Bertabur Prestasi, Perempuan ini Dinobatkan Jadi Pemuda Pelopor Jawa Timur
TAHUN 2014 adalah awal mula karirnya, ia mulai sejak saat masih duduk di bangku sekolah di pondok pesantren Annuqayah. Ia lahir dan tumbuh di antara para petani dan pekebun. Kondisi finansial keluarga serta tingginya tingkat pengangguran di Sumenep membuat ia berpikir tidak boleh ikut menjadi korban. Sejak saat itu perempuan yang memiliki nama Fitria Nurul Imamah dan akrab disapa Fitri ini tergerak untuk melakukan sesuatu.
Nge-craft adalah salah satu hobinya. Ia mengaku suka membuat aksesoris seperti gelang dan kalung untuk koleksi pribadinya. Berlanjut pada permintaan teman-temannya untuk juga dibuatkan aksesoris serupa, ia mulai mencoba promosi di media-media sosial. Niat mulianya berlanjut dengan mewadahi ibu-ibu rumah tangga di sekitarnya untuk juga berkreasi. Bermula dari sekadar bantu-bantu sampai ahirnya benar-benar tertarik untuk bergabung dan mendapatkan penghasilan tambahan berbekal kreatif.
“Pada awalnya cuma satu orang saja, seiring permintaan meningkat, ahirnya bertambah kadang lima, enam, sampai tujuh orang,” tutur aktivis IPPNU ini.
Sebagai modal awal untuk memproduksi aksesorisnya, gadis kelahiran Bilapora Barat Ganding ini, memberanikan diri berhutang ke bank sejumlah Rp 6 juta saat usianya masih 19 tahun. Entah bagaimana dia menguatkan tekad menggadaikan laptop miliknya dan satu laptop milik temannya demi mendapatkan uang Rp 6 juta.
Rupanya uang itu juga digunakannya untuk membeli bahan buku bacaan karena ia bertekad untuk membuka Rumah Baca gratis untuk anak-anak di sekitar rumahnya. Dengan keberanian itu dia pasrah. Puncaknya, perempuan tangguh ini terlilit hutang. “Hari itu berbenturan dengan UAS saat pihak bank menagih saya untuk melunasi. Hari terahir waktu itu. Benar-benar hari mati bagi saya,” kenangnya.
Jiwa tanggungjawabnya yang besar, membuat Fitri tidak ingin memberatkan orangtuanya. “Itu resiko saya untuk tidak membuat orang tua terbebani. Saya meminta orang tua tenang,” tambahnya.
Tepat pada pukul 12.00 Wib, sepulangnya dari kampus, tiba-tiba pertolongan itu hadir. Beberapa pesanan dari berbagai daerah masuk dengan pembelian sebanyak Rp 5 juta. Diantaranya dari Bangka Belitung, Sidoarjo, Riau, dan Jakarta. Pesanan itu juga datang dalam waktu yang bersamaan. “Rupanya, Allah masih menyayangi saya ditengah saya jatuh dan nyaris tidak bisa berbuat apa-apa,” ujar Fitri, melanjutkan.
Lepas dari lilitan hutang, angin segar mulai mewarnai kisah perjalanan karirnya. Rumah baca yang didirikannya mulai dilirik orang sebagai donatur, hingga saat ini setiap dua bulan sekali dia mendapatkan buku dari donatur tetap khusus untuk bacaan anak-anak di rumahnya.
Dinas Pemuda dan Olahraga Sumenep pun mulai tertarik dengan kegiatan pemberdayaan perempuan gemar baca ini. Saat itu kegiatannya sudah berjalan sekitar 2 tahun lamanya. Diajaklah Fitri mengikuti pelatihan kepemudaan bidang pemberdayaan masyarakat (2016). Satu minggu karantina, sebanyak 70 peserta diseleksi untuk mengikuti pelatihan selanjutnya di tingkat Jawa Timur.
Berhasil lolos bersama 15 pemuda lainnya, mahasiswi jurusan Hukum Ekonomi Syariah ini mewakili Sumenep untuk melanjutkan pelatihan tingkat Jawa Timur. Di sana ia ditugaskan untuk meneliti pohon pisang sebagai salah satu sumber daya alam mulai dari akar hingg daunnya.
Melakukan penelitian di tempat pelatihan selama satu minggu mengahsilkan ide untuk membuat krupuk pisang. Kandungan gizi dan manfaat yang kaya, membuatnya terinspirasi untuk membuat krupuk pisang.
Berhasil menjadi juara bidang pemberdayaan alam, dia pun pulang membawa pengetahuan barunya. Rupanya jiwa ekonomis berbanding dengan kreatifitas membuat anak tunggal ini tak ingin menyianyiakan sedikitpun dari buah pisang yang ditelitinya. Ia pun melanjutkan penelitian pada kulit pisangnya.
Rupanya selain banyak manfaatnya, kandungan anti oksidannya lebih tinggi dari daging pisang itu sendiri. Bahkan, pada zaman nenek moyang kulit pisang dijadikan sebagai bahan jamu tradisonal. Fitri mulai berpikir untuk menjadikannya minuman saja, beruntung orang Indonesia khususnya Madura adalah penikmat kopi berat, maka ia berinisiatif untuk membuat kopi berbahan dasar kulit pisang.
“Pertamanya produk ini ditolak konsumen, diejek dan diremehkan,” ceritanya. Tapi tentu Tuhan tidak menyia-nyiakan segala proses. Tahun 2017, mahasiswi semester 7 ini dinobatkan sebagai pemuda pelopor Sumenep bidang SDA. Di tahun yang sama pula, ia kembali terpilih sebagai pemuda pelopor Jawa Timur di bidang yang sama. Tahun 2018 Sumenep kemudian memilihnya sebagai Duta Pemuda kabupaten.
“Alhamdulilah saya bahagia sekali, tapi berat juga. Bahagianya karena mendapat kesempatan yang tidak banyak orang bisa menikmatinya, dapat kesempatan berbaur dengan para pemimpin daerah, bisa ikut acara-acara bergengsi tingkat kabupaten, provinsi, bahkan nasional. Beratnya, karena saya harus selalu memotivasi diri dan tampil perfect di bidang kepemudaan dan itu bukan hal yang mudah. Saya harus siap sibuk, siap berkarya, dan terus menggali inovasi,” akunya.
Ia yang bercita-cita melakukan hal bermanfaat untuk orang lain, menjalani hidup seperti filosofi pohon padi. Semakin banyak isinya, semakin merunduk, telah memberikan sinar terang di desa sekitarnya. Menjadi inspirasi bagi anak-anak, memberdayakan ekonomi masyarkat sekitarnya, dan memberdayakan pendidikan dengan membuka Rumah Baca. Hingga kini, sekitar 11 orang ibu rumah tangga yang menjadi timnya bekerja memproduksi kopi dan aksesoris. (koranmadura.com)