Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Berawal dari WhatsApp


KATAKANLAH
saya salah seorang dari sahabat-sahabat Ashabul Kahfi yang dilelapkan Allah selama 309 tahun di sebuah gua, dan terbangun ketika Raja Diqyanus sudah digantikan oleh seorang raja yang menyembah Allah. Apakah itu mungkin? Tak ada yang tak mungkin bagi Allah. Tapi, masalahnya saya sekarang hidup di tengah satu imperium global, dan setelah lelap pulas semalam, pagi ini saya terbangun oleh dering notifiksi grup WhatsApp. Ada kabar apa kok pagi-pagi sudah ramai?

Semalam, James Ratuloly mengirim gambar hasil pembicaraan seorang dosen dengan perempuan muda nun cantik bernama Fulan, seorang aktivis sebuah organisasi, dan kemungkinan masih mahasiswa. Pembicaraan dalam gambar itu kira-kira begini. Dosen tersebut meminta Fulan, yang kemungkinan kawan sejawatnya, dibuatkan sebuah profil dengan kalimat autentik yang dikarang sendiri oleh si Fulan. Tentu itu dilakukan melalui proses berpikir dan merenung, dan tentu juga melalui proses pengalaman interaksi empiris dengan kawan-kawan sejawatnya. Dalam permintaan itu ada dua hal yang mengganjal: ganti nama pemilik gagasan berikut juga istitusi di mana dia bernaung. What are you thinking about?

Sahabat saya, James Rifqan, menyampaikan gagasan briliannya. “Itu tindakan jiplak, plagiat.” Saya tidak mengatakan bahwa dalam kasus ini sudah terjadi plagiarisme. Namun, sudah ada gejala yang mengarah pada tindakan tersebut.

Sebelum saya lanjutkan, dua orang yang saya sebutkan dan sedikit saya samarkan namanya di atas masih eksis di atas bumi. Dan penyamaran itu saya lakukan (kendati sepertinya tidak berhasil dan semoga kedua sahabat saya itu tidak marah) agar kedua spesies mamalia sosial itu terbebas dari tuduhan, incaran mata-mata, yang barangkali bisa memasukkannya ke dalam penjara. Sebab saya sangsi, semakin ke sini, atas nama Human Rights yang dideklarasikan Amerika Serikat pada 1776, kita seolah dihantui oleh penjara, tak ubahnya hidup di bawah rezim represif orde baru.

Kembali ke pokok uraian. Satu sisi, saya apresiatif sekali kepada si Fulan. Selain wajahnya cantik dan senyumnya manis, dia tak langsung mengabulkan permintaan tersebut. Dan saya sangat mengerti penangguhan itu. Seorang intelektual tidak akan mengabulkan sebuah permintaan yang jelas-jelas masuk dalam kategori plagiarisme. Seseorang yang dengan sengaja mencaplok tulisan, hasil imajenasi, dan karya seseorang tanpa mencantumkan nama atau sumbernya, atau bahkan dalam kasus ini mengganti pemilik karya dengan nama dirinya, itu adalah tindakan tak etis. Dia telah mencederai orisinalitas sebuah karya, menodai harkat dan martabat seorang intelektual, tak elok menyandang predikat sebagai tenaga pendidik, dan tentu harus mendapat sanksi moral sosial.

Tindakan plagiarisme adalah bentuk lain dari kolonialisme, eksploitasi kreativitas dan pengetahuan. Sebagaimana Belanda dan Jepang yang memporak-porandakan keperawanan alam dan gadis-gadis ranum Indonesia, sebagaimana James Cook merebut lahan-lahan subur di Australia dan Selandian Baru, hanya ada satu teriakan lantang untuk mereka: lawan!

