Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Yang Tertinggal dari Reruntuhan Kemanusiaan


Oleh: Puri Bakthawar*

Orang-orang kulit hitam tidak mengetahui rahasia itu. Dan melihat mereka berbaris sepanjang satu atau dua mil dan berjalan dengan damai menyusuri jalan, ketika bangau-bangau putih yang tersebar bagaikan carik-carik kertas terbang ke arah berlawanan di atas mereka, terasa seperti melihat kawanan sapi yang sedang digembalakan (George Orwell, dalam “Marrakesh”, hal. 36-37).

George Orwell, pengarang Inggris yang masyhur atas novel Animal Farm dan 1984, menjalani sebuah kehidupan yang penuh liku. Ia pernah menjadi opsir polisi imperial Inggris di Burma, hidup miskin dan nyaris menjadi gelandangan di Paris, serta bergabung dengan gerilyawan lokal Spanyol yang menentang front fasis pimpinan Jenderal Franco di perang saudara 1936-1939.

Pengalaman hidup yang keras itu menyisakan guratan tajam yang membekas pada memorinya. Dalam sebuah kesempatan, ia pernah menyatakan, “tak ada kata-kata yang sanggup mengungkapkan betapa keji Imperium Britania. Para tahanan malang yang berkerumun dalam kurungan yang pengap, wajah-wajah muram para narapidana dengan pantat penuh luka akibat cambukan kulit bambu, hanyalah secuil yang tidak berarti apa-apa. Menyadari bahwa saya adalah salah satu bagian darinya, membuat diri saya sunyi dan selalu dihantui dosa (Orwell, 1936).”

Bagaimana Si Miskin Mati (OAK, Yogyakarta: 2016) berisi kumpulan esai George Orwell yang ditulisnya pada periode 1931 sampai menjelang kematiannya. Esai-esai ini merupakan gambaran pemikiran Orwell mengenai potret kemanusiaan, perang, politik, sastra, dan hal-hal lain, yang secara langsung maupun tak langsung membentuk dirinya sebagai seorang penulis.

Baca Juga: Halaman Gelap Modernitas Jepang

Dalam esai “Hukuman Gantung” dan “Menembak Seekor Gajah”, misalnya, Orwell secara ironis mengilustrasi hancurnya kemanusiaan akibat praktik imperialisme terhadap dunia ketiga. Kami semua tertawa lagi. Saat itu, anekdot Francis terdengar sangat jenaka. Kami semua, orang-orang pribumi dan Eropa, minum bersama, dengan sangat akrab. Si terpidana mati berjarak seratus yard dari kami (hal. 7).

Imperialisme, apa pun dalihnya, adalah bencana yang menghancurkan kemanusiaan hingga titik nadir. Bagi Orwell, imperialisme ialah puncak dari kepongahan manusia dalam memandang dunia, yang sekaligus akan menggerus peradaban manusia itu sendiri. Abad ke-20 menjadi saksi lahirnya megalomania seperti Adolf Hitler atau Benito Mussolini. Dan dunia harus menyaksikan jutaan nyawa mati sia-sia demi sebuah keserakahan yang dibalut dengan politik dan ideologi.

Dalam “Politik dan Bahasa Inggris”, Orwell membedah bagaimana praktik bahasa dapat menjadi senjata politik yang ampuh. Di Jerman, Hitler pernah memiliki Joseph Goebbels sebagai corong propaganda. Di Inggris, bahasa pun tak lepas dari praktik meraih kuasa. Digambarkan bahwa di tangan politikus, bahasa menjadi ibu dari jutaan dusta yang terlahir.

Bahasa politik -sebagaimana digunakan oleh penganut berbagai aliran politik, dari yang konservatif sampai anarkis- digunakan untuk membuat kebohongan terdengar benar dan pembunuhan tampak terhormat, dan untuk membuat omong kosong tampak berisi (hal. 149).

Esai “Bagaimana Si Miskin Mati” merupakan gambaran secara gamblang bagaimana bias kemanusiaan terjadi antar manusia sendiri. Berdasarkan pengalamannya dirawat di sebuah rumah sakit di Paris, Orwell menuliskan perlakuan banal terhadap orang miskin. Mereka ditempatkan pada ruangan yang bau anyir dan penuh kotoran, tak ubahnya seperti penjara bawah tanah, dengan pasien yang terbatuk-batuk secara mengerikan (hal. 182). Para dokter memperlakukan pasien seperti kelinci percobaan, seolah perkara kematian ialah urusan sepele. Di ambang batas antara hidup dan maut, kemanusiaan masih merupakan hal rumit untuk dicari.

Esai-esai lain dalam buku ini juga membahas perjumpaan Orwell dengan dunia sastra, seperti yang ditulis dalam “Kenangan di Toko Buku”, dan “Puisi dan Mikrofon”. Meski secara umum ditulis dengan nada yang murung dan gelap, secuil optimisme tampak pada esai “Dendam Itu Pahit Rasanya”, yang mengisahkan seorang korban perang yang menaruh bunga pada makam tentara tanpa identitas. Setidaknya, di balik kekejaman perang, selalu terselip cerita-cerita pemantik harapan.

Membaca esai-esai dalam Bagaimana Si Miskin Mati, tampak jelas apa yang menjadi latar pemikiran dan suasana psikologis George Orwell dalam menuliskan karya-karya sastranya yang bercorak humanis dan anti totalitarian. Barangkali manusia memang memerlukan sebuah fase katastrofik terlebih dulu sebelum menemukan definisi kemanusiaan itu sendiri. Seperti halnya yang tergambar dalam salah satu novel Orwell yang paling terkenal, 1984. (*)

***

*Puri Bakthawar, Lahir di Salatiga, 7 November 1990. Sekarang sedang menempuh studi dan menjadi Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya UGM. Mencintai buku-buku dan dunia cerita. Beliau dapat dihubungi melalui HP: 0813-2983-0905, Email: puribakthawar@gmail.com, Twitter: @puribakthawar


Bagaimana si Miskin Mati 2Data Buku
Judul: Bagaimana Si Miskin Mati
Penulis: George Orwell
Penerjemah: Widya Mahardika Putra
Peresensi: Puri Bakthawar
Penerbit: OAK, Yogyakarta
Cetakan: I, Maret 2016
Tebal: 199 halaman
ISBN: 978-602-72536-5-0