Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Narasi Tembang Mimpi "Kisah Pernikahan Dini"


Oleh: Subaidi Pratama*

1/
Kami dipertemukan dalam hubungan keluarga,
Yang memang akrab dari sebelumnya
Lalu nama kami berdua dipaksa masuk ke dalam undangan
Di pojok selembar kertas warna emas bertulis, Anna dan Angga.(1)
Malang, sungguh malang kami betapa
Langit-langit mimpi lenyap seketika, tak terhingga
Sehari semalam senyum ibu dan bapak kami mekar
Di antara terop, tayub dan gemertak gendang
Kami yang masih belia disandingkan di pelaminan
Dipuja kejung dan mantra, gaun kami menyala,
Ditimang berjuta kilau lampu warna-warni.(2)
Bunga-bunga melati pun digugurkan dari ranting sunyi
Ribuan mata para tamu memandang jauh ke relung jiwa yang kosong
Dan mereka tak pernah tahu, tak pernah tahu
Bahwa hati kami masih petang semerbak kunang

Jarum jam tergeletak di lantai, sepi pun berpintalan
Sebab tulang rusuk kami belum bisa berpaduan
Meski kami dekap segenap hening dalam degup jantung
Siang itu, kami pecahkan tangis di helai-helai waktu yang menggali luka
Jadi ombak yang mengangkut sukma ke sudut benua
Mimpi-mimpi kami patah, bahkan sebelum tunai di tembang usia.(3)

2/
Malam-malam kami diburu rasa takut dalam kehampaan
Ditikam cemas dalam kegamangan
Barangkali kami telah jauh ditinggal zaman, dalam tingkah bunyi gamelan
“Adakah yang lebih menyakitkan jalan bengkok ini?” ;bisik Anna pada Angga.(4)
Sebelum pada akhirnya meledakkan doa
Mari kembali gali nasib Kartini, Cut Nyak Din, dan Potre Koneng
Biar ini kampung bisa bernyanyi
Sambil menciumi telapak sejarah moyang yang disalahartikan
Lalu kelamin kami yang putus di pintu sekolah dikubur di dasar sumur,
Digantung di tungku dapur, kemudian dikoyak di atas kasur.(5)
Tidak akan ada lagi yang lebur dan hancur bagai retas telur
Di antara kincir kuda dan pekik saronen,
Senja mengetuk-ngetuk pintu malam seperti putaran nasib yang tak henti berderit,
Pada nyeri silam yang tak pernah padam.

3/
Pada siapa hendak haturkan perih ini?
Dunia tak pernah ada yang mengerti, ;bisik Anna suatu pagi
Sedangkan hari-hari mengeram petang, tembang dada kami hilang riang
Dan waktu merekam denyut kelabu-menangkap derita hitam dari masa silam
Tayub dan gemertak gendang semakin gaduh
melenggokkan musim sepanjang terop di panggung kegetiran.(6)
Melenyapkan tarian mimpi yang melenggang di ketinggian bintang
Lalu jiwa kami remuk, cita-cita luluh-lantak. Jadi debu, jadi tanah,
Jadi sampah dalam timbunan peradaban yang patah.(7)
Isak kami meraungi kesunyian, langit pun dicekam kelam bagai bisik tak tertahan,
Tak kunjung terpecahkan zaman.
Dan mereka tak pernah tahu, tak akan pernah tahu
Meskipun kami mengerang aduh!
Kami berdua ditimang-timang rasa pilu.

4/
Suatu siang, gelisah kami tersesat di jalan panjang
Hari esok tak bisa diantar pulang
langkah demi langkah menimbuni jurang-jurang
Banyak saudara sebaya kami memilih bunuh diri
Ada lagi yang terpaksa melarikan diri, jauh ke sudut gang hatinya
yang tak ada kesiapan mintal.(8)
Matahari meninggi dengan jarak yang masih sejengkal
Tapi tak lagi mereka rasakan kesejukan angin pagi
Dan kami terus bertanya-tanya pada lubuk hati sendiri
Apa arti pernikahan kalau di dalamnya tak kami jumpai sungai dan lautan?
Atau mungkin sebelum usia kami matang ditembang pendidikan?
Di sekolah, di pesantren dan di bangku kuliah yang papannya
Memantulkan kilatan bibir sepasang kekasih
Kami terus mengapung di antara senang dan sedih?
Lalu langit menghitam bagai gairah lelaki terpanggang lenggok sinden
Di antara panggung ke panggung
Di antara tembang ke tembang dan bunyi gong yang dipuja agung burung-burung.

Jadung, 2016

Notes:
(1). Pengantin anak, atau pengantin kecil dilakukan sebagaimana pengantin dewasa. Diselenggarakan secara formal seperti yang terjadi pada pengantin orang dewasa. Biasanya pengantin anak ini dilakukan mulai proses peminangan, pertunangan (babakalan) sampai proses resepsi pernikahan. Lihat, misalnya, di http://www.lontarmadura.com/tradisi-pengantin-anak-pulau-talango/

(2). Umumnya dalam tradisi yang dilakukan tidak dengan cara resepsi, tetapi dilakukan dengan mengundang “jam sehari semalam” atau bahkan 2 sampai 3 hari. Undangan bisa hadir setiap saat, pagi, siang atau malam dengan cara lesehan. Diramaikan pulah oleh tayup klenengan, topeng dan ludruk Madura, hingga orkes dangdutan. Lihat, di http://www.lontarmadura.com/tradisi-pengantin-anak-pulau-talango/