Dewasa ini, kita hidup di tengah surga dunia yang dengan mudahnya dapat mendengar dering iPhone. Sains dan teknologi kawin dengan sangat romantis sehingga melahirkan anak bernama kemajuan yang sangat luar biasa cantik, canggih dan cerdik. Kita tidak hidup di tahun antara 3500 sampai 3000 SM saat orang Sumeria untuk pertama kalinya menemukan tulisan. Dan karena seluruh kebutuhan informasi sudah tersedia bahkan tanpa harus melakukan ekspansi gerakan melampaui teritori pintu kamar, kita seharusnya sudah mampu melahirkan karya tanpa mencaplok (kalau tidak mau dikatakan mencuri) karya orang lain.

Ada banyak kasus plagiarisme yang seharusnya menjadi pelajaran berharga buat civitas akdemika, dan terutama kita anak-anak muda penerus bangsa (semoga). Contoh paling mutakhir adalah berita yang dikeluarkan Kompas.com pada 13 Juni 2017 seputar kasus plagiarisme yang dituduhkan pada Afi Nihaya Faradisa mengenai tulisannya tentang “Belas Kasih dalam Agama Kita,” “Bait Puisi dalam Status Dicurhatin Orang,” dan “Warung Makan”. Dan nyatanya, Afi meminta maaf karena sudah mengutip (tanpa mencantumkan sumber) status orang lain.

Atau di tempat lain, seperti yang diberitakan bbc.com pada 9 September 2017 atas ditemukannya dugaan plagiarisme oleh Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Kementrian Riset dan Teknologi (Kemenristek Dikti) dalam disertasi lima pejabat Sulawesi Tenggara yang memperoleh gelar doktornya di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada September 2016. Dan atau cerpen Guntur Alam berjudul Lilin Merah di Belakang Meja Mahyong (terbit di Harian Kompas cetak, 3 April 2016) yang dituduh sebagai karya plagiat oleh Sian Hwa. Menurutnya, isi cerpen tersebut identik sekali dengan isi novel The Joy Luck Club karya Amy Tan. Dan atas kasus tersebut, Guntur Alam memutuskan untuk menarik diri (semacam keputusan pensiun dini) dari dunia kepenulisan dalam waktu yang tidak ditentukan.

Sebagai bagian dari civitas akademika, yang sebagian besar waktunya didedikasikan kepada revolusi ketidaktahuan, maka kita seharusnya mengerti betul kaidah-kaidah menulis. Karena karya tidak lahir dari sembarang pemikiran, yang kemudian dengan mudahnya diklaim kepemilikan oleh orang-orang yang hanya ingin numpang eksis, membusungkan dada, tampil diri seolah pahlawan dan cendekiawan, namun dengan modal yang tak ada seujung kuku pun, selain modal kursi dan jabatan, dan satu lagi, predikat “seniur” tentu saja. Dan itu semua adalah bayi-bayi menggemaskan sekaligus menyebalkan yang lahir dari rahim kapitalisme.

Maka, apa yang lebih mulia dan agung selain karya yang lahir dari gejolak pimikiran sendiri. Dan di dunia orang-orang intelektual, tak ada ruang sebesar lubang semut pun bagi orang-orang yang lahir dan besar secara prematur: memplagiasi karya orang lain. Penting barangkali melihat kualitas seseorang dari kerudung, kopiah, baju, dan celana atau sarung yang dikenakan (dan catat! penting juga melihat kualitas seseorang dari isi pikiran dan hatinya), karena atribut-atribut demikian adalah sign dari keluarga, lembaga pendidikan, kelompok dan atau organisasi jenis apa ia lahir. Dan lebih penting lagi bila kita menyadari, plagiasi adalah jalan rahasia menggali kuburan sendiri.

Uraian terakhir bukan bentuk rasialisme penulis, tetapi pastikan bahwa kulit tak selalu menjamin isi. Yang terlihat tidak selalu seperti yang dilihat. Sekali lagi, tindakan plagiarisme mengabarkan bahwa orang yang melakukannya tak cukup memiliki banyak amunisi untuk bertarung secara intelektual. (*)

Salam!

*Latif Fianto, lahir di Sumenep, pecinta buku, menulis cerpen dan esai, sekarang tinggal di Malang.