Bencana, Azab, dan Tanggung Jawab Media Islam
Saya ingin mengucapkan terima kasih dan selamat kepada media islam yang konsisten menulis hal-hal yang masuk akal dan simpatik selama kurun waktu bencana alam dan musibah yang terjadi di Indonesia setahun ini. Islami.co adalah media Islam yang paling konsisten.
Sangat sedikit media Islam yang memegang teguh perspektif jurnalisme bencana dan simpatik kepada korban yang tengah berduka. Media Islam, sejak zaman cetak dalam bentuk buletin dan majalah hingga kini bertransformasi dalam bentuk digital, kerapkali membingkai peristiwa bencana alam sebagai azab atau pembalasan atas orang-orang yang gemar maksiat.
Gempa Lombok dengan jumlah 555 korban meninggal, disebut sebagai balasan pulau pusat hiburan. Gempa dan tsunami Palu yang mengakibatkan lebih dari 2000 orang korban meninggal, diisukan sebagai azab tempat yang digunakan untuk pesta LGBT. Tsunami Anyer, yang menutup duka 2018 dengan hampir 500 orang korban meninggal, disebut azab tempat maksiat.
Setelah bencana, biasanya beredar foto sebuah masjid yang selamat dari sapuan gelombang lautan atau getaran bumi yang mahadahsyat. Sebagian orang Islam kemudian percaya bahwa Tuhan terbukti melindungi rumah ibadah mereka. Kali lain, bangunan yang utuh pada peristiwa gempa Palu-Donggala adalah sebuah gereja. Ternyata sama saja, pesan instan yang beredar lewat grup-grup percakapan pada gawai adalah kepercayaan orang Kristen, bahwa Tuhan ternyata melindungi rumah ibadah pemeluk Kristen. Lalu, Tuhan siapa yang benar-benar menjaga?
Pada tsunami Anyer, video sebuah lokasi Quran Camp yang selamat dari terjangan tsunami diunggah beberapa orang di linimasa Facebook saya, termasuk oleh seseorang dengan gelar doktoral. Orang-orang lalu mengontraskan video tersebut dengan video lain, yakni video pertunjukan band dan video joget dangdut berlokasi di pinggir pantai yang habis tersapu tsunami. Video itu tentu menyebar di grup-grup Whatsapp. Ia dirayakan dengan kebanggaan para pemeluk agama yang merasa selamat karena mereka tengah mengagungkan Tuhan ketika bencana terjadi.
Media Islam seperti Eramuslim ada pada daftar paling atas sebagai media yang mem-framing berita bencana dengan cara semacam itu. Selalu ada kalimat khas, “Padahal, beberapa meter dari lokasi Quran Camp semuanya luluh lantak.” Faktanya, lokasi camp itu tidak pas di bibir pantai Tanjung Lesung. Vila berlokasi agak tinggi. Sedangkan rumah-rumah yang hancur pada musibah Tanjung Lesung dan Lampung Selatan adalah rumah-rumah yang nyaris 0 mdpl. Gelombang tsunami Banten dan Lampung ini berketinggian antara 2 – 5 meter.
Lagipula, tentu saja ada banyak masjid-masjid di bibir pantai yang toh tak selamat juga. Yang lebih penting dari semua klenik itu adalah fakta hampir ratusan orang meninggal dunia, ribuan orang luka-luka, ratusan orang dinyatakan hilang, dan belasan ribu orang masih mengungsi dalam keadaan berduka. Mengglorifikasi kadar keimanan yang merasa lebih sama saja dengan menyetujui bahwa ribuan orang yang tengah berduka tak lebih beriman dari golongan yang selamat.
Kepercayaan bahwa bencana adalah sesuatu yang terkait pembalasan dan sebaliknya bukan sesuatu yang bersifat siklus alam ini tampaknya terkait dengan pola keberagamaan yang lebih luas. Pada awal 2000-an, Majalah Hidayah yang berisi kisah-kisah manusia pendosa kemudian ditampakkan secara langsung keburukannya di dunia, sebagian besar ketika meninggal, laris manis di pasaran. Tayangan berseri yang awalnya muncul sepanjang bulan Ramadan, akhirnya menjadi tayangan harian di televisi.
