Kebahagiaan
YUDI LATIF, mantan kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang juga dosen Universitas Negeri Yogyakarta beberapa hari lalu menyebut jika kebahagiaan hidup bersama akan terengkuh manakala bangsa bisa menyegarkan dan menyalakan pelita jiwa dengan membangun kolektivitas penuh cinta dengan sang pencipta, dengan sesama manusia, dan dengan alam semesta. (Jawa Pos, Sabtu 9 Mei 2018)
Penyataan Yudi di atas sebagai jawaban atas pertanyaan yang dia sodorkan sendiri atas apa sebenarnya tujuan bangsa ini beragama dan bernegara. Lebih lanjut, dia mengutip pernyataan William James yang menyatakan bahwa “motif terbesar dari seluruh tindakan manusia adalah mengejar kebahagiaan”. Pun demikian dengan para pemikir Yunani purba, Epicurus misalnya, yang menyebut bahwa kebahagiaan adalah satu-satunya tujuan hidup. Itu artinya, para pemikir menasbihkan kebahagiaan sebagian kebijaksanaan terluhur manusia.
Dengan demikian, maka dalam kosmologi Islam, relasi triadik digunakan untuk menguatkan ikatan kasih manusia dengan Allah (hablum minallah), dengan sesama manusia (hablum minannas), dan dengan alam semesta (hablum minal alam). Oleh sebab itu, kemanusiaan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan.
Lalu, apa hubungannya dengan aktivitas manusia di era sekarang? Kita tahu, syarat untuk mencapai kebahagiaan adalah terbebasnya jiwa dan raga dari eksploitasi hak untuk mendapatkan kemerdekaan, merajut persatuan, berdaulat, serta adil dan makmur. Oleh karenanya, kunci utama kebahagiaan adalah kesanggupan manusia untuk meraih makna hidup.
Ketika realitas kehidupan manusia tergambar dalam hiruk-pikuk seperti saat ini, mampukah manusia untuk meraih makna hidup? Adalah tergantung kepada pribadi masing-masing. Jika, pribadi telah merasakan kebebasan dari berbagai bentuk eksploitasi seperti yang disebutkan di atas, besar kemungkinan kebahagiaan mendekati pribadi tersebut. Namun jika sebaliknya, kebahagiaan yang merupakan tujuan kemanusiaan akan menjadi sebatas euforia belaka. Artinya, untuk meraih makna hidup dengan membebaskan diri dari eksploitasi kemanusiaan menjadi terkendala.
Ada hal yang perlu diketahui bersama bahwa dalam perkembangan terkini, jutaan manusia mengalami kekeringan jiwa dan kekosongan makna hidup. Hal itu terbukti manakala jumlah orang bunuh diri lebih banyak dari korban perang. Orang mati karena hidup mewah lebih banyak dari pada orang mati dengan kehidupan yang berkecukupan atau kekurangan dan bahkan kelaparan.
Fenomena ini menjadi menarik diperbincangkan ketika relevansi kebahagiaan manusia dapat diukur dan dapat dipercaya sesuai dengan data keadaan sebenarnya. Bahwa, kaya bukan jaminan manusia bahagia. Pun demikian, bahwa miskin juga belum tentu menjadikan manusia menderita. Sebab, itu semua tergantung kepada pribadi dalam mencapai tujuannya untuk meraih kebahagiaan.
Ketika sebatas melihat orang dengan bergelimang harta, lalu kita sebut merekalah orang yang paling bahagia. Demikian pula ketika melihat orang yang miskin, lalu kita sebut merekalah orang yang paling menderita. Dan ternyata itu salah. Ketika fenomena yang terjadi seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwa perkembangan terkini, banyak orang frustasi lalu bunuh diri dan lebih banyak orang kaya yang kekenyangan mati. Cukup memberi bukti jika kebahagiaan bukan melulu soal materi.
Lebih jauh, Buya Hamka menyebut jika “kalau hidup sekedar hidup, babi dihutan juga hidup. Kalau bekerja sekedar bekerja, kera juga bekerja”. Artinya, kebahagian tidak sesederhana manusia hidup. Kebahagiaan juga tidak seperti asal bekerja saja, ada filosofi yang harus ditemukan dalam diri kita dengan membebaskan segenap jiwa dan raga dari eksploitasi hak untuk mendapatkan kemerdekaan, merajut persatuan, berdaulat, serta adil dan makmur.
Jika hal itu telah terpenuhi, dan relasi triadik seperti disebutkan di awal telah dilakukan, maka akan terjalin ikatan kasih manusia dengan Allah (hablum minallah), dengan sesama manusia (hablum minannas), dan dengan alam semesta (hablum minal alam) yang hal itu merupakan hal pokok manusia dalam mencapai kebahagian, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Semoga! (*)
*Ahmad Fairozi, Pendiri sekaligus Ketua Pengurus Harian Rumah Baca Indonesia (Rumah Baca ID).