Korupsi dan Anomali Formalisasi Syariah
DICOKOKNYA Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf bersama Bupati Bener Meriah atas dugaan penerimaan suap adalah tragedi yang ironis. Ihwal seorang pejabat daerah diringkus KPK karena dugaan kasus korupsi barangkali sudah menjadi hal yang biasa. Sebagai gambaran, sepanjang Januari hingga April tahun ini saja setidaknya 10 pejabat daerah menjadi tersangka kasus korupsi.
Namun, kasus kali ini berbeda. Seperti kita ketahui, kedua pejabat daerah yang ditangkap KPK kali ini berasal dari daerah yang selama ini identik dengan penerapan syariah Islam. Peristiwa ini mau tidak mau membuat kita berpikir ulang tentang korelasi antara penerapan syariah dengan pemberantasan korupsi.
Korupsi, tidak lagi diragukan, merupakan kejahatan kemanusiaan yang luar biasa. Dampak destruktifnya bahkan bisa lebih besar ketimbang kejahatan terorisme sekalipun. Kita melihat sendiri bagaimana praktik korupsi (serta kolusi dan nepotisme, atau KKN) yang diwariskan sejak era Soeharto telah menimbulkan kesenjangan sosial-ekonomi-politik yang cukup lebar antara masyarakat biasa dan elit.
KKN telah menyebabkan sumber-sumber ekonomi dan politik hanya dikuasai oleh golongan tertentu saja. Masyarakat awam yang tidak punya kedekatan dengan penguasa umumnya kesulitan mengakses sumber-sumber tersebut. Kondisi itulah yang melatari munculnya gerakan Reformasi 1998.
Gerakan yang diinisiasi oleh mahasiswa dan didukung oleh kalangan civil society itu berhasil menggulingkan Soeharto yang kala itu menjadi simbol dari praktik KKN. Publik pun dilanda semacam euforia, harapan, dan optimisme bahwa Indonesia yang bersih dan demokratis sudah di depan mata.
Namun, seiring gerakan Reformasi yang tidak sesuai misi awalnya, harapan dan optimisme itu perlahan memudar. Reformasi yang membawa iklim kebebasan nyaris tanpa batas justru menumbuhkan anasir-anasir baru yang berlawanan dengan semangat Reformasi itu sendiri.
Di satu sisi, korupsi justru tumbuh kian masif, melibatkan seluruh elemen pemerintahan, modus operandi yang kian canggih, dan jumlah nominal yang luar biasa. Di sisi lain, Reformasi juga disambut dengan meningkatnya sentimen islamisme yang salah satunya tampak dalam upaya formalisasi syariah Islam melalui peraturan daerah.
Komoditas Politik
Merujuk pada penelitian Robin Bush dalam tulisannya berjudul Regional Sharia Regulation: Anomaly or Symptom?, perda syariah yang marak muncul pasca-Reformasi dapat dilihat dalam tiga pembacaan. Pertama, perda syariah merupakan bentuk luapan kekecewaan kelompok Islamis atas corak pemerintahan sekuleristik yang dipraktikkan sejak era kemerdekaan sampai era Soeharto.
Kedua, perda syariah adalah upaya untuk menjadikan hukum Islam berpengaruh secara luas dalam setiap lini kehidupan masyarakat Indonesia, mulai dari ekonomi, sosial dan politik. Ketiga, perda syariah adalah komoditas politik yang digunakan oleh partai maupun elite politik untuk menjaring simpati pemilih.
Amatan Bush memperlihatkan bahwa perda syariah lebih sering merupakan isu yang dieksploitasi oleh para politisi demi kepentingan politik elektoral. Argumen Bush ini ditopang oleh fakta bahwa pengusung perda syariah di sejumlah daerah tidak melulu partai berideologi Islam, namun juga melibatkan partai berhaluan nasionalis.
Lebih jauh, Bush menyimpulkan bahwa pada titik tertentu, perda syariah telah menjadi semacam ajang comeback politisi Orde Baru yang sudah kehilangan basis massa. Hasil amatan Bush tersebut memperlihatkan bahwa penerapan perda syariah tidak selalu berbanding lurus dengan upaya mewujudkan good governance di level daerah.
