Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jazirah Kapling Madura


BEBERAPA
menit keluar dari Jembatan Suramadu, di kanan-kiri kita menyaksikan tanah-tanah luas yang hijau yang tak berpenghuni. Bangunan cukup jarang, sebagian menjadi ladang pertanian dan semak-belukar. Lima-sepuluh tahun ke depan, siapa yang tahu puluhan hektar lahan itu akan menjadi apa?

Tak banyak yang tahu, selain calon-calon pemilik tanah itu, yang mungkin akan mengubah lahan-lahan itu menjadi bisnis perumahan (real-estate), area komersiil, atau industri. Lima-sepuluh tahun ke depan, siapa yang menjamin Madura tak berubah?

Madura sedang masuk pada fase baru yang dampaknya pelan tapi pasti akan menyulap Madura tidak lagi seperti yang kita kenal: fase neoliberalisasi. Fase ini dideklarasikan sejak Jembatan Suramadu dibuka dan jalur-jalur perlintasan antar-pulau dipermudah. Madura bukan lagi pulau yang terisolir.

Pembukaan Suramadu adalah konsekuensi dari perkembangan kapitalisme di Jawa Timur. Kita lihat Jawa Timur, di mana-mana sedang mengalami perubahan luar biasa oleh arus investasi yang masuk. Jawa Timur seperti berlomba-lomba menuju “kemajuan”; fasilitas-fasilitas tol meningkat drastis di jalur selatan dan utara Jawa; infrastruktur-infrastruktur penghubung dibangun, dengan biaya yang tinggi.

Taraf ekonomi yang semakin kapitalistik di pulau Jawa mau tak mau merembet ke Madura. Madura dipaksa untuk membuka pintu bagi investasi dari luar. Madura menjadi incaran para pemodal. Pelosok-pelosok Madura telah terpetakan dengan baik di peta GPS calon investor. Tak ada yang luput. Tinggal menunggu waktu, “keperawanan” Pulau Garam akan menjadi mitos.

Jembatan Suramadu adalah urat nadi bagi seluruh proses itu. Kita jadi mengerti, foto senyum ramah gubernur dan para bupati di gerbang Suramadu ditujukan untuk siapa, kalau bukan untuk para calon investor. Welcome to the island!

Penanda pertama bagi fase itu adalah privatisasi, pengalihfungsian sumber daya alam dan sumber-sumber ekonomi negara di Madura ke tangan pribadi-pribadi. Kita tahu, sejak era rezim Soeharto, Madura telah diniatkan menjadi pulau industri karena kandungan sumber daya alamnya yang kaya. Meski di atas permukaan tampak gersang, kandungan alam bawah tanah dan bawah laut Madura menyembunyikan kekayaan alam luar biasa.

Melalui BJ Habibie, pada 1994 rezim Soeharto menggulirkan kebijakan industrialisasi, yang mendapat tentangan dari para ulama dan tokoh Madura. Urung, proyek itu dialihkan ke Batam. Di Batam kroni Soeharto dan Habibie, bersama-sama dengan konglomerat kelas atas dari keluarga Murdani, membangun kerajaan bisnisnya (G.J. Aditjondro, Korupsi Kepresidenan, 2006: 308). Andai waktu itu Madura menjadi “Batam” pertama, ceritanya akan berbeda. Namun, rezim Soeharto tak kehabisan akal. Meski urung menancapkan kaki di Madura, para pemodal diberi konsesi mengelola tambang-tambang minyak di lepas pantai Madura. Konsesi-konsesi itu dikapling bagi perusahaan-perusahaan swasta maupun asing: grup Medco (milik Arifin Panigoro), ConocoPhilips, Santos, dan lain-lain.

Masa Depan Peradaban Madura Tanpa Air

Rezim berganti, seiring dengan terus berjalannya eksploitasi di lepas pantai yang hasilnya tak benar-benar dinikmati oleh warga Madura, sumber daya alam di daratan kini giliran masuk agenda privatisasi. Bentang alam di daratan Madura mengandung daya tarik yang potensial bagi investasi.

Selain garam dan pertanian yang relatif mudah dikenali, pegunungan kapur di Madura menyimpan kekayaan mineral yang menjadi arena tambang kecil-kecilan maupun sedang. Bukan tak mungkin terdapat bahan baku semen (karst) di situ. Yang terang, beberapa pebukitan telah dikeruk oleh usaha-usaha swasta, dengan atau tanpa izin. Yang menimpa pegunungan Utara dan Selatan Jawa—paling fenomenal, kasus tambang semen di Jawa Tengah—dapat menimpa Madura dalam waktu dekat.

