Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mereka Membacakan Kita Seribu Buku


SALAH
satu tanda kemajuan sebuah bangsa ialah masyarakatnya yang menggilai buku. Lazim pemandangan masyarakat di banyak negara: di stasiun, halte, bus, sudut-sudut kota, waktu luang diisi dengan aktivitas membaca buku dan koran. Untuk saat ini, tentu, kita tak perlu menanyakan kebiasaan luhur itu di negeri ini.

Di tengah lesu darah kompleksitas kondisi perbukuan di Indonesia mulai dari pajak tinggi yang dibebankan penerbit dan penulis sehingga berdampak turunnya produktivitas terbit buku, juga diperparah oleh minat baca kita yang rendah. Bahkan penelitian Taufiq Ismail rentang 1975-2015 menyebut sebagian besar siswa kita tidak khatam menelaah satu pun karya sastra selama bersekolah.

Warta mutakhir, gerakan-gerakan menumbuhkan gemar membaca terus digalakkan, duta baca ditunjuk, perpustakaan digital untuk mengakomodasi bagi yang menubuh dengan gadget (gawai) pun ramai dibuat. Ikhtiar macam ini patut kita apresiasi. Meski demikian, dorongan-dorongan melek literasi sedemikian ini kiranya hanya cukup menjadikan seorang pembaca buku sebagai sekadar membaca.

Jalur Meresensi

Kini, gairah untuk menjadi kritis membaca dengan dituangkan dalam artikel wacana/tulisan bak primadona baru. Fenomena ini menjadikan pembaca sebagai kritikus buku. Barisan pembaca model ini lazim diistilahkan peresensi. Semakin terasa eksis menakala ruang untuk mengkritisi buku terwadahi secara luber terutama di media massa cetak: koran dan majalah.

Walau sebuah resensi bisa dituangkan dalam media online sebagai ritus digitalisasi, namun, penghamparan narasi resensi di surat kabar masih dirasa lebih bertaji dan berbobot. Apalagi, hampir semua koran dan majalah menyediakan rubrik khusus yang membahas sisi-melik sebuah buku baru.

Dibanding suasana dunia peresensian beberapa waktu lampau, sekarang, gairah meresensi buku semakin meningkat. Kemunculan peresensi anyar terus bertumbuh. Mengapa bisa demikian? Bukankah ini semacam paradoks tentang gairah lesu perbukuan di Tanah Air kita?

Apalagi, ruang resensi hampir-hampir hanya tayang sekali seminggu. Itu pun dengan space terbatas. Dan, tidak sedikit media massa cetak tidak memberikan honorarium untuk resensi yang dimuat. Ini tentu membedai karateristik bentuk artikel macam opini atau karya sastra cerpen-puisi yang masih ada hitungan nominal rupiah sebagai bentuk apresiasi.

Mengherankan lagi, terhadap mereka yang bersetia meresensi, juga tidak sedikit penerbit buku yang enggan memberikan fee. Alasannya, bila ditinjau dari konteks bisnis perbukuan, sebuah resensi dimuat nyatanya tidak kemudian sebanding dengan kenaikan penjualan buku yang diresensi. Jadi, mengapa justru semakin banyak kemunculan peresensi? Belum lagi di tengah persaingan keras antarperesensi. Sebuah koran daerah setidaknya menerima puluhan artikel resensi setiap pekannya. Padahal, yang dimuat cuma satu atau dua resensi.

Sememangnya gairah meresensi di koran lokal/daerah terbilang tinggi mengingat kerasnya persaingan meresensi di tingkat koran nasional –yang menjanjikan adanya honorarium. Namun, justru di sinilah menandakan peran penting koran daerah yang lebih bisa mewadahi para peresensi dalam menyebarkan wabah gila membaca di masyarakat akar rumput.

Terlepas dari anasir fee dan honorarium, ternyata mereka lebih tertuju untuk memburu buku baru dan bermutu. Buku baru menjadi incaran untuk segera mereka konsumsi. Para peresensi ini dengan riang menggumuli buku, merampungkan menulis resensi, dimuat koran daerah dan klimaksnya mendapat buku baru dari penerbit walau hanya satu buku. Ada kepuasan batin tersendiri yang mereka rasakan dengan membedai kelaziman masyarakat dalam memperoleh buku dengan cara membeli ke toko buku.

Meresensi adalah kegiatan “sederhana” dengan “merangkum” sebuah buku. Kerap dijadikan sebagai tahap dasar dalam melatih kemampuan menulis. Semakin sering membaca buku dan menuliskannya ulang akan tersembul rupa-rupa analisa yang berbentuk kritik. Meresensi juga mengandaikan sebuah ide/teori/wacana untuk diuji dalam ruang publik.

Semarak meresensi di media massa cetak memang diakui tidak menjamin tumbuhnya masyarakat gandrung membaca. Tapi, pada bagian ini terdapat peran penting arti resensi, yakni, tidak sembarang buku dan atau tidak sembarang resensi bisa dimuat. Dengan kata lain, resensi yang dihidangkan setelah lolos seleksi redaktur koran benar-benar bersumber dari buku-buku yang bermutu dan bermanfaat bagi masyarakat.

Tantangan ke depan bagi peresensi ialah menegaskan komitmen bahwa dirinya bukan agen marketing buku. Ia merupakan penimbang adil buku. Menyajikan fakta dan analisa berimbang kelebihan dan kelemahan buku. Jadi, peran peresensi sangat vital dalam kemudi melek literasi. Ia bisa menjadi pengkritik tajam untuk buku-buku yang sama sekali tidak pantas terbit, misalkan. Dan, di sisi lain terlalu naïf bila peresensi merangkap sebagai penjual buku lantaran ia akan memuji berlebihan isi buku. Sehingga, bila sebuah buku yang isinya tidak bagus namun dipaksa dibagus-baguskan maka sama dengan membohongi masyarakat pembaca.

Lepas dari itu, kehadiran peresensi bak telah membacakan dan menuliskan isi buku kepada khalayak. Masyarakat dicukupkan membaca resensi sebagai pengantar. Bila menarik, masyarakat bisa membaca suatu buku tersebut secara utuh dan tuntas. Membaca resensi di banyak media massa cetak akan membawa kita serasa telah membaca banyak buku. Serasa pula memiliki perpustakaan dan semakin memahfumi intisari sebuah buku.

Dengan demikian, para peresensi tersebut menjadi penguat rajutan pendidikan keadaban masyarakat Indonesia untuk tidak sekadar melek literasi. Bila hal ini terus kontinyu dimaksimalkan beserta adanya dukungan pemerintah, kiranya sedikit-banyak akan semakin menarik generasi muda kita untuk gemar membaca. Alhasil, tidak berlebihan kiranya bila keadaban Indonesia macam demikian ini bisa disejajarkan dengan fenomena masyarakat gila baca di negara-negara lain. Semoga! (*)

*Muhammad Itsbatun Najih, Alumnus Ilmu Budaya Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta.


Note: Artikel ini pernah dimuat di Koranmadura.com, diterbitkan ulang untuk tujuan pendidikan.