Naik Turun BBM
SELAMA pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), harga bahan bakar minyak (BBM) selalu berubah-ubah. Hal itu sebagai akibat dari naik turunnya harga minyak dunia yang kita tahu, Indonesia adalah salah satu negara dengan ketergantungan impor minyak mentah dari negara lain.
Sejak Presiden Jokowi berkuasa, setidaknya sudah adatujuh kali kenaikan harga BBM, baik subsidi maupun non subsidi. Selain itu, pada masa pak Jokowi pula, premium yang merupakan BBM bersubsidi perlahan-lahan menjadi semakin sulit diakses ketersediaanya oleh masyarakat.
Kendati demikian, bukan berarti premium langka, hanya saja menjamurnya “pertamini” dan “pom mini” juga memiliki andil besar terhadap monopoli sepihak atas stok premium di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang pada dasarnya diperuntukkan bagi pengguna kendaraan bermotor di berbagai tempat.
Di masa kepemimpinan Presiden Jokowi berkuasa, BBM subsidi (premium dan solar) telah mengalami naik-turun hingga tujuh kali. Namun, berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 39 tahun 2014 tentang mekanisme pengaturan harga BBM, “Subsidi untuk premium dicabut. Solar menggunakan subsidi tetap. Harga BBM mengikuti fluktuasi harga minyak dunia.” (Kumparan, 16 April 2018)
Dilansir Tribunnews.com, Senin, 2 Juli 2018, Vice President Corporate Communication Pertamina, Adiatma Sardjito mengungkapkan, harga minyak dunia yang terus naik hingga menyentuh US$ 75 dolar per barel, adalah faktor dominan yang menyebabkan naiknya harga BBM. “Bahan baku BBM adalah minyak mentah, tentunya ketika harga minyak dunia naik akan diikuti dengan kenaikan harga BBM,” jelasnya.
Akibat ketidak pastian harga BBM inilah yang menyebabkan masyarakat semakin menderita, terutama masyarakat dengan kelas ekonomi menengah ke bawah. Bagi kalangan ekonomi menengah ke atas mungkin hanya biasa-biasa saja, namun bagi masyarakat miskin akan sangat terasa dampaknya.
Memang konsumsi BBM non subsidi tidak ditunjukkan begi mereka yang mampu, hanya saja, dengan kenaikan harga BBM non subsidi, akan mempengaruhi berbagai produksi komoditas dan bahan olahan. Harga komoditas akan semakin tinggi ketika harga BBM naik. Sebab, BBM merupakan acuan utama sistem perekonomian masyarakat di Indonesia, terutama yang berhubungan langsung dengan industri.
Maka kemudian, kebijakan pemerintah tentu akan meningkatkan laju inflasi. Selain itu, upah buruh dan masyarakat juga akan naik seiring dengan kenaikan harga BBM. Jika demikian, lagi-lagi masyarakat dengan ekonomi kelas menengah ke bawah lah yang akan terdampak secara tidak langsung namun perlahan tapi pasti.
Jawa Pos beberapa hari lalu melaporkan jika ketersediaan BBM subsidi jenis premium memang terbatas. “Itu keputusan pemerintah pusat. Saat ini yang dikeluhkan warga kok premiumnya malah berkurang. Sering habis,” ungkap Kepala Dinas Perdagangan (Disdag) Kabupaten Bangkalan, Budi Utomo, heran.
Kemungkinan, lanjutnya, ketersediaan premium terbatas bisa jadi sebagai salah satu cara pemerintah pusat agar masyarakat beralih ke pertalite. “Bisa jadi memang dibuat seperti itu. Dalam rangka menghapus premium. Sehingga, nanti yang terbawah menjadi pertalite. Jadi nonsubsidi semua,” papar Budi di kantornya. (Jawa Pos, Rabu, 4 Juli 2018)
Yang menarik adalah, lead berita itu diberi judul dengan “Pertamax Kemahalan, Premium Kerap Kosong”. Itu artinya, secara perlahan tapi pasti, kenaikan harga BBM non subsidi juga akan berdampak secara langsung terhadap masyarakat dengan kemampuan ekonomi kelas menengah ke nawah. Tidak benar jika pemerintah berdalih misalkan dengan menyetakan ‘masyarakat miskin tidak akan terdampak kenaikan harga BBM non subsidi’.
Oleh karena itu, masyarakat hanya akan menunggu waktu untuk menerima kenaikan bahan-bahan kebutuhan pokok yang setiap saat bagaikan bom waktu yang bisa muncul kapanpun. Dan semoga masyarakat tidak diberatkan dengan kebijakan pemerintah yang seakan tak pro terhadap rakyat. Semoga! (*)
*Ahmad Fairozi, Ketua pengurus harian Rumah Baca Indonesia (Rumah Baca ID).