Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kembali ke Pangkuan Ibu


Oleh: Latif Fianto*

Tanah kelahiran adalah ibu
Dari rahimnya aku bertemu buku dan kerasnya batu-batu
Kelak bila napas masih di tubuh
Aku ingin kembali padamu
Seruang dan serindu

KIRA-KIRA begitulah sebait puisi yang bisa saya tulis untuk mewakili ketakbiasaan jenis manusia yang berhasrat untuk kembali ke kampung halaman, dan menjadikannya, terkemudian, surga ilmu dan pengetahuan. Barangkali ini istilah yang kepalang gombal dan lebay untuk memberikan penghargaan kepada manusia-manusia langka, terutama sekali pada anak-anak muda, yang mendedikasikan sebagian usia, waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan hidup dan kehidupan manusia.

Itulah, yang saya yakini, maksud dari keberadaan beberapa komunitas baca yang ada di Sumenep. Sebagai contoh, keberadaan Rumah Baca di Dusun Keatawang Laok Kecamatan Guluk-Guluk dan Komunitas Kolare di Desa Lapa Taman. Meski saya meyakini, mungkin, ada lebih banyak lagi komunitas-komunitas sejenis yang ada di sana dan tanah sekitar. Tetapi dua komunitas baca yang saya sebutkan tadi telah memberikan penawar rasa di tengah kondisi asin dan kering Sumenep yang berkelindan. Membuat saya semakin jatuh cinta. Kelak bila engkau berjalan # di antara laut dan hutan / yang malu-malu berlirikan # mencecap garam ketulusan / melihat pohon doa # itu Madura, Alfreda/**.

Maka di tengah kondisi budaya keilmuan yang semakin kerontang, terutama di daerah-daerah yang terpisah jarak sangat jauh dari kebisingan kota, komunitas baca menjadi penawar rindu akan lahirnya muda-mudi yang mencintai ilmu dan pengetahuan. Ini menjadi sangat penting di tengah kondisi, di mana awak media menjadi pengabar yang cerdik-elit, tetapi juga menjadi penjarah yang leppe’ di sisi lain. Sebagai akibat, mereka tidak bisa berbuat lebih banyak ketika terjadi penyelewengan kebijakan dan penggunaan uang yang dilakukan pejabat pemerintah dan koorporasi. Atau di tengah kondisi di mana organisasi kepemudaan menjadi sangat garang melakukan aksi demonstrasi di jalan, tetapi menjadi sangat rapuh dan impoten ketika seketika itu diberikan amplop berisi uang “pelicin” untuk berhenti melakukan konfrontasi.

Lagi pula, Sumenep saat ini sedang berada dalam upaya menjadi kota wisata, selain juga, barangkali di satu sisi, menjadi kota industri. Dalam suatu kesempatan pulang, beberapa minggu yang lalu, saya mendengar dan mendapati kenyataan bahwa pemerintah Sumenep sedang menggalakkan kota wisata. Hal ini diamini oleh masyarakat yang serta merta juga mulai menyulap apa yang sebenarnya biasa saja menjadi tempat yang luar biasa, sekaligus eksotis. Bukit-bukit kecil yang mulanya hanya ditumbuhi karang dan rumput liar, disulap menjadi daerah wisata yang dapat mendatangkan hiburan segar, juga keuntungan secara finansial (bagi yang mengelola). Selain daripada itu, tentu juga keberadaan pantai-pantai eksotis Gili Labak, pantai Sembilan dan beberapa pantai yang lain.

Pembicaraan

Di sisi lain, Sumenep juga sedang membuka pintu selebar-lebarnya bagi investor asing (dan tidak asing), untuk industrialisasi (di beberapa tempat). Pemilik tanah (dengan bantuan pemerintah) membiarkan tanahnya dibeli dan hasil penjualannya dipakai untuk membeli emas, mobil dan barang-barang mewah yang kira-kira bisa menaikkan gengsi dan kelas sosial. Tanah-tanah beralih Tuan, dan pribumi menjadi tokoh figuran yang tidak memiliki peran terlalu penting, yang menyebabkan mereka kapan saja bisa didepak begitu saja dari halaman kampung sendiri.

Saat ini efeknya mungkin tidak seberapa, tetapi bagaimana sepuluh tahun yang akan datang?

Membayangkan itu, saya sangat mengapresiasi apa yang dilakukan Ahmad Fairozi untuk mendirikan Rumah Baca. Rumah untuk membaca, mempelajari banyak hal yang tersembunyi dan kasat mata, menambah wawasan dan pengetahuan, merubah pola pikir dari yang terbelakang ke arah yang berkembang dan maju, dari yang primitif menjadi yang modern, tetapi tetap dengan menjunjung kearifan lokal dan moral yang tinggi. Dokter menyembuhkan penyakit dan menunda kematian manusia, tetapi Ahmad Fairozi dan orang-orang lain di dalamnya telah membantu mengangkat harkat martabat manusia, membantu membuat grand design kehidupan menusia selama bertahun-tahun ke depan melalui kecintaan membaca yang diberikannya pada generasi muda yang akan terus mengalir, diwariskan secara turun temurun.

Hal demikin juga dilakukan Komunitas Kolare di Desa Lapa Taman. Dafiqurrahman pulang dari Malang, kota hingar bingar seolah tak ada kesulitan dan kebodohan, untuk kembali ke pangkuan kampung halamannya. Seolah ia mengumandangkan bait puisi, madu campur darah # delapan penjuru arah / ditenggak di atas perahu # mengucap macapat rindu/**.

Maka apa yang dilakukan dua generasi muda itu – Ahmad Fairozi dan Dafiqurrahman – adalah sebagian upaya menyambut dan memberikan suguhan paling nikmat atas lahirnya kebijakan pemerintah dan angin industrialisasi yang dihembuskan dari barat, dari segala penjuru arah. Oleh sebab itu, saat ini, tidak ada yang lebih berarti selain mempersiapkan sumber daya manusia berkualitas untuk mengelola bumi yang dipijak, dengan kemandirian dan mental kontestasi yang baja. Memang tidak ada manusia yang terlahir untuk menjadi bodoh. Tetapi menjadi bodoh, berarti dengan sengaja menjadi kerbau yang rela ditusuk hidungnya untuk diseret ke mana-mana.

Saya setuju bahwa kemajuan tidak bisa dicapai melalui sistem yang pincang. Ada banyak organ dan kelompok-kelopok kerja formal dan non formal yang dapat memberikan kontribusi positif atas lahirnya kemajuan, yang menurut saya, hanya bisa dicapai dengan upaya-upaya kolekti-kolegial, sesuai kapasitas, porsi dan tempat masing-masing.

Generasi Nasi Tumpeng dan Kue Bolu

Dengan demikian, keberadaan Rumah Baca, Komunitas Kolare dan komunitas-komunitas baca yang lain merupakan bagian dari kelompok kerja tersebut, yang keberadaannya sangat siginifikan untuk membangun perkembangan pengetahuan, wawasan dan kepribadian anak muda. Komunitas-komunitas yang didirikan bukan semata-mata hanya untuk mengikuti tren dan perkembangan, melainkan lahir dari sublimasi gairah untuk menebar benih keilmuan.

*Tinggal di Malang dan sesekali mudik ke Sumenep untuk melihat pohon rambutan di halaman rumahnya yang tak kunjung berbuah setelah 16 tahun tumbuh dan menjadi dewasa.

**Penggalan puisi Sofyan RH. Zaid berjudul Macapat Rindu