Pembicaraan
Oleh: Latif Fianto*
Kopi Cokelat masih berbicara sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya. Ia berkata, tidak bisa! Di Kota Es, agar setiap juru berita tetap menulis berita dan pimpinan redaksi tetap bisa memimpin jalannya rapat penentuan headline utama, media bergantung sekali pada pemasukan iklan. Juru berita tidak bisa berbuat ini-itu untuk menemukan atau mengungkap kebenaran perselingkuhan antara pemerintah dan pengusaha, sebab media juga berada di antara mereka. Bahkan, ucap Kopi Cokelat, media dan LSM meraup keuntungan besar dari ruang-ruang gelap yang sangat murahan itu.
Pernyataan Kopi Cokelat itu berangkat dari pernyataan Jus Buah Naga yang sebelumnya mengatakan bahwa sebagai salah satu pilar demokrasi, media harus mampu menjadi corong perubahan bagi kota Es.
Baca Juga: Doa Ulang Tahun
Jus Buah Naga akhirnya berkata, media memang tidak bisa bertindak independen. Tidak bisa ditutupi bahwa segala hal yang dikonstruksi juru berita dalam halaman-halaman koran atau media online adalah hasil konstruksi dari nilai-nilai, kepentingan, dan ideologi media, termasuk juga kepentingan pemilik modal yang berdiri di belakangnya, yang mungkin saja memiliki kepentingan lebih besar lagi dari sekadar menjadi orang nomor satu di sebuah kota, meraup uang rakyat.
Untuk alasan yang satu ini, Jus Buah Naga hanya geleng-geleng kepala dan mengusap dagunya yang tidak berjenggot. Di depannya, Milo Dingin mengelus-elus tubuh ponselnya yang tidak mulus lagi karena sudah beberapa kali mencium aspal, plesteran dan kadang-kadang tanah.
Sementara itu, Lemon Tea Dingin berujar. Reformasi itu kan memiliki agenda yang beberapa di antaranya adalah pencabutan dwi fungsi ABRI, reformasi birokrasi, kebebasan pers dan beberapa lagi lainnya. Sekarang, pers sudah memiliki kebebasannya. Dwi fungsi ABRI juga sudah tidak ada. Sekarang ini harus ada reformasi birokrasi. Birokrasi yang bagus itu kan kalau memenuhi beberapa hal: pelayanan publik prima, transparansi, good governance dan good government.
Baca Juga: Bersama Sanak
Nah, jika ini dikontekstualisasikan pada apa yang terjadi di kota Es, ujar Lemon Tea Dingin, semuanya masih belum terpenuhi. Transparansi tidak ada. Semua orang yang duduk di kursi birokrasi memiliki kepentingan masing-masing. Yand ada di kepala mereka bukan otak, tapi perut. Perut kalau sudah ada di kepala, maka yang ada hanya kenyang, kenyang dan kenyang. Tak ada yang bisa kita harapkan selain mengadakan reformasi besar-besaran di tubuh birokrasi. Mereka harus punya kompetensi dan spesialisasi. Tidak mungkin seorang tukang tambal ban jadi politisi dan duduk di kursi DPR, lalu merencanakan kebijakan pemerintah dan mendistribusikan hak-hak rakyat.
Oleh sebab itu, kata Jus Lemon Tea yang kemudian mengarahkan pandangan matanya kepada Kopi Cokelat, media yang kau rintis itu harus dibesarkan bersama-sama. Kita melakukan kolaborasi untuk memperbaiki kota Es ke depan menjadi lebih baik. Percaya, percaya, katanya sambil menepuk dadanya sendiri, kalau aku yang duduk di sana beberapa tahun lagi, aku tidak akan mengambil keuntungan sedikit pun dari hak rakyat.
Kopi Cokelat menanggapi. Sebenarnya, seseorang yang memiliki uang di sana sudah menawarkan kepada Kopi Susu–pemilik ide dan kongsi Kopi Cokelat dalam merintis media–sejumlah modal. Cukuplah kalau hanya untuk membeli cendol dan berenang di dalamnya selama dua tahun penuh.
