Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Berkebun di Pinggir Jalan


SEORANG
teman di Facebook mem-posting bahwa di Jepang selokan-selokannya bukan seperti selokan kita yang penuh dengan air-air kotor, penuh sampah, penuh nyamuk dan lalat, bahkan baunya sangat tak sedap. Di Jepang, konon, selokannya bersih. Airnya bening. Ikan koi berenang ke sana kemari. Tak ada sampah. Tak ada bau menyengat. Selokan ibarat akuarium berjalan. Mengapa itu terjadi? Karena setiap masyarakatnya disiplin. Mengapa pula ikan-ikan itu tak hilang? Karena masyarakatnya bertanggung jawab dan merasa memiliki. Lagipula, untuk apa menangkap ikan-ikan jika di semua selokan ada ikan?

Saya membayangkan hal serupa terjadi di Indonesia. Betapa sangat menakjubkan andai setiap selokan airnya bening, ikan lalu-lalang, tak ada sampah, tak ada bau menyengat. Sudah pasti, kota itu akan menjadi kota tujuan wisata. Warganya pun akan tenteram, jauh dari rasa depresi. Tetapi, memimpikan hal itu masih terlalu jauh. Kesadaran masyarakat masih rendah. Pemerintah kita pun masih cenderung abai pada lingkungan. Bahkan, pemerintah terkesan melepaskan tanggung jawabnya kepada masyarakat.

Karena itu, hal yang paling mungkin dilakukan di kota ini adalah berkebun. Mengapa harus berkebun? Begini! Bayangkanlah pengalaman kita selama ini ketika melewati jalan-jalan di sebagai besar kota di Indonesia. Adakah jalanan yang sejuk? Adakah pohon-pohon rindang? Tidak ada. Jika pun ada, itu hanya di secuil tempat. Karena itu, adalah wajar jika di perempatan jalan, para pengendara stres. Mereka ingin mengebut cepat-cepat. Tak ada lagi kesabaran sehingga klakson-klakson bersahut-sahutan. Tak jarang malah banyak yang bertengkar, banyak yang celaka.

Ibarat Manusia

Ini tak terjadi (setidaknya bisa diminimalisasi) andai perwajahan kota kita ramah dan teduh. Para pengendara tak akan kepanasan. Jadi, jika pun macet, mereka akan menikmati kemacetan itu tanpa berteriak. Sebab, selama ini masyarakat saling rebut bahu jalan adalah dominan karena jalanan panas, jalanan berdebu, jalanan bising dan menyesakkan. Andai jalanan kita rindang, alih-alih stres, para pengendara malah seakan bertamasya di jalan sehingga kepenatan terbuang jauh-jauh. Tak ada pertengkaran dan sahut-sahutan klakson. Bagaimana membuat itu terjadi?

Pertama, pemerintah harus menggalakkan penanaman pohon di sepanjang jalan kota dan alun-alunnya. Menanam pohon saat ini bukan lagi kebutuhan, tetapi keharusan. Sudah banyak penemuan ilmuwan bahwa bumi kita semakin panas. Bumi semakin panas tentu bukan karena matahari semakin dekat dengan bumi. Tak ada pengaruh bumi semakin panas dengan matahari. Bumi semakin panas adalah justru karena bumi itu sendiri yang sudah mulai bopeng dan kacau di mana-mana. Keseimbangan alamnya dipreteli sehingga kemampuannya untuk memperbaiki dirinya rendah, bahkan nyaris habis.

Ini bisa diibaratkan dengan seorang manusia. Jika pada tubuh manusia dicekoki berbagai makanan, termasuk yang instan, bahkan minuman keras, sudah pasti tubuh kita akan lemah. Memang, dari tampak visual, tubuh kita akan kelihatan sehat karena gemuk. Tetapi, kegemukan adalah tabungan dari penyakit yang mematikan. Tiba-tiba sudah serangan jantung, tiba-tiba kanker, tiba-tiba darah tinggi, tiba-tiba naik gula darah. Kalau sudah terkena penyakit gula akut, maka tubuh sebenarnya tinggal menunggu waktu.

Di samping itu, berbagai penyakit akan semakin menggilai tubuh kita jika tubuh itu tak dibiarkan beristirahat. Kita selalu begadang, misalnya, sehingga waktu istirahat yang mestinya momen yang tepat bagi tubuh memperbaiki dirinya hilang. Pada posisi ini, tubuh akan kering, keropos, dan kurus. Meski pada tubuh itu disuguhkan berbagai makanan, tetapi kalau tubuh itu selalu dibuat sebagai mesin yang harus bekerja keras tiap hari, tubuh akan cekung. Artinya, memanjakan tubuh dengan beristirahat terlalu lama adalah menimbun penyakit. Menyiksa tubuh dengan banyak berkegiatan juga awal dari bencana.

