Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Generasi Nasi Tumpeng dan Kue Bolu


Oleh: Latif Fianto*

Di dalam foto itu, wajah-wajah mereka sedang khusu’, konsentrasi, fokus dan pasti, itu semua raut wajah serius yang tidak pura-pura. Saya pernah menjadi seperti mereka: diam dan mendengarkan ketika orang lain berbicara, tetapi juga garang dan sok cerdas bin pintar ketika diberikan kesempatan menyampaikan gagasan.

Biasanya, dalam forum-forum yang entah bagaimana mereka (orang-orang yang memiliki kewenangan dan kekuasaan di atas saya) menciptakannya atau kadang-kadang saya dan teman-teman seangkatan menciptakan forum-forum yang saya sebut forum ilmiah, kami seringkali menjelma singa podium yang menyampaikan ini-itu dengan gaya diplomatis. Segala macam teori, bahkan pernah dengan seorang teman saya menciptakan teori ‘dhamar conglet’, saya berbicara ini-itu untuk membakar semangat kumpul-kumpul. Jangan salah! Semangat kumpul-kumpul yang saya maksud adalah membicarakan segala rumusan organisasi dan filsafat laku orang-orang yang menamakan dirinya sebagai aktivis.

Bila orang-orang di atas saya dan teman-teman berlaku tidak ilmiah: semacam malas, tidur dan hanya berlomba-lomba mengeluarkan suara kentut paling menggema, kami akan mengundangnya untuk berbicara, secara ilmiah. Kami akan berusaha untuk berontak: semacam menciptakan konflik kecil di tataran grass root. Sebab kalau tidak begitu, mereka yang ada di atas kami akan selalu nyaman dengan bantal dan selimutnya, atau kalau tidak mengenakan keduanya, mungkin dengan sehelai sarung yang ketika tidur sudah hanya menutupi separuh dari tubuhnya. Membayangkan itu, saya jadi teringat betapa begitu besarnya barang mereka.

Saya duduk di sebuah forum dengan pikiran berjubel dan kegelisahan-kegelisahan yang tidak pernah tuntas. Saya dan dengan teman-teman belajar untuk tidak menjadi manja dan cengeng. Kami belajar untuk menciptakan kondisi yang kemudian kami sebut sebagai kompetisi. Ketika duduk untuk membahas tentang ketidakbecusan ketua, bendahara yang tidak memiliki tugas, biro-biro yang hanya menumpang nama dan sok bijak ketika ditanya kenapa programnya tidak berjalan, kami selalu menyempatkan waktu untuk tidak terlalu lama menatap layar ponsel. Kami lupakan sejenak masalah rumah tangga dengan kekasih. Kami lupakan sejenak tentang keinginan untuk segera keluar dari forum dan mencari pelampiasan-pelampiasan lainnya di ruang-ruang yang gelap. Sebab kami sadar, bahwa rayon adalah basis paling fundamental untuk mengisi otak dengan makanan-makanan yang bergizi.

Kesadaran itulah yang membuat kami merasa bahwa kami harus cerdas menciptakan ruang-ruang untuk menata prinsip dan idealisme. Sehingga ketika kami duduk, itu bukanlah sikap-sikap pura-pura untuk menggugurkan kewajiban, melainkan sebuah kedalaman usaha mencari pembuktian diri sebagai kaum aktivis, meski dalam kenyataannya masih belum tercapai secara sempurna.

Maka, saya berani mengatakan, berdasarkan pada kenyataan kondisi yang ada, kita telah menjadi kaum-kaum culas yang tidak tahan banting. Kita terlalu lemah untuk duduk berlama-lama membaca buku, berdiskusi, dan belajar tentang banyak hal. Kita terlalu mudah datang ke sebuah acara bila acara itu berjudul “makan-makan,” “tasyakkuran,” “rujakan,” “masak-masak,” dan segala kegiatan yang berbunyi perut dan sikap-sikap konsumtif lainnya. Dan faktanya, kita terlalu sulit untuk datang dalam acara yang beraroma berat: diskusi atau kegiatan tanpa embel-embel “makanan.”

Maka inilah generasi kita saat ini. Generasi ringan, generasi daun kering, generasi kapas yang mudah diterbangkan dan diombang-ambingkan angin. Generasi nasi tumpeng dan kue bolu. Ini terjadi di mana-mana. Di segala lini dan sudut. Jadi jangan khawatir, kita masih memiliki teman yang senasib dan seperjuangan.

Namun, bagaimana pun kondisinya, saya tetap ingin mengatakan Happy Anniversary. Setidaknya, meski tidak luar biasa, kehidupan organisasi masih berjalan. Tetap tangan terkepal dan maju ke muka. Saya suka kita masih ramai berkumpul meski di bawah naungan nasi tumpeng. Setidaknya, ke depan, kita lebih ramai berkumpul karena alasan untuk menajamkan sisi intelektual, spiritual dan emosional. (*)

*Disarikan dari akun Facebook Latif Fianto. Bisa dikunjungi pada link di bawah ini:

Link: https://www.facebook.com/latiffiantoII/posts/1700338269980415