Jangan-jangan ia memiliki motif terselubung, kata Jus Buah Naga sambil tersenyum simpul, menanggapi kisah Kopi Cokelat. Tapi omong-omong, begini, kata Jus Buah Naga sambil memikirkan kata-kata yang tepat. Selama ini, generasi muda seperti kita ini selalu berpikir, kita bisa merubah sebuah kota atau negara menjadi lebih baik kalau pemimpinnya diganti, didemo dan diturunkan secara paksa, bagai ia seorang maling negara. Kita lebih suka memotong kepalanya dan menggantinya dengan kepala yang lain, yang padahal kepala lainnya itu belum tentu lebih baik. Sebaiknya, di samping bermaksud mengganti kepalanya, kita juga harus menyiapkan tunas-tunas masa depan yang akan menggantikannya.
Itu konsep pemikiran yang sangat bagus, ujar Lemon Tea Dingin.
Baca Juga: Gus Jakfar
Seorang penyair yang gemar sekali menulis manyang dan siwalan di kota Es pernah bilang begini, kata Jus Buah Naga lagi, kemajuan sebuah kelompok masyarakat terletak di pundak anak-anak muda. Itu artinya, ujarnya sambil menatap wajah Lemon Tea Dingin, Kopi Cokelat, dan Kopi Ireng yang dari tadi hanya menyimak dan kadang-kadang menganggukkan kepala, kemajuan sebuah kota dimulai dari kaum muda. Kaum muda yang bagaimana? Jus Buah Naga kembali menatap ketiga temannya. Kaum muda yang bertindak secara kolektif. Tidak berjalan sendiri-sendiri. Kaum muda yang membangun masyarakatnya secara personal tanpa berinteraksi dengan pemuda lainnya, ia akan dianggap sebagai pemuda yang egois dan ingin membangun eksistensinya secara personal. Orang muda yang seperti ini akan ditolak, ditendang, dan program-programnya akan dimentahkan oleh kaum tua.
Ahhhhhh, benar, benar, kata Kopi Ireng menyahut, kepalanya mengangguk-angguk, seolah ia paham sesuatu. Di desa saya, katanya dengan penyebutan “saya” pada dirinya sendiri. Ia adalah yang paling muda di antara yang lain, dan yang paling tua, tentu Lemon Tea Dingin, yang memiliki cita-cita tidak akan menikah sebelum berhasil menembus pintu DPR. Untuk lelucon ini, Kopi Cokelat pernah berujar dengan muka serius sambil menunjuk dada Lemon Tea Dingin. Kalau hanya mau masuk DPR, serahkan padaku. Kau punya uang berapa? Mendapat pertanyaan lelucon seperti itu, Lemon Tea Dingin hanya menyunggingkan senyum getir.
Di desa saya, kata Kopi Ireng melanjutkan kata-katanya yang sempat terpotong, pernah suatu ketika ada seorang muda yang memiliki integritas dan kualitas. Ia mengajukan program aliran listrik kepada Kepala Desa yang sejak pertama kali saya menginjak bumi belum pernah melihat lampu menyala di teras rumah. Kabel-kabel listrik itu sudah mau dipasang, tapi Kepala Desa menolaknya. Ini bisa ditebak secara sederhana. Kalau ia berhasil memasang kabel listrik, maka ia akan mendulang reputasi yang sangat tinggi. Kepala Desa, kata Kopi Ireng, menyadari akan berlakunya efek tersebut dan Kepala Desa takut jika reputasi anak muda itu semakin naik. Jika suatu saat anak muda itu mencalonkan Kepala Desa, maka akan dengan mudah memenangkannya. Lagipula, program pemasangan listrik itu dilakukan sendiri tanpa bekerjasama dengan penuda lainnya, sehingga Kepala Desa dengan mudah mementahkannya. Namun, tiga bulan yang lalu, kata Kopi Ireng melanjutkan, ketika semua pemuda di desa saya berkumpul dan mendesak Kepala Desa untuk segera melaksanakan program pemasangan listrik, akhirnya terkabul juga. Kepala Desa tidak memiliki hak menolak aspirasi masyarakat tanpa alasan-alasan yang tidak rasional. Saya setuju dengan apa yang dikatakan Mas Jus Buah Naga tadi, katanya menegaskan.