Di sinilah perlu yang namanya keseimbangan. Saat ini, bumi kita sudah sangat tak seimbang. Bumi kita dikuras. Bumi tak diizinkan beristirahat membenahi tubuhnya. Pohon-pohon, misalnya, dibalak begitu saja tanpa ada usaha untuk menanaminya kembali. Walhasil, hawa semakin panas, debu semakin banyak, udara semakin tercemar. Pohon yang mestinya menjadi paru-paru bagi bumi dihabiskan tanpa perhitungan. Bayangkan kalau tubuh tanpa paru-paru! Kurang lebih, beginilah posisi bumi kita sekarang: terkena penyakit paru-paru.

Karena itu, tak ada cara lain mengobati “penyakit paru-paru bumi ini” selain menanami pohon kembali. Menanam pohon berarti mendonorkan paru-paru yang baru bagi bumi. Masalahnya sekarang adalah, di berbagai belahan bumi, lahan semakin sempit. Pedesaan menjadi perkotaan dan hutan menjadi perkampungan, bahkan menjadi daerah industri. Artinya, lahan untuk mendonorkan paru-paru bagi bumi semakin sempit. Tetapi, jangan khawatir masih ada jalan untuk mengatasinya. Bahkan, cara mengatasinya sangat sederhana.

Menjadi Pelopor

Cukup menanam pohon di pinggir-pinggir jalan, di belakang rumah, di pekarangan, maka daerah kita menjadi kota-hutan. Artinya, andai setiap orang di dunia ini peduli dan melakukan penanaman pohon di sekitarnya, bumi ini akan menjadi kota-hutan. Kota, tetapi banyak pohonnya, kira-kira demikian. Sudah pasti karena itu hidup kita akan tenteram. Mengapa? Ilustrasinya begini! Bayangkan kita sekarang berada di sebuah ruangan yang panas dan gerah. Pasti emosi kita tak stabil. Gampang marah, gampang mencaci, gampang tersinggung.

Itu tak terjadi andai ruangan kita sejuk. Suasana hati kita pun akan ikut sejuk. Maksudnya, andai di sepanjang pinggir-pinggir jalan ada pohon-pohon rindang, hidup kita pasti berwarna. Udara sejuk, debu minim, bahkan suara-suara burung di pelukan pohon akan membuat hati kita tenteram. Maka, jadilah di sepanjang jalan kita bertamasya. Berangkat ke kantor dengan bertamasya, pulang dari kantor dengan bertamasya, maka sampai di rumah pun akan membawa kedamaian pada keluarga. Artinya, ada korelasi positif antara menanam pohon dengan kebahagiaan sebuah keluarga.

Kedua, mari kita sepakat bahwa di samping menanam pohon, kita juga menanam pohon-buah, seperti mangga, rambutan, kuini, dan sebagainya. Yang pasti, kalau hanya satu pohon mangga yang ditanam, kita akan berebut. Tetapi, bayangkan jika di sepanjang jalan, di antara dua pohon, misalnya, ada satu pohon buah, masihkah kita berebut? Ini persis seperti yang terjadi di Jepang. Andai hanya satu selokan saja yang penuh ikan koi, warga pasti akan berebut mencari, bahkan mencuri ikan-ikan itu. Tetapi, karena di semua selokan ada ikan, warga membiarkan dan memilih menikmatinya.

Ini pula yang terjadi di Jerman. Ada pengalaman saya yang menggelikan, bahkan memalukan di sana. Waktu pertama keluar jalan-jalan pagi di sana, saya bersama teman-teman dari PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) mengambil buah apel sebanyak-banyaknya dari satu pohon di tepi jalan. Tetapi, ketika berjalan lebih jauh lagi, kami merasa menyesal terlalu “menyiksa” satu pohon apel. Bagaimana tidak, di sepanjang jalan ternyata ada banyak pohon apel. Pantaslah, warga mengambilnya secukupnya karena memang apel itu sangat banyak.

Mereka tak berebut karena buahnya sangat banyak. Andai buah apel itu terbatas, saya yakin, warga pasti akan berebut seperti kami yang berebut karena tak tahu bahwa ada banyak apel-apel lainnya. Mudah-mudahan kota kita menjadi kota-hutan, dan ada kota yang mempeloporinya. Semoga! (*)

*Riduan Situmorang, pengajar di Prosus Inten, aktif di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF).


Sumber: detik.com