Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Islam Nusantara


Oleh: Kisanak Yockie*

“NU itu orang Indonesia yang beragama Islam. Bukan Orang Islam yang kebetulan di Indonesia.” – Gus Mus.

Pada tahun 2015-an, ketika NU mengeluarkan konsep Islam Nusantara, dulu saya sempat kaget geleng-geleng hidung. “Islam model apa lagi ini” pikir saya dulu sebelum sering ngopi. Sehingga saya mencoba mencari pemahaman melalui buku-buku, artikel-artikel, dari ceramah-ceramah di youtube, tivi yang berkaitan dengan Islam NUsantara. Dan ternyata saya tidak menemukan difinisi secara gamblang tantang Islam Nusantara itu sendiri. Lagi-lagi saya curiga pada konsep Islam Nusantara. “Jangan-jangan ini NU hanya ingin mengagetkan orang saja, dengan konsep tanpa ada definisi.” Kataku sambil lalu membanting  sedok setelah mengaduk secangkir kopi panas.

Ternyata pemahaman Islam Nusantara saya dapatkan non kontekstual, tepatnya pasca aksi 411, 212 dan sejenisnya itu. Aksi itu seakan-akan membuat dua sisi cara pandang saya tentang umat islam di Indonesia. Satu sisi umat Islam menjadi serem; senggol dikit bacok; dikit-dikit boikot; goyang sitik takbir. Efek kopi sedikit gula; pahit. Disisi lain, umat islam yang diwakili Muhammadiyah dan NU lebih banyak toleransi, banyak memaafkan, dan banyak lagi.

Ketika ibu Hindun meninggal dunia dan umat islam gelombang ketiga melarang bahkan mengharamkan untuk mensholatkan jenazah Almarhummah, gara-gara perbedaan memilih politik. PBNU lewat GP. Anshor malah menerima mensholatkan dan mengurus jenazah. Bahkan dengan paket lengkap yaitu menggelar tahlilan untuk mendoakan jenazah tersebut.

Baca Juga: Doa

Ketika mereka (umat islam gelombang ketiga) masih tenggelam dalam macam-macam aksi. PBNU malah memilih sebagai kelompok yang selalu berada di belakang pemerintah sebagai mitra masyarakat berkewajiban mengawal kebijakan pemerintah menghadapi PT. Freeport yang akan menggugat pemerintah Indonesia ke Peradilan Internasional.

Mbah Nun (Emha Ainun Najib) dengan gaya dakwah ala kampungan, bukan arogan.
Gus Mus bercerita lewat sastra ramah, bukan dengan marah-marah.
Said Aqil dengan cara mendidik bukan menghardik.
Quraish Shihab membawa model tafsir, bukan mencibir.
Candra Malik menggiring dengan gaya sufi, bukan dengan menyebar benci.

Mereka menyeret kembali dengan bercerita ala Walisongo. Dimana  Islam diterima dengan penuh cinta dan terhormat. Menyejukkan bukan menakutkan. Inilah gaya ulama NU yang tidak ada dimereka, masalah dikit aksi, senggol sitik bacok.

Baca Juga: Malu Gondrong

“Ooo.. Ini toh islam Nusantara” kataku sambil nyeruput kopi dingin.

Namun penghuni bumi datar dengan akal mendasar malah memplesetkan konsep para ulama NU menjadi ANUS (Aliran Nusantara).

Mungkin mereka perlu memperbanyak ngopi seperti saya agar dapat memahami betul apa itu Islam Nusantara. Bisa juga memperbanyak piknik. (*)

*Kisanak Yockie, Pria seniman kelahiran Tuban, Jawa Timur. Saat ini sedang menempuh studi di Universitas Tribhuwana Tunggadewi (Unitri) Malang.