Ironi Desa Membangun Indonesia
ANGKA kemiskinan di pedesaan semakin melonjak jauh melampaui angka kemiskinan di kota. Sebaran angka kemiskinan di pulau-pulau di Indonesia per Maret 2018 menunjukkan keterpurukan masyarakat pedesaan. Jika dirata-rata, angka kemiskinan di perkotaan 6,64 persen, sedangkan di pedesaan 15,45 persen.
Realitas itu menunjukkan ironi tersendiri. Pertama, desa adalah tempat produksi bahan-bahan pangan masyarakat. Sawah-sawah dan kebun pada umumnya terletak di desa. Desa menyediakan sumberdaya alam untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.
Kedua, dalam empat tahun terakhir pemerintahan desa berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diberikan kewenangan lokal berskala desa. Tak hanya sampai di situ, desa juga mendapat dana transfer dari pusat berupa Dana Desa, di samping Alokasi Dana Desa. Jumlah akumulatifnya berkisar Rp 1,2 miliar hingga Rp 2 miliar masing-masing desa sesuai dengan kondisi kemiskinan, luas, infrastruktur, dan tingkat kesulitan medan desa.
Ketiga, pengalokasian Dana Desa secara nasional selalu meningkat signifikan tiap tahun. Pada 2015 dialokasikan sebesar Rp 20,77 triliun, meningkat menjadi Rp 46,98 triliun pada 2016, dan pada 2017 dan 2018 alokasinya kembali meningkat menjadi Rp 60 triliun, dan pada 2019 direncanakan naik hingga Rp 80 triliun.
Keempat, sesuai dengan Nawacita nomor tiga pemerintahan Jokowi-JK, yaitu membangun dari pinggiran, banyak program yang menyasar ke pedesaan, mulai program infrastruktur, pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi, dan lain-lain.
Kelima, pemerintah desa mendapatkan fasilitas tenaga pendamping desa, yang eksistensinya melekat dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pendamping desa ini direkrut, dilatih, dan ditugaskan untuk membantu pemerintah desa menjalankan program-program pemerintah desa agar strategis dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan beserta turunannya yang berlaku.
Jebakan dan Belenggu
Terdapat dua jebakan yang umum didapati dalam pembangunan desa. Pertama, garapan pemerintah desa cenderung mengarusutamakan pembangunan infrastruktur. Alasannya, kegiatan fisik lebih mudah dilihat hasilnya dan bisa dijadikan komoditas kampanye politik desa bagi kepala desa ketika pemilihan kepala desa periode berikutnya. Selain itu, kreativitas pemerintah desa rupanya masih banyak yang perlu distimulasi dengan best practies pembangunan desa dalam banyak bidang di desa-desa yang sudah maju dan mandiri.
Kedua, aturan terkait teknokrasi desa yang menyangkut penyelenggaraan pemerintahan, pemberdayaan, pembangunan, dan pembinaan desa masih sangat rumit. Lebih-lebih persoalan administrasi dalam penyelenggaraan Dana Desa. Banyak pegiat desa yang mengeluhkan aspek ini. Mereka mengatakan, desa sudah diberi kewenangan dan dana namun masih dibelenggu dengan aturan-aturan yang rumit dan menyiksa pemerintah desa.
Pada titik tertentu, hal itu menyebabkan banyak pemerintah desa yang terjebak dalam kerumitan-kerumitan teknis. Potensi dan energi pendamping desa pun terkuras pada masalah-masalah teknis yang sebenarnya bisa diantisipasi oleh pemerintah pada aspek hulunya. Pendamping kemudian hanya seperti hakim garis yang menjadi juru bicara aturan tentang administrasi desa yang rumit.
Potensi pendamping desa untuk bisa menjadi mitra pemerintah desa dalam memunculkan dan mendorong gagasan visioner, progresif, inovatif, efektif, dan efisien dalam desa membangun Indonesia kemudian terbentur dengan ketakutan-ketakutan administratif yang oleh pihak-pihak tertentu sering dikonversi menjadi alat menundukkan desa.
Selain itu, hingga saat ini posisi pendamping subordinatif di bawah kepala desa. Eksistensinya seperti konsultan yang disediakan oleh pemerintah namun tetap harus tunduk pada kepala desa. Pekerjaannya dinilai oleh kepala desa dan untuk mencairkan honornya, timesheet pekerjaan pendamping harus disahkan kepala desa. Ini menyebabkan relasi kepala desa dengan pendamping desa tidak setara. Kondisi ini menyebabkan sulit mewujudkan dialog yang produktif dan menghasilkan gagasan inovatif dan progresif.
