perut-perut meledak, berhamburanlah keping-keping emas. Tentara dan penjagal merunduk dan bangkit seperti anjing-anjing gila. Seketika, wajah kota berlumur darah. Para perempuan dijadikan objek birahi di rumah sendiri yang suci.

Aku seperti bayang-bayang, menyaksikan pesta kematian yang mengerikan. Leher-leher mereka disembelih, terbelah, mengucurlah darah. Ribuan mayat bergelimpangan, dibiarkan terpanggang terik matahari hingga berbau busuk menikam hati. Bukit suci,  tempat Tabut Penjanjian memerah, api menyala-nyala, menjilat penuh amarah. Aku terkesiap.

Saat wajah menadah ke langit, kulihat burung-burung gagak tadi bergerak ke arah selatan. Bayang penjagalan dan kematian terlihat samar melenyap. Kota kembali terlihat seperti semula. Langit masih biru, merendah, bersiap menyambut senja yang jingga.

Ternyata aku tidak kemana-mana, masih berdiri di sebelah Yasmin memandangi kota. Menebak-nebak, berspekulasi dengan kemungkinan dan kenyataan. Lalu, kupejamkan mata, menyatukan diri dengan semesta. Membiarkan kesiur angin membelai tubuh, membawa bayang bertafakkur di tengah lautan doa-doa suci. Jauh di dalam dada, pelan-pelan hati mulai mengaji. (*)

*Latif Fianto, lahir di Sumenep, pecinta buku, suka membaca dan menulis, sekarang tinggal di Malang.


Cerpen ini terinspirasi dari buku Jerusalem The Biography karya Simon Sebag Montefiore. Judul cerpen diambil dari ungkapan Flaubert “Merunduk dan bangkit seperti anjing-anjing gila,” ungkap Simon Sebag Montefiore dalam prolog buku tersebut. Pernah tersiar di surat kabar Minggu Pagi pada 21 Juni 2015. Diterbitkan ulang untuk tujuan pendidikan.