Kisah KH Abdullah Sajjad Sumenep: Ditembus Peluru Belanda, Syahid Dalam Sujud
Kiai Abdullah Sajjad. (lontarmadura)
KH ABDULLAH SAJJAD lahir di Guluk-Guluk, Sumenep, Madura, sebagai anak keempat pasangan KH Muhammad Syarqawi dan Nyai Qomariyah dari tujuh bersaudara. Ayahnya jadi pendiri Pesantren Guluk-Guluk (kini Pesantren Annuqayah), pada tahun 1887.
Sejak kecil, KH Sajjad nyantri dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Pernah nyantri di Pesantren Kademangan asuhan Syaikhuna Cholil Bangkalan, kemudian ke Pesantren Tebuireng asuhan KH. Hasyim Asy’ari, dan Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo.
Pada pesantren terakhir inilah di bawah asuhan Kiai Chozin, KH Abdullah Sajjad seperguruan dengan KH Abdul Wahid Hasyim. Setelah itu beliau belajar di Mekah bersama kakaknya, KH Muhammad Ilyas, mengikuti jejak ayahnya.
Kembali ke Guluk-Guluk, KH Abdullah Sajjad melanjutkan perjuangan orang tuanya dalam mengembangkan pesantren. Beliau diberi kesempatan merintis pesantren sendiri di lingkungan Pesantren Annuqayah di Latee, sekitar seratus meter dari induknya pada 1923.
Beliau kemudian memperkenalkan sistem madrasah, mengikuti model yang dipelajarinya di Pesantren Tebuireng pada tahun 1935. Sebagian besar waktunya diisi untuk mengisi pengajian kitab suai shalat jamaah. Kecuali setelah Shalat Maghrib dan Subuh, yang dipakai untuk pengajian al-Quran.
***
Suatu ketika, muncul kelompok-kelompok yang membid’ahkan amaliyah-amaliyah warga pesantren dan masyarakat. KH Sajjad tampil mengecam kelompok tersebut secara tegas, berkarakter, serta tangguh dalam membela prinsipnya. Bahkan KH Sajjad pernah menulis satu tulisan untuk membela amaliyah masyarakat Madura yang didominasi tradisi NU.
Pernah suatu kali, salah seorang putra KH Sajjad, Kiai Abdul Basith, mendapat kitab yang dikenal ekstrem pandangan tasawufnya. Kitab itu kemudian dihiasi berbagai catatan pinggir kritis oleh KH Sajjad. Maksud KH Sajjad jelas: agar pembaca bisa berhati-hati dan cermat dalam membacanya. Ini supaya nantinya tak muncul kesalahpahaman atau kesimpulan menyesatkan dalam membaca karya Ibnu Arabi.
Dari perjuangan membela masyarakat, KH Sajjad tampil pula dalam membela bangsa ini dari gangguan penjajah bangsa asing. Pasca Proklamasi Kemerdekaan, Belanda masuk ke Madura dalam rangka merebut kembali jajahannya sekaligus menciptakan negara boneka bernama Negara Madura.
Pimpinan laskar santri-ulama, Laskar Sabilillah di Sumenep yang semula dipegang Kiai Ilyas, diserahkan kepada KH Sajjad. Beliau keliling Madura, terutama di daerah Pamekasan dan Sumenep, mengajak masyarakat berjuang membela agama, negara, dan bangsa.
Masyarakat kemudian bergabung dalam Laskar Sabilillah dan Laksar Hizbullah, Yang berisi barisan para kiai dan santri; dan barisan anak-anak muda.
Semuanya difungsikan untuk menggalang dan menghimpun kekuatan dalam menentang Belanda yang ingin menguasai Sumenep. Dibantu menantu dan keponakannya, Kiai Khazin bin Kiai Ilyas, KH Sajjad membawa pasukannya bergerak di front terdepan. Bahkan sering terlibat pertempuran dengan pihak tentara Belanda di Pamekasan dan Sumenep, sekitar Agustus 1947.
Namun ternyata, kekuatan musuh jauh lebih solid. Pasukan Sabilillah dan Hizbullah dipukul mundur. Kiai Khazin selaku pimpinan lapangan mengirim utusan agar Pesantren Annuqayah, yang waktu itu jadi markas komando Barisan Sabilillah, dikosongkan. Kiai Ilyas mengungsi di dusun Berca, daerah pedalaman Guluk-Guluk.
Sedangkan KH Sajjad bersama para santri, mengungsi ke Karduluk, daerah pegunungan sebelah timur Prenduan, Sumenep. Awalnya, KH Sajjad disarankan untuk mengungsi ke Pulau Jawa. Namun beliau bertahan di wilayah Sumenep dengan pertimbangan tidak ingin meninggalkan santri dan rakyatnya.
Hanya Kiai Khazin yang diminta mengungsi ke Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukerejo, Asembagus, Sitobondo.
***
Empat bulan pasca serangan, datanglah sepucuk surat yang ditujukan kepada KH Sajjad. Surat yang dibawa oleh seseorang asli Madura, yang ternyata adalah kurir Belanda. Surat bernada membujuk agar KH Sajjad kembali ke Guluk-Guluk karena situasi sudah dianggap aman.
Sejumlah pihak mencegah sang kiai untuk kembali. Alasannya, surat itu tak terpercaya, hanya tipuan Belanda untuk menangkap beliau. Sementara pihak lainnya, terutama pimpinan Pesantren Annuqayah di pengungsian, sudah melakukan musyawarah dan menyetujui KH Sajjad kembali ke Pesantren Annuqayah.
Masyarakat pun segera menyambut dan menemui beliau di pesantren. Usai Shalat Maghrib berjamaah, tiba-tiba datang serdadu Belanda menangkap Kiai Abdullah Sajjad. Sang kiai lalu dibawa ke lapangan Guluk-Guluk, dan segera dieksekusi dengan kejam oleh tentara Belanda.
Konon, menurut cerita rakyat setempat, nama “as-Sajjad” dilekatkan kepada beliau, karena sewaktu syahid membela agama dan negara, beliau sedang sujud menghadap ke Hadirat Ilahi.
Sebuah versi lain menyebutkan, dari pesantren KH Sajjad dibawa ke markas Belanda di Kemisan, sekitar satu kilometer di utara pesantren. Di sana, sang kiai diinterogasi hingga diancam akan dibunuh. Namun beliau tetap pada pendiriannnya.
Sebelum eksekusi dilaksanakan, Kiai Abdullah Sajjad minta izin untuk shalat sunnah. Permintaan pun dipenuhi. Di saat sedang shalat itulah, mungkin tentara Belanda sudah ingin segera menghabisi nyawanya.
Satu kali desingan peluru, tubuh KH Sajjad jatuh tersungkur dalam posisi sujud akibat terjangan tembakan Belanda. Jenazahnya kemudian dibawa secara diam-diam pihak keluarga, lalu dimakamkan di lingkungan Pesantren Annuqayah sekitar Oktober 1947.
Selama hidupnya yang penuh pengabdian kepada masyarakat, KH Sajjad menerbitkan satu-satunya buku berjudul Manzhumatu-l- Masa’il (Syair tentang Masalah-masalah Keimanan).
Lahumul faatihah. (*)
*Diceritakan oleh Kiai Ahmad Baso. Sumber: DNK.id