Diskusi yang alot itu berhenti sejenak. Kopi Cokelat mendatangi pelayan, memesan dua gelas minuman lagi. Milo Dingin sudah dari tadi melenyapkan diri dan beberapa kali hanya muncul di layar ponsel melalui panggilan video.
Jadi, kata Jus Buah Naga, perubahan tidak bisa dilakukan tanpa dilakukan secara bersama-sama. Barometer kemajuan kota Es tidak bisa hanya diukur dari sisi administratif saja. Masih ada sisi-sisi lain yang harus dilakukan dan diukur kemajuannya, seperti sisi sosial, ekonomi, pendidikan dan budaya.
Baca Juga: Islam Nusantara
Tapi media itu sangat penting untuk menjadi lokomotif perubahan, kata Lemon Tea Dingin. Bagaimana kalau ke depan kita membangun kongsi dan modal pengembangan medianya kita lakukan bersama? tanyanya pada Kopi Cokelat yang sudah ikut menyimak lagi.
Itu soal gampang, jawab Kopi Cokelat, yang penting kau ada dan mengada.
Apa? tanya Lemon Tea sambil mendekatkan telinganya. Ada dan mengada?
Kopi Cokelat mengangguk. Ya, jawabnya. Kau harus membangun citra dari bawah. Kau perlu membangun interaksi dengan kaum muda di sekitarmu lebih dulu. Kau transfer kau punya ilmu tentang kepemimpinan, pemerintahan dan pelayanan publik yang baik. Dengan begitu, aku yakin, kau akan mudah mendapat simpati rakyat jika nanti ada keinginan menjadi orang nomor satu di desamu.
Ah, desa mah kecil, ujar Lemon Tea Dingin. Tak cukup menjadi Kepala Desa. Ada target yang lebih besar. Kepala Daerah, katanya sedikit berbisik kepada yang lainnya.
Percakapan itu berhenti begitu saja setelah jarum jam sudah menunjuk pukul setengah dua pagi. Sudah lewat tengah malam. Selama setengah jam mereka sibuk dengan ponselnya masing-masing. Sunyi. Hanya asap rokok yang mengepul di atas meja mereka.
Untuk memecah sunyi, Jus Buah Naga berusaha mengingat potongan adegan serial FTV Brama Kumbara beberapa saat, lalu menirukan kata-katanya dengan intonasi suara yang sudah diatur.
Segala apa yang dilarang oleh manusia siang adalah kenikmatan bagi manusia malam seperti kita. Tatakrama adalah pelajaran terlarang. Basa basi adalah tindakan asusila.
Mendengar itu, Kopi Cokelat, Lemon Tea Dingin, Kopi Ireng, dan Milo Dingin yang saat itu datang kembali tertawa. Kendati begitu, mereka tidak bisa menyembunyikan kantuk dari bola matanya dan perut yang mulai menggeliat tidak enak.
Baca Juga: Cinta Tak Sampai
Dengan langkah kaki gontai mereka keluar dari kafe. Sebelum sempurna meluncur dalam keremangan malam yang pelan-pelan merangkak menuju fajar, Jus Buah Naga menoleh ke teras depan kafe. Ummi Coffee. Begitulah nama kafe itu tertulis.
*Lahir di Sumenep, bercita-cita melihat surga melalui sepasang mata seorang perempuan. Tulisan cerpen dan esainya dimuat di beberapa media massa, saat ini tinggal di Malang, bergiat di Komunitas Sastra Malam Reboan.