Kisah Menimbun Barang Dagangan dalam Kitab Ihya Ulumuddin


Oleh: M. Haromain*

Menimbun barang dagangan khususnya bahan kebutuhan pokok keseharian dengan maksud agar mendapat laba besar, sementara komoditas tersebut sangat dibutuhkan masyarakat hingga mengakibatkan kelangkaan barang dan harganya meroket tinggi, termasuk tindakan buruk dan  tercela (dzolim). Dalam istilah muamalah perbuatan begitu disebut “ihtikaar”. 

Sudah menjadi hukum ekonomi bahwa tingginya permintaan suatu barang tertentu di pasar akan membuat harganya menjadi kian mahal dari harga semestinya. Ketika sebuah komoditas lebih-lebih komoditas itu merupakan kebutuhan pokok masyarakat dalam keseharian harganya jauh melambung dari harga normalnya sudah pasti hal itu akan memberatkan masyarakat (konsumen). 

Atas dasar memberatkan masyarakat secara umum ini, maka banyak Hadis Nabi maupun pernyataan ulama yang mengecam perbuatan menimbun barang dalam kondisi demikian. Oleh karena itu tak heran bagi para pedagang yang komitmen keagamaanya kuat akan berusaha menghindari perilaku ini, di antaranya seperti kisah pedagang yang dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin jilid II di bawah ini.

Bersumber dari beberapa orang dahulu (salaf) diceritakan, di sebuah daerah bernama “Washith” ada seorang saudagar yang dalam menjalankan bisnisnya senantiasa berpedoman pada ketentuan agama. Waktu itu saudagar ini tengah menyiapkan barang dagangannya berupa gandum dalam sebuah kapal. Gandum satu kapal itu akan dikirimkan ke Kota Bashrah. Ia lalu mengirim surat kepada wakilnya yang diserahi tugas pengiriman ini.

“Juallah bahan makanan ini pada hari di mana barang tersebut sampai di tujuan. Dan jangan ditunda hingga hari besok-besoknya,” demikian isi surat itu.

Tapi bersamaan waktu tibanya kapal pengangkut gandum tersebut, kebetulan harga gandum di Bashrah sedang turun. Beberapa pedagang lalu meyarankan pada si wakilnya saudagar ini supaya barang dagangan ditahan dahulu sampai beberapa hari ke depan supaya mendapat untung besar.

“Apabila anda menahan sampai Jumat, maka akan mendapat keuntungan dari penjualan makanan ini beberapa kali lipat,” begitu bujuk para pedagang lain.

Si Wakil itu pun akhirnya menerima saran itu dan menunda penjualan bahan makananya yang sebenarnya telah tiba. Dan ternyata memang benar, hasil penjualanya akhirnya meraup laba lebih besar.

Peristiwa keuntungan yang berlipat ganda tersebut oleh si wakil ini lalu diberitahukan kepada saudagar pemilik gandum yang diwakilinya. Tapi rupanya si saudagar tidak bergembira dengan berita itu. Kemudian mengirim surat balasan kepada si wakilnya itu.

“Sesungguhnya saya sudah dapat menerima (merasa cukup) dengan laba yang sedikit tapi agamaku terpelihara. Kamu telah berbuat menyimpang dengan menunda penjualan. Saya tidak senang dengan untung berlipat namun menanggalkan pranata agama. Olek karena itu, begitu surat ini sampai padamu maka ambillah semua harta keuntungan itu dan sedekahkan harta itu kepada orang-orang fakir di Kota Bashrah. Mudah-mudahan hal demikian dapat menyelamatkan saya dari dosa menimbun barang kebutuhan pokok,” tulis si saudagar pemilik dagangan.

*Disarikan dari Kitab Ihya Ulumuddin Jilid II karya Imam Al-Ghazali.


Sumber: nu.or.id
Terbit: Ahad, 16 April 2017
Editor: Ahmad Fairozi