Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bersama Sanak


Oleh: Obik Andawiya*

Bersama tiga anak ini; Nafi’, Rijal dan Randi, aku berjalan di sepanjang rel kereta api. Kamu yang di Malang dan tahu daerah kampung Jodipan (Kampung warna-warni), di atasnya terdapat rel kereta api, nah rel kereta itulah yang menyambung dengan rel yang sedang kami lewati ini. Banyak yang kami obrolkan, berkenalan, mereka bertanya aku mau kemana, aku bertanya mereka mau kemana, tidak takutkah mereka tiba-tiba ada kereta lewat seketika, “Oh! Kalau kereta nanti mbak, biasanya tiap dua jam gitu,” Nafi’ menjawab. Hingga akhirnya kereta itu benar-benar muncul beberapa meter di belakang kami setelah terdengar suara sirene sebagai tanda peringatan. Kami menepi. Kedua telinga Nafi’, Rijal dan Randi mereka tutup dengan tangan masing-masing. Rambut tipis mereka bergerak-gerak searah jalannya kereta karena jalannya yang kencang. Seketika aku merasakan getaran sebagai hantaran dari kereta api yang sedang lewat. Takut.

Terlepas setelahnya, ku lirik bapak ibu petani yang sedang bercocok tanam di sawah di seberangku. Setiap hari mereka penuh kebisingan kereta api di sini?. Mulutku terkunci. “Mbak, ayo cepetan nyebrang!.” Nafi’ memanggilku. Tubuhnya sudah berdiri tepat di rel kereta yang menyerupai jembatan. Oh, ternyata di bawahnya sungai. Jembatan itu berupa kayu yang diselingi lubang, di bawahnya terdapat tabir mirip besi yang tertutup. Kata Nafi’, jika ada kereta lewat maka penyeberang sungai bisa bersembunyi di bawah jembatan dengan memasukkan tubuhnya di ruangan kecil bawah jembatan rel kereta api ini. Tepat di seberang sungai itu, sebuah perkampungan yang terlihat sedikit kumuh dan ke sanalah aku bersama temanku, Ain akan pergi. Oh, tidak. Aku paling tidak suka menyeberangi sungai dan melewati jembatan berlubang.

Para ibu-ibu di sawah yang sedang membersihkan padinya, berteriak ke arah kami untuk tidak menyeberangi jembatan itu. Ya, mereka menganggap bahaya, takut tiba-tiba kereta muncul di saat kita di tengah jembatan, apalagi bersama anak kecil. Jadilah aku dan Ain tetap berdiri di pinggiran. Sementara tiga anak itu bermain-main sambil bergelayutan di jembatan.

Baca Juga: Sajak-sajak Obik Andawiya

“Mbak, ayooo,” kata Nafi’.
“Takut …,” jawabku. “Nanti ada kereta lewat lagi.”
“Ndak ada, mbak. Kan barusan udah lewat.”
“Ntuh, takut sama ibu-ibu yang di sawah. Gak dibolehin nyeberang.”
“Aduh, mbak bilang aja rumahnya di perkampungan itu … di sana.” Telunjuk Nafi’ mengarah ke seberang. Seketika aku ingin tertawa. Anak ini …
“Mbak, takut …”
“Ya, udah. Mbak jangan bilang takut ke ibu itu. Nanti ndak dibolehin nyebrang.”
Eh, bener juga. Batinku.
“Aku dulu pernah takut, mbak. Tapi sekarang udah ndak. Nih liatin ya … dulu pas aku belajar, aku jalannya kayak gini.” Tiba-tiba kedua tangannya dia lekatkan pada sisi rel kereta api sehingga tubuhnya membungkuk. Dengan bergantian, kedua kakinya menggeser hingga beberapa langkah. “Nah … gitu mbak. Ayooo, ndak boleh takut.”

Ah, anak ini. Pintar sekali mengajari.

“Ndak, ah!. Mbak  balik aja, ya. Ndak jadi nyeberang.”
“Loooh, ndak apa-apa mbak. Jangan takut.”
“Ndak, mau. Kapan-kapan saja ya. Kalau mbak ke sini lagi.”
“Ya, udah deh. Aku ikut mbak, aja.”
“Loh, kemana?”
“Balik lagi. Aku ndak jadi nyeberang. Rek, ayo balik!” si Nafi’ memaggil kedua temannya.
“Loh, gak apa-apa kalian nyeberang. Kapan-kapan main lagi.”
“Ndak, apa-apa mbak. Kita balik saja.”

Akhirnya kami kembali lagi ke arah yang sama. Aku dan Ain sebenarnya sedang menjalani aksi. SANAK atau Sahabat Anak. Kami mencoba menjadi sahabat anak walaupun sehari. Kami mengajari mereka membaca, menghitung, menulis untuk mereka yang memang masih belum bisa. Syukur-syukur bagi mereka yang tidak mampu atau putus sekolah. Selain itu kami mengajak mereka bercerita, hingga mereka dengan mudah akan mengekspresikan kata-kata dalam benaknya.

Aku sendiri sebenarnya juga belajar dari Ain. Bagaimana dia dekat dengan anak-anak tanpa saling kenal sebelumnya. Karena dia memang jurusan PGSD mungkin sudah terbiasa bergaul dengan anak kecil. Tapi tidak denganku. Aku adalah paling diamnya orang jika sedang bersama anak-anak. Tidak suka melucu layaknya anak-anak melucu, atau pura-pura mengikuti setiap ajakan mereka. Auraku lebih sering serius.

Dari rel kereta api ini, aku berkenalan dengan mereka bertiga. Mengajak mereka bercerita, tentang teman bahkan kehidupan keluarga mereka. “Kalau aku, bapak ibuku udah ndak ada, mbak. Tinggalnya sama bu de saja. Nah, kalau Randi itu, dia kadang makannya susah. Kalau Rijal kadang ndak ada teman. Sering ndak dibolehin main sama orang tuanya.” Begitulah Nafi’ bercerita di bawah pohon pisang siang itu. Tapi jangan bilang-bilang ya, mbak” lanjutnya sambil jari telunjuknya dia tegakkan di depan bibirnya.

Sebenarnya memang pernyataan “bisa karena biasa” itu tak bisa dipungkiri. Dalam hal nyeberang menyeberang jembatan mereka hebat dari pada aku. Terbiasa dalam kesederhanaan itu sebuah hal yang menakjubkan. Terbiasa dengan dengan bisingnya kereta setiap hari, menyebrangi jembatan rel kereta yang di bawahnya sungai apalagi. Cukup bersyukur atas segala apa yang ada. Karena tak ada kebahagiaan yang harus dicari kecuali rasa syukur itu sendiri. Salam Sahabat Muda.

*Obik Andawiya Lahir pada tanggal 15 April 1995. Asal Guluk-guluk Sumenep Madura. Pernah menyantri di PP. Annuqayah dekat rumahnya sekaligus alumnus MTs 1 dan MA 1 Annuqayah Putri. Kini sedang mendalami ilmu kimia di Fakultas Sains & Teknologi UIN Maliki Malang. Bisa ditemui di www.andawiyachemista.blogspot.co.id email: obik.andawiya@yahoo.com