Pewayangan: Perspektif Newbie Kelas Teri
Saduran tulisan lama yang kembali dicumbui penulisnya. Presisinya; tidak lagi keranjingan budaya terutama wayang, tergolong newbie kelas teri yang sok-sokan berani berceloteh ke permukaan. Jadi, kembali ke topik satu lustrum – 5 tahun terakhir; berdasarkan observasi ditambah referensi utama (wawancara dan literatur), tontonan wayang menjadi sesuatu yang sukar ditemukan bagi sejumlah orang yang menganggap pertunjukkan ini sebagai hiburan. Konon mengguritanya budaya barat yang menarik atensi kawula muda menjadi sebab tontonan tersebut kehilangan prestisenya. “Beginian saja anak muda dijadikan kambing hitam. Mari berkaca saja!”, “Toh, itu tontonan orang tua kakek nenek kami. Mana ngerti!” Begitu dalihnya.
Namun, pernyataan tersebut kemungkinan hanya sebagian benar sisanya asumsi sekedipan mata. Saat meraba komunal-komunal berkepala muda tak akrab dengar kisah Punakawan bersama Sabda Palonnya bahkan sedikit tertarik membahas kisah Bima atau Yudistira dalam Epos Mahabarata sebagai pengantar diskusi mereka. Rampungnya hanya sampai pertanyaan apa itu, siapa dia, kenapa itu, dan bagaimana kelanjutan ceritanya cukup mewakili kawula muda masa kini tak akrab dengar tentang kisah pewayangan. Barangkali terbatasnya literatur yang membahas tentang pewayangan, hambatan dalam memahami cerita dalam bahasa Jawa, atau kurangnya kegiatan yang melibatkan langsung anak muda menjadi muasal sebab. “Sesekali jeli lah melihat, tidak jarang tiga empat anak muda turut serta menyukseskan tontonan wayang.”
Lalu, pemahaman mudahnya bagaimana gambaran tontonan wayang itu?
Term Wayang merupakan salah satu seni budaya tradisional Jawa yang telah lama ada sejak 1.000 tahun yang lalu. Bukan hanya omong kosong saja, terdapat bukti yang bisa memperkuat pernyataan tersebut berdasarkan Jurnal berjudul ‘Pendidikan Nilai dalam Pagelaran Wayang Kulit’ adalah prasasti peninggalan Raja Balitung (899-911). Isi dari prasasti ini berupa kisah Bima Kumara dan seorang dalang beserta upah yang diterima pada masa itu. Umumnya tontonan ini disenangi oleh kalangan usia 40 tahun ke atas. Namun, tidak menutup kemungkinan terdapat beberapa kawula muda dipersempit pada kawula muda Banyumas yang mulai tertarik dan haus akan informasi seni budaya tradisional asal Jawa satu ini.
Kemudian, sebagai wujud usaha pelestarian wayang sekaligus memfasilitasi rasa penasaran kawula muda daerah Banyumas. Maka, sejak tahun 1982 Bupati Kepala Daerah Tingkat II Banyumas memutuskan untuk membangun Padepokan Museum Wayang Sendang Mas. Museum wayang ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan dan prestasi dunia pedalangan dan wayang kulit Banyumasan. Wayang kulit Bayumas ini merupakan wayang kulit Banyumasan tempo dulu yang dibuat pada masa Kerajaan Pajang dengan rata- rata ukuran menyerupai wayang kulit Kidang Kencana dari Surakarta yakni sekitar 60 – 70 %. Beragam jenis wayang yang dimuseumkan diantaranya wayang suluh, wayang krucil, wayang suket, dan wayang golek purwa. Sebagai pelengkap disediakan lengger sebagai wadah putera-puteri daerah Banyumas dan sekitarnya yang ingin mengenal tarian daerah sekaligus mempelajarinya.
Tontonan wayang muasalnya sebatas media bertutur para Walisongo kepada masyarakat Jawa dalam menyebarkan Islam, mengajarkan tasawuf, serta seni dan sastra. Contohnya Sunan Kalijaga yang menggunakan wayang sebagai media dakwahnya dengan tembang-tembang ciptaannya yang khas seperti lir-ilir. Hingga sekarang pun dalang atau si tukang cerita tidak berbeda jauh dalam membawakan pagelaran. Konsep pagelaran wayang umumnya hampir sama yaitu dilakukan semalaman suntuk dengan kelambu putih besar sebagai peragaan saat adegan demi adegan dimulai. Dalang akan selalu duduk dibelakang kelir untuk memperagakan boneka wayang dari cerita-cerita ramayana atau mahabarata.
