Daftar Bunuh PKI Itu Made in USA
Jakarta, Rumah Baca Orid
Daftar anggota Hizbut Tahrir di seluruh Indonesia beredar di masyarakat. Tidak jelas siapa penyusunnya, tak ada pula pihak yang mengklaim. Lembaran itu tidak memiliki kop surat, ditulis dengan font standar arial.
Dilansir tirto, Sejumlah kalangan menyatakan keprihatinan atas keberadaan daftar tersebut. “Ada siklus kekerasan yang tampaknya sedang dirancang,” kata Puri Kencana Putri, wakil koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengingatkan tentang potensi persekusi terhadap orang-orang HTI.
Pada kamis (20/7), Bedjo Untung, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965, menyatakan penyebaran dokumen tersebut mirip dengan peredaran daftar nama tokoh PKI yang disasar pada 1965. Bedjo mengungkapkan, CIA mengambil nama-nama tokoh PKI dari koran.
“Saya khawatir ada pihak tertentu yang ingin memunculkan chaos seperti peristiwa 65 yang terjadi huru-hara besar-besaran,” tuturnya.
Disusun dari Kedubes AS
Kekhawatiran Bedjo beralasan. Pada 1966, partai komunis terbesar ketiga di dunia tumbang. Pucuk pimpinannya habis. Dalam pembantaian 1965-1966, pelbagai angka diajukan oleh lembaga dan perorangan untuk memastikan jumlah korban. Laporan CIA pada 1968 menyebut 250 ribu korban jiwa; estimasi ilmuwan politik Ben Anderson 1 juta; sementara Sarwo Edhie, yang mengomandoi pembantaian melalui RPKAD, menyebut 3 juta korban.
Antara Oktober 1965-Maret 1966, pembumihangusan terhadap PKI berjalan mulus dan membuat Peristiwa Madiun 1948 kelihatan tidak ada apa-apanya, seperti ditulis sejarawan John Roosa. Kepemimpinan PKI memang dihancurkan selama Peristiwa Madiun. Namun pada awal 1950an, di tangan generasi mudanya, partai kembali bangkit dan duduk di peringkat empat pada pemilu 1955. Berbeda dari tahun 1965, tak ada perburuan sistematis dalam peristiwa yang lebih mirip perang sipil itu.
Pada 1990, jurnalis States News Service Kathy Kadane menulis kisah Robert J. Martens, seorang staf diplomatik Amerika Serikat yang mengumpulkan 5.000 nama orang-orang kiri yang bergabung dalam PKI serta organisasi-organisasi terafiliasi: SOBSI, Gerwani, Lekra, dst. Martens adalah seorang pakar Uni Soviet dan staf biro politik kedubes AS di Jakarta. Tulisan Kadane diterbitkan beberapa media, termasuk Washington Post pada Mei 1990.
“Daftar itu membantu tentara” ujar Martens kepada Kadane. “Mereka mungkin sudah membunuh banyak orang dan tangan saya pun berlumuran darah, tapi bukan berarti semuanya buruk. Ada kalanya Anda harus bertindak keras dalam saat-saat yang menentukan.”
Keterangan Kadane dibantah oleh Marshall Green, mantan dubes AS untuk Indonesia pada tahun 1965. Kepada New York Times pada Juli 1990, Green yang sudah pensiun menyebut tulisan Kadane “sampah”. Green menerangkan bahwa AS memang terlibat dalam berbagai peristiwa politik di Asia Timur. “Namun kali ini tidak,” katanya.
Namun dalam transkrip wawancara yang dirilis Kadane, Green membenarkan keterlibatan staf diplomatik AS. Ia mengklaim bahwa orang Indonesia pada saat itu sulit itu melakukan profiling semacam itu karena kuatnya pengaruh PKI di sejumlah instansi, termasuk militer (Angkatan Udara). Soal apakah tentara Indonesia hanya bergantung pada sumber data AS, Green tidak menjawab.
Mengawasi Warga Dunia
Ketika diwawancarai Kadane, mantan Direktur CIA William Colby membandingkan profiling terhadap tokoh-tokoh PKI dengan Phoenix Program, suatu aktivitas pengumpulan data intelijen terpadu yang dilakukan militer AS dan Vietnam Selatan terhadap komunis Vietcong antara 1967-1972.
“Identifikasi atas tokoh-tokoh komunis lokal [para pemimpin komunis] dirancang supaya mereka menyerah, Anda tangkap mereka atau Anda tembak,” ucap Colby.
Jurnalis investigatif Seymour Hersh, mengutip statistik yang diterbitkan Vietnam Selatan, menyebutkan angka nyaris 41 ribu jumlah korban tewas akibat penyiksaan, pembunuhan, perkosaan selama program tersebut berlangsung.
Baik Phoenix Program maupun profiling anggota PKI merupakan bagian dari program AS (dan lebih khususnya operasi kontrainsurgensi dalam kasus Vietnam) untuk menghalau pengaruh komunis selama Perang Dingin. Di dalam negeri, terdapat beberapa kebijakan profiling serupa terhadap siapapun yang dianggap ‘musuh negara’.
Pada tahun 1938 House Un-American Activities Committee didirikan untuk mendata dan menginvestigasi aktivitas orang atau lembaga yang dicurigai sebagai komunis. Komite ini sedemikian berkuasa pada tahun 1950an. Ribuan warga AS yang bekerja di pemerintahan, militer, hingga sektor swasta seperti di studio-studio Hollywood dipecat.
Setelah pangkalan militer AS di Pearl Harbour diserang oleh Jepang pada 1941, Presiden AS Franklin D. Roosevelt mengeluarkan executive order yang memerintahkan penahanan orang-orang Jerman, Italia, dan Jepang di AS, yang sebelumnya telah masuk ke dalam database pemerintah.
Logika yang sama diteruskan pada masa pemerintahan Obama. Pada 2012, Washington Post membongkar keberadaan “Disposition Matrix” yang memuat nama-nama pihak yang diduga membahayakan keamanan AS.
Sama dengan Phoenix Program, proyek ini melampaui teritori AS, hingga ke tempat-tempat seperti Pakistan, Afganistan, Somalia, dll., yang selama ini menjadi wilayah operasi jaringan al-Qaeda. Kriteria siapa saja yang dianggap mengancam ditentukan secara manasuka oleh National Counterterrorism Center (NCTC) dan CIA.
Dalam berbagai operasi yang melibatkan pembunuhan warga sipil selama Orde Baru, Indonesia nampaknya belajar banyak dari program-program di atas. Namun, perlu diingat bahwa daftar-daftar tersebut merupakan daftar yang sangat rahasia, tidak pernah sengaja dibocorkan ke publik, dan dapat diidentifikasi jelas siapa lembaga yang merilisnya.
Mekanisme yang telah dipilih negara untuk membatasi pengaruh HTI di masyarakat adalah satu hal. Namun, beredarnya daftar anggota HTI adalah hal lain yang memunculkan sejumlah pertanyaan terkait apa yang akan dilakukan negara pasca pembubaran dan kemungkinan penggunaan cara-cara lama seperti pada masa Orde Baru. (tirto.id/fairozi)