Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Oase Teladan Mahfud MD


SEKITAR
jam 17. 00, pada 9 Agustus 2018, kami sekeluarga masih menonton stasiun televisi tentang pengumuman Cawapres Jokowi. Di televisi, beberapa stasiun dan pengamat sudah menganalisis bahwa Mahfud MD (MMD) yang akan menjadi cawapres. Inisial M dan tambahan bocoran dari Romahurmuziy beberapa hari sebelumnya di Twitter bahwa Cawapres Jokowi adalah sosok yang paling punya pengalaman dalam segala jenis pemerintahan. Analisis beberapa pakar mengarah kepada MMD. Karena, hanya dia yang pernah di legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Hari itu, MMD sudah mengatakan bahwa dirinya memang diminta mendampingi Jokowi. Sebagai panggilan sejarah, MMD selalu siap untuk Indonesia. Ia diantar oleh beberapa orang menuju ke sebuah tempat makan tak jauh dari lokasi pengumuman Cawapres Jokowi.

Karena beberapa media TV sudah hampir memastikan bahwa MMD yang akan menjadi cawapres, saya dan keluarga segera mematikan TV. Dalam tradisi orang Madura, Maghrib menjadi waktu jeda untuk menonton TV. Apalagi malam Jumat.

Saya sudah ancang-ancang bikin tulisan: Wahai Orang Madura, Bersatulah untuk MMD. Ya, sebagai orang Madura, ikatan antarsesama orang Madura itu kuat. Seorang teman di pascasarjana melakukan penelitian dengan menggunakan teori inter feeling tentang orang-orang Madura di perantauan menemukan data bahwa orang-orang Madura yang bertemu di perantauan memiliki ikatan batin yang kuat. Meski tak pernah kenal dan berjauhan, tapi saat bertemu seperti saudara. Sebagaimana lazim istilah taretan dhibik. Yang memiliki makna saudara sendiri.

Belum tulisan itu dibikin, habis Isyak saya terkejut, ternyata bukan MMD yang jadi cawapres. Tetapi, Kiai Ma’ruf Amin. Saya memang tak meragukan kualitas Kiai Ma’ruf, tetapi dengan tak terpilinya MMD kami sekeluarga dari Madura benar-benar terkejut. Kok bisa ya?

Hingga dini hari, saya sulit istirahat. Pikiran selalu tertuju ke MMD. Saya cek di Twitter, banyak tokoh yang menyayangkan tak terpilihnya MMD. Banyak yang kecewa. Tetapi respons MMD benar-benar di luar dugaan. Demi keselamatan bangsa dan negara, dirinya merasa tidak apa-apa. Ia menunjukkan kelasnya sebagai negarawan.

Ada diri Gus Dur dalam diri MMD, saat jabatan tak lebih penting dari kemanusiaan. Pantas saja Gus Dur demikian percaya ke MMD. Sebagaimana kami, orang orang Madura yang selalu bangga atas diri MMD.

Ketika banyak politisi mengajukan diri menjadi cawapres, MMD tampak biasa saja. Tak ambisius. Tetapi, siap jika merupakan panggilan sejarah. Hingga detak-detik terakhir pengumuman cawapres, MMD menunjukkan kelasnya sebagai negarawan.

Meski tak menunjukkan ambisinya, terlalu banyak yang ingin menjegalnya. Saya termasuk menganggap biasa dalam dunia politik. Tetapi, yang tidak biasa adalah saat Ketua Umum PBNU mengutarakan bahwa MMD bukan kader NU. Ini sangat menyakitkan bagi saya, nahdiyin dan orang Madura sekaligus.

Ini mengesankan sesuatu yang dipaksakan. Hanya karena menguatnya MMD sebagai cawapres menjadikan dirinya tak diakui oleh NU. Padahal jejak MMD di NU demikian jelas. Padahal juga, hadratussyaikh Hasyim Asy’ari pernah mengatakan bahwa siapapun yang mengurusi NU akan diakui sebagai santrinya. Pertanyaannya, kurang ngurus apa MMD kepada NU?

Mestinya pernyataan yang tepat, bukan karena MMD bukan kader NU. Tetapi, karena bukan gerbong dari Ketua Umum PBNU hari ini.

Tapi, lihatlah MMD. Ia tak pernah meng-counter serangan atas dirinya jika yang menyerangnya adalah NU. Beda saat dirinya diserang sebagai BPIP. Dia langsung menyerang (balik) PKS. Karena, baginya tak cukup hanya menepuk satu atau dua nyamuk, ia langsung menyerang sarangnya.

Teladan penting dari MMD adalah ia tak pernah kehilangan cinta untuk Indonesia dan NU. Meski dirinya telah dikecewakan. Berkali-kali. MMD memang tidak terpilih menjadi cawapres, tetapi ia telah menentukan pilihannya untuk tetap cinta kepada Indonesia.

Oase teladan MMD harus dijadikan sebagai mata air yang dapat menghilangkan dahaga dan kegersangan politik akibat SARA, ujaran kebencian, dan menuhankan kekuasaan. (*)

*Ach. Taufiqil Aziz, fungsionaris PKC PMII Jawa Timur.