Xenoglosofilia: Fenomena Masyarakat yang Lebih Akrab dengan Bahasa Asing Ketimbang Leluhur
Sadar ataupun tidak, masyarakat kerap memakai istilah asing dalam percakapan seharian-hari. Lama-kelamaan bahasa ibu tersisihkan, semakin jarang digunakan, berisiko terlupakan dan bahkan terancam punah. Kepopuleran istilah asing merujuk pada pemakaian bahasa tidak dapat terelakkan. Kenapa demikian? Karena digitalisasi yang mengakar pada tiap-tiap lini kehidupan, nyatanya mampu meninabobokan penggunanya. Kemudahan dan kecepatan yang ditawarkan dapat memberikan peluang suatu negara termasuk Indonesia untuk terlibat aktif dengan masyarakat global. Akibatnya beragam bahasa asing melintas di tengah masyarakat Indonesia dan cenderung memakainya dalam keseharian secara berlebihan.
Pernyataan di atas gambaran dari fenomena xenoglosofilia. Istilah yang memiliki arti kesukaan berlebihan terhadap bahasa asing. Gemar mencampuradukkan istilah-istilah bahasa asing – dalam hal ini bahasa Inggris ke bahasa Indonesia saat berkomunikasi. Bukan karena tahu dan paham, realitanya tidak sedikit yang memakai bahasa asing pada bukan tempatnya. Namun dinormalisasikan oleh mayoritas masyarakat dan mengesampingkan kesalahkaprahan berbahasa. Pasalnya, berkelindan informasi di media sosial hingga iklan yang kerap memakai bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia secara bersamaan.
Adapun dalam percakapan sehari-hari, misalnya, sering terdengar ungkapan seperti: “I (ai) nggak tahu ini make sense atau nggak, tapi i mean itu hak personal, mau memilih diam atau speak up ke publik soal bullying yang u (you) terima. Terlepas nantinya dapat teror atau notice yang bikin mental down.” Singkatnya, fenomena seperti ini kerap dijumpai, baik secara lisan maupun tulisan. Masyarakat lebih akrab dengan bahasa asing hingga tanpa sadar cenderung latah menggunakannya, bahkan dalam konteks yang sebetulnya bisa disampaikan dengan bahasa kebangsaan. Gejala ini merata di berbagai lapisan mulai dari kalangan pengusaha, akademisi, hingga masyarakat kelas menengah ke bawah.
Menilik kembali peraturan negara perihal hukum bahasa, nyatanya sudah diatur sedemikian rupa dalam UUD 1945 pasal 36 bahwa bahasa negara adalah bahasa Indonesia. Idiom yang sudah populer dari masa ke masa, penghubung kepulauan nusantara hingga Asia Tenggara. Lebih lanjut dalam Rancangan UU RI pasal 2 tentang pengaturan bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan merupakan simbol identitas dan eksistensi bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selaras dengan trigatranya bahasa, di mana “utamakan bahasa Indonesia, melestarikan bahasa daerah, dan menguasai bahasa asing.” Dapat ditengarai jika fenomena xenoglosofilia merupakan salah satu dampak negatif dari perkembangan teknologi dan digitalisasi.
Bahkan, banyak masyarakat yang beranggapan bahwa tanpa menggunakan istilah asing, pesan yang dikomunikasikan terasa kurang berkelas atau kehilangan nilai keluhuran. Kecenderungan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: ketidaktahuan padanan kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) maupun Tesaurus, anggapan bahwa istilah lebih mudah mewakili maksud yang ingin disampaikan, serta fenomena dwibahasa yang mendorong pencampuran bahasa dalam tuturan keseharian.
Sebagai solusi atas fenomena xenoglosofilia, langkah awal yang dapat diambil adalah mengenalkan padanan kata dalam bahasa Indonesia secara lebih luas. Upaya ini bisa dimulai dengan memopulerkan istilah-istilah yang termuat dalam KBBI maupun Tesaurus. sekaligus menumbuhkan rasa ingin tahu terhadap kekayaan kosakata bahasa Indonesia. Penting juga untuk membiasakan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam percakapan sehari-hari agar menjadi hal yang wajar dan dinormalisasi. Sebab pada dasarnya, jika tidak diantisipasi, fenomena ini berpotensi menghambat perkembangan dan pelestarian bahasa Indonesia.
Sebagai contoh, banyak istilah asing yang sebetulnya memiliki padanan dalam KBBI. seperti link yang berarti tautan, error yang setara dengan galat, follower yang berarti pengikut, QR code yang disebut kode respon cepat, buzzer yang berarti pendengung, serta drive thru yang dikenal dengan istilah lantatur (layanan tanpa turun). Masih banyak lagi padanan kata serupa yang bisa digunakan dalam percakapan maupun tulisan sehari-hari.
*Calon entri Wikipedia, masih nunggu diedit sama semesta.