Yang mengherankan, pada 2018, sinetron serupa dengan judul “azab” dan “zolim” gencar sekali. Indosiar, MNC TV, dan SCTV adalah saluran televisi yang menayangkan genre siaran tersebut pada prime time, bahkan sampai tiga judul dalam sehari sebagai bukti bahwa tayangan ini menguntungkan secara bisnis dan diminati masyarakat.
Sebelum era cerita Hidayah, media Islam juga pernah mempopulerkan pohon yang bersujud menghadap kiblat, juga ikan yang bersisik asma Allah. Media Islam juga pernah mempopulerkan “Dakwah dari Dalam Kubur” untuk meyakinkan pembaca dan pemirsa bahwa siksa kubur itu nyata. Alih-alih mencerdaskan masyarakat, genre-genre ini justru menempatkan Islam sebagai agama yang menakutkan, klenik, bahkan menempatkan Tuhan sebagai entitas yang bersifat karikatural. Lihat saja misalnya, judul tayangan TV Penjual Ayam Tiren Mati di Kandang Ayam dan Keranda Jenazahnya Terbakar Sengatan Listrik.
Tetapi, minat masyarakat tentu saja bisa diarahkan. Media Islam, khususnya, punya tanggung jawab lebih dalam hal ini. Al Quran, adalah kitab pengetahuan yang menyeru manusia untuk memahami fenomena dan mempelajari tanda-tanda. Manusia bertanggung jawab untuk menciptakan rekayasa teknologi modern untuk meminimalisir siklus bumi yang mutlak dan dapat dibaca.
Islam pada abad pertengahan, ketika menginspirasi lahirnya renaisans Eropa, adalah sebuah agama yang memiliki instrumen lengkap sebagai filsafat. Bahasa Arab menjadi bahasa yang paling kuat dalam kebudayaan dunia karena menulis berbagai cabang ilmu pengetahuan. Islam bukan agama yang terdiri dari Pengazab dan Terazab.
Pemeluk Islam meyakini kitab Al Quran selalu sahih pada tiap zaman dan tempat. Hal tersebut dapat benar-benar sahih apabila pemeluk Islam membuat tesis itu menjadi sahih. Pada setiap zaman dan tempat, muslimin dan muslimat seharusnya dapat menempatkan Islam sebagai filsafat hidup yang dekat dengan alam dan kehidupan. Interpretasi pada ayat-ayat Al Quran dapat diturunkan sampai level praktik, bahkan aplikatif dan produktif siap pakai dalam bentuknya sebagai produk-produk teori dan produk-produk teknologi. Dengan begitu, Islam hidup dan relevan.
Jurnalisme Islam, seperti produk jurnalistik secara umum memiliki tujuan yang sama, yakni memenuhi hak-hak masyarakat yang seringkali dikaburkan oleh berbagai macam kepentingan. Dalam tradisi jurnalistik Islami yang mengambil prinsip dari syariat, pemenuhan hak-hak masyarakat ini berorientasi kepada bahasa yang dikenali oleh Al Quran, yakni keadilan. Tugas mulia menciptakan keadilan ini tak akan selesai dengan kredo jurnalisme penghakiman moral atau “dukunisme” syariah yang digemari pasar. Media Islam harus kembali pada marwah yang mulia sebagai pengabar kebenaran.
Ada banyak topik yang bisa dipilih untuk ditulis oleh media Islam, seperti kenapa seismograf lagi-lagi mati? Kenapa BMKG terkesan sering salah prediksi? Bagaimana mitigasi, kesiapan, tanggapan dan penormalan kembali pascabencana?
Media Islam tidak selayaknya selalu bernuansa “cocoklogi”. Mengambil sebuah kebetulan, mengglorifikasi secara acak, mencocokkan sebuah ayat, lalu dirayakan secara politis. Islam boleh ditulis bersama dengan fakta dan mengambil tanggung jawab terhadap fenomena. (*)
*Kalis Mardiasih, menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih.
Sumber: detik.com