(3). Vidhyandika Moeljarto (1977) mengungkapkan pernikahan dini memberikan pengaruh hubungan gender yang asimetris menyebabkan kurangnya akses wanita terhadap bermacam hal seperti, kesehatan, pendidikan dan keterampilan secara langsung mengakibatkan kemiskinan. Ahli lainnya, Todaro menyatakan wanita miskin maka anak menjadi satu-satunya sumber yang dapat dikontrol untuk  mengurangi beban pekerjaan bagi keluarga miskin.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/shofiasari/tradisi-pernikahan-muda-di-pulau-madura_54f38343745513a02b6c78b7

(4). Melihat dari adat istiadat pernikahan muda tersebut, dapat dikatakan masyarakat adat hanya memikirkan nama keluarga tanpa memikirkan keselamatan dari mempelai wanita. dimana pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang sesuai oleh orang tua kurang diperhatikan. Meledaknya jumlah penduduk, kurangnya minat pendidikan, kurangnya pengetahuan tentang reproduksi yang baik dan menjadi berkepanjangan dengan mengatasnamakan adat.
Selengkapnya: http://www.kompasiana.com/shofiasari/tradisi-pernikahan-muda-di-pulau-madura_54f38343745513a02b6c78b7

(5). Pandangan patriarki orang Madura sampai saat ini masih kental. Pendidikan anak khususnya perempuan madura dianggap kurang penting, sehingga peran perempuan dilegitimasi hanya untuk berkutat di dapur, sumur dan kasur. Padahal lebih dari itu, ada yang sangat penting yaitu, masa depan pendidikan anak kelak sangat ditentukan oleh pendidikan ibunya dalam menghantarkan kesuksesan anaknya. Hal ini menunjukkan sempitnya ruang gerak dan pemikiran perempuan sehingga perempuan tidak memiliki cakrawala di luar tugas-tugas domestik. Hal ini berakibat perempuan tidak bisa mandiri dan tidak mampu berperan serta dalam lingkungannya.  Dari hal ini, Kartini mendobrak kondisi yang memprihatinkan tersebut dengan membangun sekolah khusus wanita. Lihat, misalkan, http://www.beritaekspres.com/2015/04/21/kartini-dan-pendidikan-perempuan-di-indonesia/

(6). Sumenep memiliki catatan sejarah dan budaya yang panjang, 737 tahun lebih. Sebuah masa, tentunya banyak melahirkan dinamika budaya dan kearifan yang patut untuk digali, revitalisasi untuk dapat diaktualkan di saat kini. Namun sisa peradaban yang banyak memiliki keburukan dan tak sesuai dengan hidup kekinian, tentu harus ditinggalkan. Salah satu kebiasaan di masyarakat Madura pada uumnya di masa silam, yaitu menjodohkan anak-anaknya di saat usia kanak-kanak, bahkan ada seorang anak sudah dijodohkan saat masih berada dalam kandungan. Misalnya:“Fulan jika anak yang kukandung nanti lahir laki-laki dan anak yang kau kandung nanti lahir perempuan, maukah nanti anak kita dijodohkan.” Sebuah akad yang dilakukan sebelum sang anak dilahirkan, dan jika benar jenis kelamin di antara keduanya berbeda, maka perjodohan itu akan dilangsungkan. Lihat di: http://dokumen.tips/documents/mengenang-pernikahan-dini-dalam-songennep-culture.html#

(7). Di Madura tradisi anak dipaksa nikah muda oleh orang tuanya sudah terjadi sejak turun temurun. Khususnya di timur daya Kabupaten Sumenep marak terjadi pesta pertunangan/pernikahan dini, bahkan semakin marak pesta pernikahan seperti misalkan ketika datang musim kemarau. Semenara itu, saat saya bertanya langsung kepada salah seorang tokoh terkemuka di daerah Kecamatan Batang-Batang, D. Zawawi Imron, mengatakan, pernikahan dalam usia muda kurang baik. Alasannya, selain anak masih dalam masa anak belajar, dimungkinkan persiapan mental mereka masih kurang. Sehingga, dampak yang akan terjadi, mereka akan kebingungan untuk membina rumah tangga yang baik pula. Dan menurut undang-undang negara, bahwa usia minimum perkawinan’ adalah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.

(8). Kesiapan mental anak sebelum dijodohkan orang tuanya harus juga diperhatikan. Biar tidak membunuh karakter seorang untuk tumbuh menjadi seorang yang cerdas dan mampu mandiri secara dewasa. Kasus Titin Khalidah (18) Tahun warga Kecamatan Ganding cukup menjadi perhatian khusus bagi masyarakat Sumenep khususnya. Berita yang tersiar sebelum ia meninggal karena ia dipaksa menikah oleh orang tuanya hingga ia melarikan diri dan ditemukan meninggal sangat megenaskan di kecamatan Batuputih. Lihat di: http://www.maduraexpose.com/janda-kembang-yang-ditemukan-tewas-ternyata-orang-ganding/

*Lahir di Sumenep, Karyanya pernah dimuat di beberapa media. Sekarang aktif sebagai Pegiat Rumah Bahasa di Sekolah Tarbiyatus Shibyan, Jadung Kecamatan Dungkek.