Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mahfud MD Nilai Demokrasi Indonesia Gagal Berantas Korupsi


Yogyakarta, Rumah Baca Orid

Mantan Ketua MK, Mahfud MD menyampaikan catatannya terkait 20 tahun reformasi. Dia menggarisbawahi pemberantasan korupsi di negara ini yang dinilainya gagal diatasi.

“Demokrasi kita itu tidak berhasil memberantas atau mengurangi korupsi. Padahal semakin demokrasi suatu negara maka korupsi semakin dihapus, semakin bersih dari korupsi. Tapi di Indonesia itu gagal, demokrasi dibangun tapi korupsinya makin banyak di sini,” kata Mahfud MD kepada wartawan di kompleks Kepatihan kantor Gubernur DIY, Selasa, 22 Mei 2018.

Menurutnya, demokrasi di Indonesia dalam praktiknya mengalami pembelokan ke arah oligarki mulai tahun 2002 atau 2003. Karena sejak tahun itu, lanjutnya, partai-partai politik sudah mulai bermain uang, otoriter, pemimpin partai menjadi lebih menentukan dari pada anggotanya dan hal ini berlaku bagi semua partai.

Sehingga demokrasi yang muncul adalah demokrasi transaksional. Kalau demokrasi hanya dijalankan oleh yang mampu bertransaski, kata Mahfud, maka hal itu namanya oligarki. “Itu mengapa demokrasi di Indonesia gagal, gagal memberantas korupsi,” jelasya.

Mahfud menilai, sebenarnya awal-awal reformasi tahun 1998-2003 sebenarnya demokrasi sudah berjalan bagus. Pada saat itu banyak produk undang-undang yang dihasilkan DPR. Dibentuk lembaga-lembaga seperti KPK, Komnas HAM, dan LPSK. Tetapi menurutnya mulai terjadi pembelokan pada tahun 2003 dan mulai transaksional.

Catatan berikutnya adalah masalah penegakan hukum yang masih lemah. Hukum-hukum masih banyak diperjualbelikan dan banyak ditentukan oleh pemilik modal. Mahfud berharap, penegakan hukum harus dijalankan agar ada keseimbangan dengan demokrasi.

Karena jika dijalankan tanpa hukum, menurutnya demokrasi akan liar. Dan jika hukum dijalankan tanpa demokrasi yang terjadi adalah kesewenang-wenangan seperti pada masa orde baru. “Tugas kita ke depan adalah meluruskan kembali reformasi ini dengan membelokkan oligarki ke jalan demokrasi lagi. Kedua adalah penegakan hukum, penegakan hukum agar supaya ada keseimbangan antara perkembangan demokrasi dengan hukum,” paparnya.

Selain itu, masalah keadilan sosial juga menjadi catatannya. Karena jarak antara yang kaya dan yang miskin semakin melebar, ketimpangan sosial yang makin tinggi. Semakin banyak orang miskin dan frustasi menyebabkan orang miskin ikut dalam gerakan radikal.

Kondisi seperti ini dinilai berbahaya bagi negara. Radikalisme yang semula memang sembunyi-sembunyi tetapi karena banyak orang miskin dan banyak pengikutnya maka mulai melakukan tindakan kasar. “Oleh sebab itu, tegakkan demokrasi, tegakkan hukum, tegakkan keadilan itu agenda ke depan yang harus ditekankan,” tegasnya.

Mahfud juga mencatat banyak juga hal positif dari reformasi seperti dari sudut penguatan ideologi di mana dalam kelembagaan politik sekarang menjadi lebih kuat. Karena sekarang tidak ada lagi secara politik sekat-sekat ideologi antar parpol. “Misal sekarang pemilihan kepala daerah langsung itu PKS bergabung dengan PDIP di NTT, Papua. PDIP bisa bergabung dengan PKS di Aceh, itu kan bagus sekarang, itu kemajuan,” katanya.

Selain itu, Mahfud menganggap rakyat yang saat ini bisa memilih sendiri Presiden, DPR, Bupati, Gubernur merupakan hasil positif dari demokrasi. Jika pada zaman orde baru tidak ada survei, lanjutnya, tetapi sekarang ada survei yang mengarahkan demokrasi itu tidak sembunyi-sembunyi. “Itu ada kemajuan,” tandasnya.