Adapun alat bantu lainnya selain boneka wayang itu sendiri yaitu Kelir, Debog, Blencong, Cempala, Kotak Kayu, dan Krecek. Selain itu permainan wayang ini juga diiringi dengan seperangkat gamelan, kendang, gender, rebab, gambang, suling, alat petik, celempung, kenong, ketuk, kempul, saron, bonang, dan gong. Penikmat wayang kulit Banyumas mengenal paling sedikitnya ada enam macam pertunjukkan wayang yaitu ringgit golek, ringgit purwa, ringgit gedhog, ringgit klithik, ringgit beber, dan ringgit madya. Sebagai adegan pembuka, dalang akan menata tokoh-tokoh wayang sesuai wataknya. Bila dikanan dikenal sebagai tokoh yang baik dan sebaliknya wayang disebelah kiri cenderung sebagai tokoh antagonis, dan ditengah-tengah dari kedua watak tokoh tersebut terdapat gunungan atau kayon sebagai gambaran alam raya.
Selain sebagai saran hiburan, tontonan wayang juga kaya akan nilai kehidupan luhur yang memberi suri tauladan bagi penikmatnya. Wayang dianggap merepresentasikan watak jiwa manusia yang identik menampilkan adegan drama bayangan boneka yang terbuat dari kulit binatang, berbentuk pipih, diwarnai, dan bertangkat. Di dunia internasional, wayang telah tercatat sebagai karya seni budaya adi luhung yang telah di akui oleh UNESCO. Suatu lembaga yang diakomodir PBB dalam menangani pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Di mata internasional, wayang merupakan karya tak benda warisan manusia. Memunculkan pelaku-pelaku dari tiga dunia yakni dunia atas (Tuhan, Dewa, dan Para Bidadari), dunia tengah (manusia, binatang, alam), dan dunia bawah (raksasa, makhluk halus).
Uniknya, dalam drama lain pelaku dibedakan menjadi dua kelompok yaitu pelaku sepenuhnya baik dan sepenuhnya jahat. Tentu berbeda dengan wayang, pelaku tidak selamanya jahat. Wayang adalah lambang budi, penciptaan bentuk bayang didasarkan pada pengetahuan tipologi dan karakterologi. Nilai-nilai luhur pada wayang bisa terwakili dari watak tokoh didalam cerita. Watak dewa yang agung, tokoh dalam ramayana seperti anoman dan sri rama, atau tokoh dalam kisah mahabarata seperti pandawa dan kurawa.
Dari sudut pandang budaya, nilai adalah konsep abstrak mengenai masalah dasar yang sangat penting dan bernilai dalam kehidupan manusia. Adapun nilai-nilai tersebut diantaranya; Pertama, Nilai Religius Islam atau dimaksudkan masyarakat Jawa bahwa mulanya wayang ini dijadikan sebagai sarana memuja roh nenek moyang namun semenjak Kerajaan Demak berkuasa wayang ini dimanfaatkan untuk menyebarkan ajaran Islam. Kedua, Nilai Filosofis dari pagelaran wayang yang terdiri dari beberapa adegan yang tiap-tiap bagian melambangkan tingkat tertentu dari kehidupan manusia.
Bagian-bagian dari adegan wayang yang dimaksudkan di antaranya; Jejer, melambangkan kelahiran bayi dari kandungan Ibu serta perkembangannya hingga menjadi dewasa. Perang gagal, melambangkan perjuangan manusia muda untuk melepas diri dari kesulitan serta penghalang dalam perkembangan hidupnya. Perang kembang atau perang kedua menggambarkan kisah perjalanan kesatriya bersama abdinya bertemu dengan raksasa dan terjadi perang yang kemenangannya dipihak satriya. Perang brubuh atau perang ketiga adalah adegan peperangan yang mengalir tanpa harus berakhir dengan kekalahan tetapi bisa merupakan pengungkapan rahasia yang terjadi antara kedua pihak yang berperang. Adegan inilah yang bisa membuat penonton bertahan hingga tancep kayon atau penanda bahwa cerita berakhir.
Selain konsep pagelaran wayang, alat-alatnya, dan bagian-bagian dari adegan, ada juga watak-watak tokoh wayang yang menarik bagi sejumlah penikmatnya yaitu watak dari punakawan. Terdiri dari semar, gareng, petruk, dan bagong yang dari masing-masing mereka memiliki watak yang berbeda namun saling melengkapi. Kelimanya merepresentasikan karakter kepribadian muslim yang ideal. Dari semar yang dikenal dengan karakternya penyabar dan bijak. Nara gareng dicerminkan sosok orang yang humble dan berkepribadian menyenangkan. Petruk merupakan sosok yang mempunyai jiwa sosial tinggi dengan berorientasikan pada Tuhan. Terakhir, bagong dengan kepribadiannya yang menolak segala hal yang buruk dari dirinya maupun dalam masyarakat. (*)
*Perempuan kelahiran 2002 ini tinggal dan besar di desa Merden, Jawa Tengah. Sekarang ini ia disibukkan dengan kegiatan di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) Purwokerto dan studi di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI).