Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dana Desa


KETIKA
mendengar dana desa, secara sepintas seakan-akan membuat angan-angan kita mampu memberikan dampak luar biasa bagi kesejahteraan masyarakat. Bagaimana tidak, anggaran yang sungguh sangat besar diberikan pemerintah pusat untuk mendongkrak perekonomian masyarakat yang diharapkan akan mampu memberikan dampak kesejahteraan, tentu secara eksplisit demikian.

Di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur misalnya, dana desa untuk tahun 2017 berjumlah sekitar Rp 271 miliar. Dana tersebut bertambah dari yang sebelumnya pada tahun 2016 sebesar Rp 212 miliar. Itu artinya ada penambahan dana desa sebesar Rp 58 miliar lebih dari yang sebelumnya. Dana itulah yang akan digunakan oleh sekitar 300 desa yang tersebar di 27 Kecamatan se Kabupaten Sumenep.

Angka untuk masing-masing desa nyaris tembus Rp 1 miliar jika diasumsikan sama rata. Dana yang digelontorkan langsung oleh pemerintah pusat itu, tentu angka yang cukup besar dan sangat potensial untuk membangun desa masa depan. Namun akan sangat disayangkan hingga hari ini desa masih minim prestasi dalam upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan dalam upaya membangun kesejahteraan dimaksud.

Sejauh ini, jelang penghujung tahun 2017 akan tutup, belum ada pemberitaan di media massa maupun online yang secara khusus menyorot tentang keberhasilan dana desa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terkhusus di Sumenep.

Tampaknya, dana desa masih digunakan hanya sebatas untuk membangun infrastruktur non prioritas yang nilai kemanfaatannya lebih sedikit -namun bukan berarti tanpa manfaat-. Hanya saja, dana desa belum melirik kiat usaha kerakyatan yang itu jauh lebih besar dampaknya. Misalkan pembinaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), pembentukan dan pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan sejenisnya.

Bahkan, ada beberapa desa yang cenderung tertutup dalam menyampaikan informasi alokasi dana desanya untuk masyarakat. Aparatur desa hanya menyediakan baliho kecil dengan tulisan yang nyaris tak dapat dibaca, lalu ditempel di depan rumah kepala desa dan balai desa. Itupun dilakukan baru akhir-akhir ini, karena hanya sebatas ingin menggugurkkan kewajibannya dalam upaya transparansi anggaran sesuai amanat Undang-undang.

Kata “Ironi” tentu sangat tak pantas diucapkan untuk menilai realisasi dana desa yang sungguh menyedihkan ini. Sebab, proses perencanaan tak sesuai dengan ekspektasi yang menjadi keinginan masyarakat terhadap kemanfaatan dana desa yang sungguh besar itu. Kemiskinan, kesenjangan, nampaknya belum akan berakhir atau setidaknya berkurang. Malah justru sebaliknya, yang terjadi semakin memperlebar jarak kemiskinan dan kesenjangan.

Sudah tiga tahun sejak 2015 hingga 2017 dana desa mengalir. Sumenep telah menerima aliran dana itu lebih dari setengah triliun rupiah. Dilansir Koranmadura, tahun 2015, Sumenep menerima dana desa sebesar Rp 94,8 miliar. Tahun 2016, Sumenep menerima kucuran dana desa sebesar Rp 212,9 miliar. Dan untuk tahun 2017, Sumenep mendapat kucuran dana desa sebesar Rp 271,7 miliar. Apabila dijumlah, selama tiga tahun ini, Kabupaten Sumenep telah menerima dana desa sebesar Rp 579,4 miliar.

Tentu tidak berlebihan ketika masyarakat menilai jika dana desa itu hanya digunakan untuk pemborosan. Bukan berarti dana desa salah total, tapi pengawasan dan implementasinya yang sungguh sangat disayangkan. Entah hal itu dipengaruhi oleh kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM)-nya atau ada faktor lain, tak dapat dipastikan penyebabnya. Hanya itulah faktanya, aparatur desa masih banyak yang miskin gagasan dan miskin perencanaan konkret dalam upayanya berijtihad membangun kesejahteraan masyarakat.

Harusnya, pemerintah desa mau melirik pengembangan usaha kerakyatan demi tercapainya kesejahteraan. Desa sudah waktunya memprioritaskan hal-hal yang tidak hanya menekankan pada pembangunan infrastruktur belaka, jauh lebih bijak jika dana desa itu digunakan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dengan memberikan kesempatan dan fasilitas usaha melalui pengembangan UMKM, BUMDes dan sejenisnya.

Infrastruktur bukan berarti tak penting, tapi harus seimbang antara keduanya. Ketika selama tiga tahun ini dana desa banyak dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan secara bersamaan memberikan kesempatan yang sama melalui pengembangan dan pemberdayaan UMKM, BUMDes dan sejenisnya, maka kemungkinan besar, dana desa yang telah mengalir selama tiga tahun ini, boleh jadi hampir dikatakan berhasil. Namun, itupun hanya sekedar asumsi.

Padat Karya misalnya, pola yang ditetapkan pemerintah untuk pemanfaatan dana desa yang akan efektif mulai januari tahun 2018 mendatang memang pada dasarnya ditujukan untuk dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat secara langsung. Artinya, dengan menjalankan pola padat karya tadi, dana desa akan lebih menyentuh aspek masyarakat secara langsung. Dengan sistem swakelola, pemerintah pusat berharap lapangan pekerjaan akan semakin terbuka lebar dan dapat langsung dimanfaatkan masyarakat desa.

Bahkan, kata Puan Maharani, seperti dilansir Kompas, padat karya juga diharapkan untuk menyentuh sektor pelayanan masyarakat. “Jadi padat karya ini bukan hanya melingkupi infrastruktur atau sarana prasarana saja. Tapi juga masuk ke pelayanan masyarakat,” ujarnya. Semoga saja! (*)

*Ahmad Fairozi, Pendiri Rumah Baca Indonesia (Rumah Baca ID).