Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Trilogi Interaksi Al-Qur’an


Al-QUR’AN
adalah kitab yang tidak ada keraguan didalamnya. Ia diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril dengan cara berangsur-angsur. Sedangkan membaca dan berupaya memahami makna yang terkandung didalamnya serta mengaplikasikan dalam kehidupan merupakan suatu ibadah.

Originalitas Al-Qur’an akan tetap terjaga sepanjang zaman sebagaimana janji Allah SWT. Bahwa Allah yang menurunkan Al-Qur’an dan Allah pula yang menjaganya. Allah berfirman:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Artinya: Sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan pasti kami (pula) yang menjaganya. (QS. Al-Hijr: 9)

Allah menjaga keaslian Al-Qur’an dengan memberikan kemudahan bagi manusia untuk menghafal Al-Qur’an. Terbukti sejak zaman sahabat yang belajar langsung kepada Rosulullah hingga generasi saat ini sangatlah banyak para penghafal Al-Qur’an.

Hampir setiap tahun, Beberapa Pesantren tahfidzul Qur’an di Indonesia mengadakan wisuda tahfidz (mencetak generasi penghafal Al-Qur’an) dengan harapan generasi tersebut menjadi tempat simpanan Al-Qur’an yang original.

Para santri yang sudah dianggap mampu atau berhasil menyelesaikan hafalan, maka para guru (kyai) memberikan syahadah (ijazah) bahkan sanad (silsilah guru Al-Qur’an hingga bersambung kepada Rosulullah) sebagai bukti bahwa dia sudah berhasil menempuh berbagai proses dalam mengkaji Al-Qur’an lalu kemudian dia diamanahi untuk mengajarkan/menyampaikan kepada orang lain.

Untuk mendapatkan generasi tersebut, maka metode yang sesuai dengan manhaj qur’ani menjadi penting dilalui oleh seorang santri agar ia benar-benar mumpuni untuk mengajarkan atau membumikan Al-Qur’an. Dr. Muchlish Hanafi ketua lajnah pentashihan Al-Qur’an Kementerian Agama RI sekaligus Pakar Tafsir Pusat Study Al-Qur’an (PSQ) Jakarta merumuskannya dengan Trilogi Interaksi al-Qur’an.

Pertama, Tilawah (membaca), Hifzh (menghafal), dan Istima’ (mendengarkan/menyimak). Rosulullah sebagai penerima wahyu al-qur’an, lalu dibacakannya kepada para sahabat, mereka mendengarkan lalu menghafalnya, mengumpulkan dan menulisnya.

Para sahabat selalu melakukan tashih bacaan kepada Nabi. Mereka yang berasal dari daerah yang berbeda-beda dengan dialek bahasa yang beda pula maka menghasilkan beberapa perbedaan dalam melafalkan Al-Qur’an. Rosulullah sangatlah arif didalam mengajarkan Al-Qur’an kepada para sahabat, beliau tidak mempersulitnya, maka Al-Qur’an boleh dibaca tidak hanya dengan satu bacaan saja.

Nabi Muhammad Saw. Bersabda:

ان هذا القرءان انزل على سبعة احرف فا قرؤا ما تيسر منه

Artinya: Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan di atas tujuh huruf maka bacalah olehmu semua apa yang dirasakan mudah padanya. (HR. Al-Bukhari).

Berkenaan dengan perbedaan bacaan yang sudah ditashih kepada Rosulullah. Para imam qira’at meriwayatkan cara-cara membaca Al-Qur’an kepada generasi selanjutnya. Alhasil, para ulama’ yang datang setelahnya menghimpun perbedaan-perbedaan cara baca, riwayat dan thariqnya dalam kitab-kitab, baik dalam bentuk Natsr (tulisan biasa) semisal kitab At-Taisir, An Nasyr, begitu juga dalam bentuk Nadzam (bait-bait syair) semisal kitab matan Asy-Syathibiyah, kitab matan Ad Durrah, dan lain-lain.

Perbedaan-perbedaan dalam membaca Al-Qur’an diklasifikasi sesuai imam-imamnya, sehingga ada istilah qiroah ‘Asyarah (bacaan yang diriwayatkan oleh sepuluh imam), ada pula yang populer yaitu qiro’ah Sab’ah (diriwayatkan oleh tujuh imam).

Nah, sangatlah penting untuk kita pelajari cara membaca Al-Qur’an yang sesuai dengan kaidah-kaidah yang sudah disepakati oleh ulama’ qurra’. Karena ketelitian para ulama’ qurra’ sangatlah hati-hati dalam memilih keabsahan sanad dan kemutawatirannya yang datang dari nabi, serta bacaan harus sesuai dengan bentuk tulisan (rasm) usmaniyah baik secara tersurat atau tersirat (ihtimalan).

Pada umumnya umat islam Indonesia menggunakan bacaan dari imam Ashim diriwayatkan Hafs. Akan tetapi dibeberapa pesantren sudah dikenalkan qiro’ah sab’ah (tujuh macam bacaan Al-Qur’an). hal ini menunjukkan bahwa belajar Al-Qur’an itu harus digurukan, santri melakukan Istima’ (mendengar langsung dari guru). Selain membaca, penting pula belajar menulis Al-Qur’an, karena kesalah menulis lafadz Al-Qur’an akan mempengaruhi pada perubahan makna.

Kedua, al-Fahm (memahami). setelah fasih dalam melafalkan Al-Qur’an, maka perlu melakukan upaya memahami makna yang terkandung dari ayat-ayat Al-Qur’an, lebih-lebih memahami tafsirnya sehingga tidak mudah menjadikan Al-Qur’an sebagai landasan pengambilan hukum tanpa mengetahui maksud dari ayat tersebut.

Al-Qur’an memiliki nilai sastra yang tinggi, ada beberapa ayat yang perlu ditafsirkan (ayat mutasyabih) oleh orang yang sudah memenuhi kriteria mufassir. Sudah banyak kitab tafsir yang bisa kita pelajari, semisal tafsir jalalain, tafsir Al-munir, tafsir Asy-sya’rawi, juga tafsir Al-misbah yang ditulis oleh ulama’ Indonesia Prof. Quraish Shihab.

Ketiga, Amal (mengamalkan) dan Dakwah (mengajak). bagian ini merupakan upaya tazkiyah (mensucikan jiwa), sehingga Al-Qur’an benar-benar menjadi jiwa, Al-Qur’an menjadi tindakan (akhlak Al-Qur’an) karena sesungguhnya apabila Al-Qur’an sudah benar-benar menjadi jiwa, maka tidak akan pernah ada kesempatan untuk membenci, tidak ada waktu untuk menjelekkan orang lain, pun juga tidak akan dipenuhi kegelisahan melainkan ketentraman hidup akan selalu menjadi miliknya.

Sebaik-baik kamu adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya. (*)

*Mu’min Abdani. lahir 1992 di Sumenep Jawa Timur. Menjalani pendidikan MI, MTs, dan MA di Lembaga Pendidikan Nurul Jali Desa Pakamban Daya Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep (1996-2011). Melanjutkan ke Padepokan Tahfidzul Qur’an Ibnu Rusydi Jombang (2012-2015), STIT-UW Jombang (2012-2015), Mengikuti Beasiswa Pasca Tahfidz di Pusat Studi al-Qur’an (PSQ) Jakarta angkatan 14 (2016). Saat ini berproses di UNUSIA Jakarta.