Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Euforia Opini WTP BPK


BADAN
Pemeriksa Keuangan (BPK) RI melalui BPK Provinsi Jawa Timur (Jatim), pada Kamis, 31 Mei 2018 memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Sumenep, Madura, untuk Tahun Anggaran 2018 setelah sebelumnya selama enam tahun berturut-turut mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dari BPK Provinsi Jatim.

Dalam hal ini, tentu tidak hanya Sumenep yang menerima opini dari BPK. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari media massa, sedikitnya ada 17 Kabupaten/Kota di Jatim yang diberikan opini WTP oleh BPK Provinsi Jatim. Dari ke-17 daerah tersebut, salah satunya adalah Kabupaten Sumenep.

Sontak hal itu menjadi euforia Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep. Informasi itupun langsung menyebar ke masyarakat secara luas dengan memasang iklan diberbagai media sebagai citra atau gambaran bahwa seakan-akan pemerintah daerah bersih. Namun, meski demikian, ada yang bangga dengan perolehan hasil opini WTP itu, juga ada yang sedikit skeptis terhadap hal itu.

Sebenarnya, tidak ada yang perlu dibanggakan dengan euforia berlebih terhadap apa yang menjadi pencapaian Pemkab tentang pelaporan keuangan daerah, dan juga tidak melulu harus skeptis terhadap perolehan opini WTP yang dikeluarkan oleh BPK Provinsi Jatim itu. Tapi, ada yang perlu diperhatikan terkait hal-hal yang jauh lebih besar dari pada penilaian hasil audit BPK itu. Sebut saja misalnya masalah kemiskinan, kesenjangan sosial dan kesejahteraan masyarakat.

Hanya sekedar perbandingan, bahwa opini WTP bukan jaminan masyarakat Sumenep sejahtera. Bukan pula dengan perolehan opini WTP itu Sumenep terbebas dari praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Sebab, opini BPK merupakan pernyataan profesional auditor mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada empat kriteria, yakni kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian internal.

Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan jika laporan keuangan yang mendapat opini WTP dari BPK bukanlah sebuah prestasi melainkan merupakan kewajiban dalam menggunakan APBN. “WTP bukanlah sebuah prestasi melainkan memang kewajiban kita dalam menggunakan APBN,” katanya, saat acara Persiapan Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2017 lalu. (DETIK, 5 Desember 2017)

Presiden Jokowi dalam kesempatan yang sama juga mengingatkan, bahwa inti dari pemeriksaan laporan keuangan pemerintahan adalah menjaga kepercayaan rakyat. Menurutnya, kepercayaan rakyat tersebut diperoleh dengan menunjukkan bahwa setiap rupiah uang rakyat digunakan sesuai tanggungjawab, sesuai aturan, dan untuk kepentingan rakyat.

“Ini yang saya minta benar-benar diperhatikan karena bukan sembarang pertangungjawabannya. Jangan hanya karena pemeriksaan itu sebagai kegiatan tahunan, kegiatan rutin tahunan lalu semuanya menganggap gampang saja,” jelasnya.

Bahkan, ada beberapa kasus hanya untuk mendapatkan opini WTP dari BPK, ada auditor/pejabat/staff yang terlibat suap. Hal itu diungkapkan ICW sesuai data yang dimilikinya sejak tahun 2005 hingga 2017. “Dalam pantauan ICW sejak 2005 – 27 Mei 2017, sedikitnya terdapat 6 kasus suap yang melibatkan 23 auditor/pejabat/staff Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),” kata peneliti ICW, Emerson Yuntho dalam keterangannya seperti dilansir Kumparan pada 27 Mei 2017 lalu.

Menurutnya, dari 6 kasus suap yang dicatat ICW, 3 kasus suap diantaranya untuk mendapatkan Opini WTP, 1 kasus suap untuk mendapatkan Opini WDP, 1 kasus suap untuk mengubah hasil temuan BPK dan 1 kasus suap untuk “membantu” kelancaran proses audit BPK. “Itu di luar kasus terbaru di Kemendes, nilai suap terkecil adalah Rp 80 juta dan terbesar Rp 1,6 miliar per orang,” jelasnya.

Itu artinya, opini BPK tentang LKPD bukan suatu keniscayaan pemerintah daerah terbebas dari praktek KKN. Sebab, menurut Juru bicara BPK Yudi Ramdan, opini WTP adalah sebuah penilaian tentang informasi kewajaran pada laporan keuangan. BPK pun telah menetapkan sejumlah kriteria, diantaranya adalah kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintah, efektivitas penilaian internal, kecukupan pengungkapan informasi, dan kepatuhan pada peraturan perundang-undangan.

“Jadi, selama empat kriteria ini dipenuhi, BPK akan memberikan opini WTP kepada pemerintah pusat, kementerian/lembaga, dan pemerintah daerah,” ujarnya.

Oleh sebab itu, opini BKP hanya merupakan bagian dari syarat pemerintah daerah menuju tata kelola pemerintahan yang lebih baik dengan adanya proses pertanggungjawaban yang baik. Dengan demikian, opini WTP pun tidak menjamin jika daerah terbebas dari praktek KKN. Karena, ukuran pemerintah daerah berhasil melakukan pembangunan tidak hanya bergantung pada perolehan opini BPK tadi, melainkan sejauh mana program pemerintah berhasil mengurangi kemiskinan, kesenjangan sosial dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pada kenyataannya, integritas menjadi sebuah keniscayaan setiap pejabat publik untuk memberikan pelayanan terbaiknya. Oleh sebab itu, opini WTP bagi Kabupaten Sumenep kali ini harus menjadi modal awal daerah memperbaiki diri untuk tidak melakukan praktek KKN yang tentu sangat merugikan masyarakat. Semoga demikian! (*)

*Ahmad Fairozi, Pendiri dan Ketua Rumah Baca Indonesia (Rumah Baca ID).