Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PMII dan Cara Pandang Menentukan Medan Juang


Dalam sebuah peperangan, seorang jenderal yang menang hanya akan bertempur setelah memastikan sudah mendapatkan kemenangan, sedangkan dia yang ditakdirkan untuk kalah adalah yang bertempur dahulu dan baru kemudian mencari kemenangan. (Sun Tzu)

LAHIRNYA organisasi kemahasiswaan yang diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) bukan semata-mata hanya untuk eksistensial belaka dan tercipta dari ruang kosong, melainkan PMII lahir sebagai jawaban atas keresahan rakyat atas ketimpangan pemerintah. Oleh sebab itu, PMII harus mampu mentransformasikan nilai-nilai yang dimiliki untuk menjaga kesatuan bangsa Indonesia.

Berbicara soal PMII, tidak akan lepas dari ruh keislaman, keindonesiaan, dan kemahasiswaan. Karena tiga point itu merupakan jargon kaderisasi PMII yang harus senada dengan zaman.

Posisi PMII dan mahasiswa pada umumnya adalah berperan sebagai “penjaga” idealisme yang tidak kenal lelah dalam menjungjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Agar peran mahasiswa, termasuk PMII di dalamnya tetap ada (diakui).

Sepanjang sejarah gerakan, mahasiswa masih lantang menyuarakan cita-cita idealismenya bagi tatanan sosial. Dalam konteks ini, idealisme dimaknai sebagai proses jangka panjang dalam meretas dirinya secara kontinyu tanpa adanya kepentingan yang sempit dan temporal.

Maka, gerakan PMII kedepan harus dapat berkontribusi nyata bagi bangsa dan negara, agar keberadaan PMII dapat diharapkan memiliki nilai manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemajuan. Artinya, kredibilitas dan kualitas bisa menjadi suatu hal yang dibanggakan.

Di Pamekasan misalnya, jika PMII ingin dianggap sebagai aktor sejarah oleh generasi dan peradaban mendatang, maka tidak ada pilihan lain bagi PMII kecuali memulainya dari sekarang untuk menorehkan otentisitas dan originalitas cita-cita. Sebab idealisme dan nilai perjuangan dalam sebuah peristiwa atau kejadian, tertentu bisa memberi lebih dari kearifan hidup, melainkan juga penting agar PMII dimasa yang akan datang dihargai sebagai aktor sejarah dan menjadi anak emas dizamannya.

Maka dengan adanya paradigma yang berbasis perkembangan zaman itulah, PMII wajib menentukan arah terjang dan medan juangnya. Paradigma itu sendiri merupakan cara pandang yang mendasar bagi seorang ilmuwan. Paradigma juga tidak hanya membahas apa yang harus dipandang, tetapi juga memberikan inspirasi, dan imajinasi terhadap apa yang harus dilakukan. Paradigma juga merupakan konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan, dan prosedur yang dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan keadaan sosial, untuk memberikan konsepsi dalam menafsirkan realitas sosial. (baca: PMII dalam simpul-simpul sejarah perjuangan)

Gagasan awal megenai pilihan paradigma gerakan PMII, yang dikenal dengan Paradigma Kritis Transformatif (PKT) berawal dari perbincangan model gerakan yang harus dipilih oleh PMII dalam menghadapi realitas kebangsaan dan kemanusian. Hal tersebut muncul dalam musyawarah pimpinan (MUSPIM) PMII di tahun 1995 yang kemudian di tindaklanjuti dalam Sarasehan Nasional Kebudayaan di Kaliurang Yogyakarta.

PKT diberlakukan hanya sebagai kerangka berpikir dan metode analisa dalam memandang persoalan. Adapun paradigma yang digunakan PMII adalah kritik yang mampu mewujudkan perubahan. Dengan demikian, PKT dituntut untuk memiliki instrumen-instrumen gerak yang bisa digunakan oleh PMII mulai dari ranah filosofis sampai praksis.

Dari lembaran sejarah juga menunjukkan, realitas eksistensi PMII yang lahir dari sebuah keyakinan menunjukkan bahwa sikap kritis mahasiswa ada pada kekuatan daya nalarnya. Sejak kelahirannya pula, PMII telah meneguhkan dirinya sebagai organisasi kemahasiswaan yang tidak pernah terpisah dari perkembangan mutakhir ruang dan waktu dimanapun dan kapanpun ia berada.

PKT sendiri relevansinya adalah terhadap cara pandang seluruh kader PMII. Namun, perlu kiranya sebagai organisasi yang memiliki legalitas hukum jelas, PMII menindaklanjuti secara serius posisi paradigma yang harus digunakan oleh PMII pada hari ini. Karena hal ini merupakan kegelisahan bersama para warga pergerakan. Sebab, PMII bukan organisasi profesi, melainkan organisasi kesadaran berbasis nilai. (*)

*Moh. Malthuf, abdi dalem PMII. Mahasiswa aktif IAIN Madura.