Menguatkan Pemberdayaan
Dengan kewenangan dan sumber dana yang memadai, desa sangat mungkin menginisiasi dan merencanakan pembangunan yang substantif, integratif, komprehensif, dan inovatif. Ini memberikan kesempatan kepada pemerintah desa untuk membangun dan menguatkan aspek pemberdayaan dan ekonomi pemerintah dan masyarakat desa melalui penekanan bidang pemberdayaan dan pembangunan ekonomi produktif di desa.
Penekanan pada aspek pemberdayaan dan pembangunan ekonomi desa merupakan pilihan strategis yang bisa memberikan percepatan kemandirian desa dengan meningkatkan pendapatan asli desa. Tingginya pendapatan asli desa (PADes) tentu akan menjadikan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) lebih besar, sehingga pada tahun-tahun anggaran selanjutnya, pemerintah desa dapat lebih leluasa dalam membangun sektor-sektor strategis lainnya, khususnya pembangunan infrastruktur dan pelayanan sosial dasar.
Pemberdayaan masyarakat desa harus dilakukan kepada petani, kelompok usaha produktif dan kreatif dalam kerangka meningkatkan kualitas dan kuantitas produk mereka, berdasarkan keunggulan komparatif maupun kompetitif. Pemerintah desa perlu secara serius membina Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang bergerak dalam bidang jasa promosi, distribusi, dan penjualan produk unggulan masyarakat desa yang telah diberdayakan sebelumnya.
Tentu, BUMDes ini harus dikelola secara inovatif dan profesional. Pemerintah desa melalui BUMDes ini akan menjadi marketer dan sales bagi produk-produk unggulan masyarakat desa. Dengan konsep ini, BUMDes dan masyarakat memiliki hubungan simbiosis mutualisme: ketika masyarakat desa produktif dan inovatif, maka BUMDes tentu memiliki kesempatan luas untuk membangun ekspansi bisnisnya, yang memungkinkan kedua belah pihak sama-sama untung optimal. Sehingga, kekhawatiran BUMDes akan “membunuh” usaha masyarakat desa dapat ditepis.
Kedua, pemerintah desa bisa menjadi motor bagi masyarakat desa untuk melakukan langkah-langkah kecil namun bisa berdampak besar bagi kedaulatan ekonomi desa. Seperti, gerakan menghidupkan pekarangan rumah dengan menanam cabe, sayur, buah-buahan, dan lain-lain yang bisa membantu pemenuhan kebutuhan sehari-hari rumah tangga.
Gerakan kecil ini bisa menekan pengeluaran sehari-hari rumah tangga. Ini bisa menjadi strategi menangkal dampak buruk semakin tingginya harga kebutuhan pokok di pasar. Kegiatan semacam ini misalnya telah dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah desa Karangmelok, Tamanan Bondowoso, Jawa Timur sejak 2016.
Pemerintah desa juga bisa menjadi navigator bagi penyelesaian masalah-masalah produksi masyarakat desa. Ini misalnya dicontohkan pemerintah desa Harjomulyo, salah satu desa di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Di desa yang mayoritas warganya adalah pengrajin krey itu, kepala desa menjadi motor gerakan menanam bambu di belakang rumah dan pinggiran lahan masyarakat khususnya yang di pinggir sungai.
Gerakan ini menyelesaikan persoalan kekurangan bahan baku krey yang sebelumnya banyak tergantung pada bahan baku dari luar desa. Dengan begitu, biaya produksi dapat ditekan. Di bagian hilirnya, pemerintah desa dengan BUMDes-nya bisa memutus mata rantai distribusi barang produk masyarakat desa sehingga bisa meningkatkan penghasilan masyarakat desa.
Langkah-langkah itu secara khusus mungkin bisa menjadi penangkal dampak buruk turunnya nilai tukar petani (NTP) desa dan naiknya harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat desa. Secara umum, langkah tersebut dapat menjadi penguat kedaulatan ekonomi desa. (*)
*Fathor Rahman Jm, dosen IAIN Jember, pendamping ahli Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD) Kabupaten Bondowoso 2016-2017.