Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Masjid Jamik Sumenep, Simbol Kebersamaan yang Tak Pudar


Sumenep, Rumah Baca Orid

Dilihat sepintas, bangunan yang berada di seberang Taman Bunga di Kota Sumenep, Jawa Timur itu, seperti gerbang sebuah benteng atau gerbang kraton.  Warna bangunan itu, didominasi warna kuning sehingga juga nampak seperti bangunan bercorak Tionghoa.

Bangunannya tinggi dan memanjang dengan sebuah pintu masuk dengan lebar dua meter di bagian tengahnya itu, sejatinya merupakan pintu gerbang Masjid Jamik (juga disebut Masjid Agung) Sumenep, salah satu ikon wisata sejarah di wilayah itu.

Bentuk dan corak pintu gerbang tersebut,  yang membuat mesjid berusia dua abad lebih itu menjadi salah satu bangunan masjid tua dengan arsitektur unik di Indonesia, selain Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, Masjid Bawah Tanah Taman Sari, Jogjakarta dan Mesjid Mohammad Cheng Ho.

Bangunan gerbang setinggi 15 meter dengan tebal bangunan empat meter itu tidak hanya berfungsi sebagai pagar masjid. Di bangunan yang hampir menyerupai miniatur Tembok China itu juga terdapat ruangan yang berada di kanan dan kiri pintu gerbang.

Ruangan dengan pintu besi itu berfungsi sebagai sel tahanan bagi pelaku kriminal seperti pencurian, pemerkosaan, perjudian dan perkelahian. Penempatan ruang tahanan di depan masjid itu, sebagai terapi mental dan penyadaran bagi para tahanan. Sebab, mereka akan terlihat oleh jemaah, terutama pada saat salat jumat.

Saat ini, ruangan itu dijadikan sebagai tempat penyimpanan barang. Selain bangunan pagar, di halaman masjid juga terdapat dua bangunan berbentuk cungkup, yang konon merupakan pos penjagaan prajurit kraton. Selain menjaga keamanan masjid, prajurit yang berjaga di kedua cungkup itu juga berfungsi sebagai sipir yang menjaga dan melayani kebutuhan tahanan.

Seperti halnya bangunan lain di komplek itu, bangunan utama masjid juga menyimbolkan corak kebudayaan empat bangsa, Tionghoa, Arab, Eropa dan Jawa (Mataram). Bentuk pintu dan relief yang menghiasi serta ornamen interior masjid lebih didominasi kebudayaan Eropa dan Arab. Sementara bagian atap yang berbentuk limas, merupakan ciri khas masjid Mataraman.

Seorang peneliti kebudayaan Madura asal Kabupaten Malang, Fajar Kusuma, mengatakan perpaduan corak Eropa, Tionghoa, Arab dan Madura itu merupakan simbol pluralisasi masyarakat setempat yang terbangun sejak masa kerajaan. Masyarakat setempat sudah terbiasa membangun komunikasi dengan warga dari bangsa lain, terutama Tionghoa dan Arab disusul kemudian dengan bangsa Eropa.

Dengan bangsa Tionghoa, sudah terbangun sejak masa pemerintahan Arya Wiraraja sebagai Adipati di wilayah itu, saat membantu Raden Wijaya membangun Majapahit. Sedang dengan bangsa Arab, kerjasama mulai terbangun sajak terjadi penyebaran agama Islam di Madura.

Sementara dengan bangsa Eropa, puncaknya terjadi saat Sultan Abdurrahman atau Penembahan Sumolo yang merupakan salah satu dari dua raja di Nusantara yang menjadi nara sumber dalam penulisan buku The History of Java oleh Thomas Stamford Raffles  pada sekitar 1778.

Raja yang juga menguasai Bahasa Mandarin, Arab dan sejumlah bahasa di Eropa itu mendapatkan penghargaan dari Ratu Ingris di kala itu. Dan pengharagaan tersimpan hingga kini di Museum Kraton Sumenep.

“Sejak masa kerajaan, masyarakat Sumenep sudah terbiasa untuk bersikap toleran dengan bangsa lain seperti disimbolkan dalam corak komplek Masjid Jamik dan Kraton. Dan itu sikap itu bertahan sampai saat ini. Sehingga, di daerah ini belum pernah terjadi konflik akibat perbedaan ras,” kata Fajar.

Bahkan, kata dia, warga China dan Arab itu memiliki kawasan permukiman tersendiri di sekitar kraton dan biasa hidup berdampingan dengan masyarakat setempat tanpa ada konflik, hingga saat ini.

Kompleks Mesjid Jamik Sumenep dibangun pada tahun 1778 sampai 1789, pada saat Panembahan Sumolo menjadi Adipati di Kraton Sumenep. Keunikan arsitektur pagar dan bagian bangunan mesjid itu tidak lepas dari peran Lauw Pia Ngo, seorang arsitektur China.

Lauw Pia Ngo, merupakan salah seorang pelarian dari Semarang, saat terjadi kerusuhan berbau SARA di daerah tersebut pada  sekitar 1740. Dia memilih tinggal di Sumenep karena dianggap sebagai tempat yang aman dan sudah banyak warga keturunan Tionghoa yang menetap.

“Pada masa itu sudah banyak warga asal China yang tinggal di Sumenep. Itu terjadi sejak adanya kerjasama antara Arya Wiraraja, raja pertama di Sumenep dengan bangsa China  saat awal-awal pembangunan Kerajaan Majapahit,” katanya.

Saat akan mendesain pembangunan mesjid, Lauw Pia Ngo diutus ke Mataram untuk mempelajari bentuk bangunan kraton dan mesjid kesultanan.  Namun karena dasar pengetahuannya adalah arsitektur China, maka nuansa China tetap mendominasi bangunan Masjid Jamik Sumenep, sehingga menjadi bangunan yang unik. (koranmadura.com)