Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pertamax Kemahalan, Premium Kerap Kosong


Bangkalan, Rumah Baca Orid

Pemerintah kembali menaikkan bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi. Seperti pertalite dan pertamax. Kondisi ini kurang disambut baik masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah.

Baca: BBM Naik per 1 Juli, Masyarakat Senyap dan Tak Ada Demo

Jalan Soekarno-Hatta (Soetta) Bangkalan ramai lancar. Rindang pepohonan di sepanjang jalan ini menjadi pilihan beberapa warga untuk berteduh. Rabu siang (4/7) petugas stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) melayani konsumen. Seragam serbamerah kombinasi putih terlihat dari kejauhan.

Roda dua dan empat bergantian menunggu giliran. Angka pada mesin pengisian berjalan mulai dari nol. Namun, angka pada mesin untuk pertamax dan pertalite berubah dibandingkan Januari 2018. Pertamax tertera Rp 9.500 per liter. Sementara pertalite Rp 7.800 per liter.

Berdasarkan rilis pada laman resmi PT Pertamina 13 Januari 2018, harga pertamax Rp 8.600 per liter, sedangkan pertalite Rp 7.500. Pada daftar harga BBM nonsubsidi 24 Februari, jenis pertalite naik menjadi Rp 7.600 dan pertamax Rp 8.900 per liter.

Daftar harga kembali berubah pada 24 Maret 2018. Harga pertalite mengalami kenaikan Rp 200 menjadi Rp 7.800 per liter, sedangkan pertamax tidak ada kenaikan. Kemudian, harga BBM nonsubsidi jenis pertamax pada 1 Juli 2018 kembali berubah. Pertamax naik Rp 600 dari semula Rp 8.900. Saat ini, per liter Rp 9.500.

Kenaikan harga BBM nonsubsidi ini dikeluhkan. Seperti yang disampaikan, Moh. Ali, 29, warga asal Socah, Bangkalan. Dia sudah lama menggunakan pertamax sebagai bahan bakar untuk motornya. Kenaikan harga tersebut memberatkan. Sebab, setiap hari dia melakukan perjalanan menggunakan motor.

“Kalau Rp 10 ribu dapatnya gak banyak. Satu liter lebih sedikit. Kalau bensin eceran sekarang sebotol Rp 10 ribu. Naik terus,” ujarnya saat ditemui setelah mengisi BBM di SPBU di Jalan Soetta.

Pria berpostur tinggi itu juga menyayangkan BBM jenis premium yang kerap habis. Beberapa kali saat ingin mengisi premium di salah satu SPBU selalu kosong. “Kalau di pom kosong, cari di penjual eceran. Biasanya ada,” tuturnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Perdagangan (Disdag) Bangkalan Budi Utomo menyampaikan, hanya BBM nonsubsidi yang mengalami kenaikan. Sementara untuk BBM premium bersubsidi masih tetap. Yakni, Rp 6.450 per liter. Hanya ketersediaannya memang terbatas.

“Itu keputusan pemerintah pusat. Saat ini yang dikeluhkan warga kok premiumnya malah berkurang. Sering habis,” ungkapnya heran.

Kemungkinan, lanjutnya, ketersediaan premium terbatas bisa jadi sebagai salah satu cara pemerintah pusat agar masyarakat beralih ke pertalite. “Bisa jadi memang dibuat seperti itu. Dalam rangka menghapus premium. Sehingga, nanti yang terbawah menjadi pertalite. Jadi nonsubsidi semua,” papar Budi di kantornya.

Mantan kepala dinas perikanan itu mengakui memang banyak yang mengeluhkan kenaikan harga BBM nonsubsidi. Apalagi, premium kerap kosong. Pihaknya juga belum memantau pasokan premium ke Bangkalan setiap hari. “Belum konfirmasi mengenai pasokan premium. Harganya tetap, barangnya terbatas,” ucapnya.

Kenaikan harga BBM nonsubsidi menurutnya sejauh ini belum memengaruhi stabilitas harga bahan pokok di pasaran. Ada beberapa komoditas yang naik. Bukan faktor kenaikan harga BBM, melainkan ketersediaan komoditas tersebut terbatas di Kota Salak.

Harga cabai rawit saat ini sekitar Rp 40 ribu per kilogram. Kemudian bawang merah dan bawang putih di kisaran Rp 22 ribu per kilogram. Cabai merah besar Rp 20 ribu dan tomat Rp 5 ribu. “Masih stabil,” terangnya.

Anggota Komisi B DPRD Bangkalan M. Husni Syakur mengatakan, keluhan terhadap kenaikan harga BBM banyak dari masyarakat kelas ekomoni menengah ke bawah. Menurut dia, kenaikan harga tersebut tidak pada momen yang tepat. “Kondisi perekonomian masyarakat sedang sulit. Ini akan berdampak pada kenaikan harga yang lain,” ujar Husni.

Dia berharap pemerintah memperhatikan kondisi perkonomian masyarakat sebelum menaikkan harga BBM dan tarif-tarif lain. Jadi, tidak menambah beban masyarakat. “Kalau bagi yang berpenghasilan tetap, mungkin masih mampu. Bagaimana yang kerja serabutan? Ini yang harus dipertimbangkan,” tukasnya. (jawa pos)