Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Masa Depan Peradaban Madura Tanpa Air


Oleh: M. Faizi*

Beberapa bulan yang  lalu, ada seorang tamu (BPM) Annuqayah. Namanya Hendro Sangkoyo. Saya menemaninya di ruang tamu pesantren. Setelah bicara sedikit banyak, dia lalu bertanya “Apakah Anda juga masyarakat di sini tidak merasa terancam kekurangan air?” Saya tentu menjawab ‘tidak’ karena, ketika itu, yang ada dalam benak saya adalah Somber Daleman, sebuah mata air dekat kami yang darinya kami semua menikmati air secara ‘cuma-cuma’. Diukur dengan TDS, air sumber ini relatif sangat bersih, meskipun saya tidak ingat pasti angkanya.

Namun, ketika beliau bertanya kembali, ‘bagaimana jika 10 tahun mendatang?’, saya pun diam karena tidak punya jawaban.Perlu diketahui,  tak jauh dari Pondok Pesantren Annuqayah, dekat rumah saya, terdapat mata air yang debitnya sangat melimpah. Somber Daleman namanya. Terletak di Desa Guluk-Guluk bagian timur (Sumenep), sumber ini menjadi mata air tempat masyarakat dan santri bersuci, mencuci, mandi, dan untuk keperluan yang lain. Debit air menyusut hanya jika kemarau panjang. Namun, pada musim kemarau tahun ini (2014), terjadi ironi. Air Somber Daleman nyaris habis sama sekali.

Kebetulan, seminggu yang lalu, Pak Yoyok datang lagi. Belakangan saya tahu, beliau adalah pakar geologi. Saya lantas ingat percakapan dengannya beberapa waktu yang lewat. Darinya saya mendapatkan informasi bahwa tanah di Madura itu didominasi oleh batu karst (batu gunung/batu karang).

Bebatuan ini membentang dan membujur dari barat (Bangkalan) ke Timur (Sumenep) di sisi utara dan selatan pulau serta hanya terdapat pada sebagian saja, termasuk juga di kawasan Guluk-Guluk. Bagian tengah pulau, kata dia, tidak ada bebatuan jenis ini.

Batu karst merupakan bak air. Resapan air hujan selama tengkujuh (musim hujan) tersimpan di dalamnya. Batu-batu karst ibarat tandon air raksasa yang terbenam di dalam tanah. Nah, saat ini, ada ancaman serius yang kurang disadari bersama, yaitu pembongkaran batu-batu karst di beberapa tempat, di Pulau Madura, secara besar-besaran.

Pembongkaran ini adalah untuk kepentingan bahan bangunan yang selama ini tidak ada alternatif lainnya. Logikanya, jika bak air dibongkar, di manakah kelak air akan tersimpan? Menanam banyak pohon akan menjadi kurang begitu bermanfaat jika tandon air raksasa yang ada di dalam tanah ini sudah berkurang dan akhirnya tak ada lagi.

Kenyataan ini menunjukkan, bahwa sesungguhnya pembongkaran batu-batu karst dengan ‘brutal’ sama artinya dengan memperpendek jarak masa kini ke depan Madura tanpa air, belum lagi apabila pabrik semen dibangun, maka makin cepatlah perjalanan waktu ke masa kehancuran itu. Terdengar begitu menyeramkan, bukan? Begitulah yang akan terjadi jika semua ‘proyek demi kemajuan’ ini terus berlangsung tanpa kendali.

Barangkali, kata Pak Hendro akrab dipanggil Yoyok hanya menunggu satu-dua generasi saja untuk tiba di ‘masa kegelapan’ itu, masa gelap tanpa air, jika pemerintah tidak segera membuat protokol, aturan, dan kita diam tanpa menyiapkan alternatif penggantinya (India yang sudah menemukan ‘amobi’ sebagai bahan bangunan tandingan).

Kecuali jika Tuhan berkehendak lain, semua skenario di atas akan beda ceritanya. Akan tetapi, logika tambang di atas tetaplah harus dipikirkan secara matang karena itu juga adalah logis, merupakan sunnatullah. Untuk apa manusia dilengkapi hati untuk merasa dan akal untuk berpikir jika untuk hal yang jelas di depan mata seperti ini tidak dapat dipergunakannya? Sesungguhnya, keajaiban itu adalah kesadaran bahwa kekayaan alam tidaklah diserahkan kepada kita untuk dihabiskan dan dihancurkan. Jangan sampai anak cucu kita tak memperoleh warisan apa pun selain sampah dan kecemasan.

Gaya hidup boros, seperti dalam menggunakan air, tidak adanya kepedulian terhadap lingkungan hidup, serta menghancurkan kekayaan alam secara besar-besaran barangkali bermula dari cara pandang manusia dalam mendapatkan kekayaan dan anugerah itu secara gratis.

Padahal, semua itu gratis namun sesungguhnya bersyarat. Apa syaratnya? Adalah pengetahuan bahwa semua sumber daya alam itu adalah titipan. Jika semua telah habis, masihkah kita berharap pada masa depan kita, masa depan tanpa air? Adalah itu sesuatu yang mustahil dan itu jelas tak mungkin. Tanpa air, peradaban manusia akan berakhir.

*Dilahirkan pada tanggal 27 Juli 1975, di desa Guluk-Guluk, Sumenep (Madura).


Note: Artikel ini pernah dimuat di blog pribadi penulis, sabajarin.wordpress.com pada 22 November 2014, dimuat ulang untuk tujuan pendidikan.