Hal itu dapat dilihat dari sejumlah indikator. Pertama, masih tingginya angka kemiskinan di daerah-daerah yang menerapkan perda syariah. Kedua, buruknya kualitas layanan publik di wilayah yang menerapkan perda syariah. Ketiga, daerah yang menerapkan perda syariah nyatanya juga tidak bebas dari praktik korupsi.
Apa yang terjadi di Aceh mengonfirmasi asumsi bahwa perda syariah tidak berkorelasi positif pada pemberantasan korupsi. Gubernur Aceh dan Bupati Bener Meriah bukan kepala daerah Aceh pertama yang tersangkut korupsi. Sebelumnya, sejumlah pejabat daerah di Aceh pernah tersangkut kasus korupsi.
Abdullah Puteh, mantan gubernur Aceh dipidana 10 tahun penjara karena kasus korupsi pembelian helikopter Mi-2. Bupati Aceh Tenggara Armen Desky yang juga dipidana 10 tahun penjara untuk kasus yang sama. Sementara Zulkarnaen yang merupakan Walikota Banda Aceh masa jabatan 1998-2003 divonis 5 tahun penjara lantaran korupsi dana pemberdayaan ekonomi rakyat.
Domestifikasi Syariah
Lalu, mengapa perda syariah tidak berkorelasi positif pada menurunnya angka korupsi di daerah yang menerapkannya? Kerangka pikir Abdullah an Naim yang tertuang dalam Islam and The Secular State: Negotiating The Future of Shariah (2008) agaknya bisa menjelaskan anomali tersebut.
Menurut an Naim, formalisasi syariah Islam di banyak negara umumnya dilakukan dalam dua corak. Corak pertama adalah penerapan syariah secara penuh, mulai dari wilayah domestik (kehidupan pribadi) hingga mengatur urusan publik dan politik. Corak ini tampak dalam formalisasi syariah di negara-negara Islam, yakni negara yang menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif negara.
Corak kedua ialah penerapan syariah hanya di wilayah domestik saja tanpa menyentuh aspek-aspek yang lebih luas dari itu. Corak ini umumnya dipraktikkan di negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim, namun tidak menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif negara. Corak kedua inilah yang mirip dengan perda syariah yang diterapkan di sejumlah daerah di Indonesia.
Perda-perda syariah di Indonesia umumnya hanya mengatur hal-hal domestik seperti aturan tentang minuman beralkohol, prostitusi, keterampilan membaca al Quran bagi pegawai negeri, sampai kewajiban pemakaian busana muslim. Sejauh ini, tidak ada perda syariah yang memuat aturan tentang tindak pidana korupsi.
Lebih ironis lagi, penerapan perda syariah di sejumlah wilayah itu justru menyuburkan praktik suap dan korupsi. Misalnya, aturan tes membaca al Quran bagi calon pegawai negeri di sejumlah daerah justru kerap kali dijadikan celah untuk melakukan pungutan liar.
Sejak gerakan formalisasi syariah mulai digaungkan di awal tahun 2000-an, banyak pihak utamanya kalangan muslim moderat meragukan dampak positifnya terhadap upaya mewujudkan good governance, terlebih dalam konteks pemberantasan korupsi. Sedari awal, perda syariah memang didesain untuk mengatur urusan domestik dan tidak menyentuh aspek yang lebih luas dari itu.
Oleh karena itu, kasus-kasus menyangkut kepentingan publik seperti tindak pidana korupsi mustahil tersentuh oleh hukum syariah. Maka menjadi tidak mengherankan jika seorang penjudi kecil-kecilan dihukum cambuk dan dipermalukan di depan publik, sementara koruptor ratusan juta justru bebas dari hukuman dera (fisik).
Kasus korupsi yang menjerat Gubernur Aceh dan Bupati Bener Meriah adalah tamparan keras bagi masyarakat Aceh, dan tentunya seluruh masyarakat muslim di Indonesia. Peristiwa ini sekaligus mematahkan argumen para pengusung ide negara Islam yang mengklaim bahwa penerapan syariah adalah solusi atas semua problem bangsa, termasuk korupsi. (*)
*Siti Nurul Hidayah, peneliti pada Center for the Study of Society and Transformation, alumnus Departemen Filsafat dan Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Sumber: detik.com