Diresmikannya Suramadu menandai lonceng agenda privatisasi itu dibunyikan. Di mana pun, sekali kapital telah diberi ruang untuk masuk, para pemodal tidak akan menyia-nyiakannya. Yang menjadi pertanyaan tinggal “kapan” dan “dari mana”. Proyek MP3EI yang dicanangkan pada rezim SBY dan secara diam-diam terus dilanjutkan oleh rezim Jokowi-Kalla hari ini memberi kita isyarat: privatisasi, beserta neoliberalisasi di baliknya, dijalankan melalui bisnis infrastruktur.

Terdapat delapan sektor utama bisnis infrastruktur menurut skema MP3EI: sektor air minum, sektor transportasi, sektor jalan raya, sektor kelistrikan, sektor minyak bumi dan gas (migas), sektor pengelolaan limbah, sektor irigasi, dan sektor telekomunikasi (Master Plan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia, Sajogyo Institute, 64). Kedelapan sektor itu secara serentak merupakan sektor-sektor di mana privatisasi terjadi, sekaligus bidang-bidang yang memfasilitasi pengkaplingan Madura ke depan semakin lebih mudah dilakukan.

Di bidang komunikasi, contohnya, kita lihat bagaimana Madura nyaris “dikuasai” sepenuhnya oleh PT XL Axiata (penyedia layanan telekomunikasi kartu XL) tanpa “lawan sepadan”. Sektor transportasi juga menunggu untuk diperebutkan oleh swasta. Seiring dibukanya akses ke daerah-daerah wisata di kepulauan Madura, transportasi darat dan laut akan membuka kompetisi di antara pengusaha lokal maupun luar untuk berebut menguasai, kalau perlu, memonopoli pasar.

Sektor-sektor lain secara bertahap juga—sebagian bahkan sudah lebih dulu, seperti sektor migas—akan mengikuti logika privatisasi dan akumulasi keuntungan ini, dengan warga Madura sebagai konsumen, penonton, atau korban terdampaknya belaka.

Maka, pertanyaan yang perlu dimunculkan: siapa yang akan “memiliki” Madura? Sentimen budaya ke-Madura-an adalah bekal kita menjawab pertanyaan itu. Apakah warga Madura, dengan ikatan ke-Madura-annya, merasa perlu untuk ikut “memiliki” Madura, atau akan merelakan Madura “dimiliki” (tanah-airnya) oleh pihak lain? Siapa yang akan memiliki dan menguasai sumber daya alam Madura?

Pertanyaan itu belum terlambat untuk kita jawab. Madura bukan Papua, yang sebelum warganya bersepakat untuk menjadi pengelola atas alamnya sendiri telah lebih dulu dicaplok dan direbut oleh rezim militer Soeharto. Warga Madura masih memiliki waktu untuk bersepakat atas hak mereka memiliki dan mengelola sumber daya alamnya.

Di sini menjadi penting berbicara tentang “kedaulatan sumber daya alam”. Warga Madura dan pemerintah Madura perlu bersama-sama memikirkan pentingnya kedaulatan atas sumber daya alam Madura.

Ke Depan, Konflik Manusia adalah Rebutan Pangan dan Air

Bagaimana kedaulatan ini akan dijalankan? Tiga hal menjadi prasyarat kedaulatan: daulat dalam tata-milik, daulat dalam tata-kelola, daulat dalam tata-guna. Warga Madura perlu menuntut porsi kepemilikan yang signifikan atas sumber daya alamnya. Pengelolaan sumber daya alam itu juga mesti melibatkan seluas mungkin warga Madura tanpa kecuali, dengan imbalan dan hasil produksi yang dapat dinikmati bersama. Demikian juga pemanfaatannya.

Jika perlunya kedaulatan ini dapat mulai disadari bersama, maka privatisasi Madura untuk kepentingan swasta akan terbendung, dan rakyat Madura dapat menjadi pemilik sekaligus pemain aktif dalam penyejahteraan Madura yang berkeadilan dan merata. (*)

*Muhammad Al-Fayyadl, Koordinator umum Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), alumnus Pondok Pesantren Annuqayah Sumenep Madura.


Note: Tulisan Pengantar, dalam “Halaqoh Kedaulatan Tanah: Upaya Dalam Merawat Tanah Warisan Para Leluhur”, Senin, 11 Juli 2016 pukul 09:00 WIB di Kantor PCNU Sumenep, Jl. Trunojoyo No. 295 Sumenep. Tulisan ini telah diterbitkan di Majalah INSTIKA Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep.