Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kekeringan yang Terpelihara


KITA
ketahui bersama, beberapa daerah di Sumenep, Madura, Jawa Timur, ketika berada pada puncak musim kemarau, selalu mengalami kekeringan. Hal itu terjadi sejak beberapa tahun yang lalu dan berlanjut hingga kini. Seakan tidak ada solusi konkret dalam menyiasati masalah kekeringan tersebut. Kering, kering, dan kering yang selalu menjadi masalah.

Sesuai data BPBD pada musim kemarau tahun ini, di Sumenep terdapat 27 desa di 10 kecamatan masuk peta kekeringan. Dengan perincian 10 desa kategori kering kritis dan 17 lainnya kering langka. (Baca: Permintaan Air Bersih Masih Berdatangan, BPBD Sumenep Butuh Tambahan Anggaran)

Seharusnya, pemerintah telah memiliki rancangan tentang antisipasi dampak kekeringan yang akan melanda wilayahnya jika masuk musim kemarau. Hal itu ditujukan agar kekeringan yang menjadi agenda tahunan tersebut dapat terpecahkan sehingga dampak kemarau tidak terlalu menjadi masalah yang rumit.

Misalkan dengan merekayasa wilayah tertentu dengan pembangunan bendungan yang mampu menampung debit air saat musim penghujan tiba. Sehingga dengan rekayasa tersebut, debit air yang dikumpulkan saat musim penghujan bisa sedikit membantu mengantisipasi dampak kekeringan ketika musim kemarau tiba.

Tidak hanya dengan bendungan, upaya pemerintah untuk mengatasi kekeringan juga bisa dilakukan dengan melakukan pengeboran sumber mata air. Jika hal itupun tidak memungkinkan untuk dilakukan, pemerintah bisa mencari sumber mata air yang besar dan bisa dialirkan ke tempat-tempat yang biasa mengalami kekeringan setiap tahunnya di wilayah Sumenep.

Sebab, distribusi air yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) setempat tidak efektif dan cenderung membuang-buang anggaran. Karena jika secara terus-menerus menggunakan distribusi tanpa solusi jangka panjang, maka kekeringan akan semakin sulit diatasi.

Bagi penulis, pendistribusian bantuan air memang perlu dilakukan jika hal itu mendesak. Artinya, jika hal itu terjadi setiap tahun dan tanpa ada solusi konkret dari pemerintah, maka sama saja dengan memelihara kekeringan tersebut tetap terjadi.

Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Namun, itu tergantung bagaimana stakholder dan pemerintah berperan untuk menyelesaikannya. Sehinngga, dikemudian hari kekeringan yang kerap melanda wilayah-wilayah tertentu dapat ditekan seminimal mungkin untuk terdampak kekeringan seperti yang dialami selama bertahun-tahun ini.

Ijtihad itu hanya bisa dilakukan jika pemerintah mau mengurai masalah kekeringan yang kerap melanda. Jika ijtihad itu tidak ada, kemungkinan besar kekeringan terus terjadi dan bagi penulis hal itu adalah ‘kekeringan yang terpelihara’ dengan baik. Semoga saja tidak demikian! (*)

*Ahmad Fairozi, Pendiri Rumah Baca Indonesia (Rumah Baca ID).