Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kebenaran yang Rapuh


SEMOGA
orang Indonesia tidak pernah menganggap bahwa media sosial (Facebook, Instagram, Twitter, dll) adalah sebuah negara (cyber state?). Itulah doa saya setiap kali melihat perdebatan sengit mengenai apa pun (mayoritas, minoritas, pilkada, pilpres, dll) yang dikaitkan dengan negara dan bangsa di media sosial.

Dalam survei yang dikeluarkan oleh Internet World Stats: Usage and Population Statistics, Indonesia menempati posisi 5 pada Top 20 Internet Countries – 2018 With the Highest Number of Internet Users, dengan angka pengguna mencapai kurang lebih 143 juta. Pengguna paling banyak adalah Cina yang mencapai angka kurang lebih 772 juta, sedangkan yang terendah adalah Mesir dengan pengguna kurang lebih 48 juta.

Hampir seperdua penduduk Indonesia adalah pengguna internet, dan mungkin juga sudah bertambah. Fungsi sebagian besarnya sangat mungkin adalah sebagai corong media atas dirinya sendiri (melalui media sosial). Apakah yang separuh itu sudah merupakan indikasi bahwa dalam sebuah negara terdapat negara yaitu negara siber?

Negara siber ini tentunya tidak utuh sebagai Indonesia. Warga negaranya bisa siapa saja dan sulit dideteksi. Namun, topiknya jelas adalah Indonesia –apa pun tentang Indonesia. Atau, kesadarannya adalah kesadaran atas keindonesiaan. Kesadaran ini boleh dibilang adalah kesadaran yang “serba ada”. Warganya bisa sesukanya memposisikan diri dalam memandang segala hal. Selain serba ada juga “serba bisa”. Kesadaran ini artinya kesadaran yang terbuka.

Jika kita mengingat kembali cita-cita Rabindranath Tagore bahwa dunia ini bisa menjadi satu saja dengan pengetahuan dan bebas dari tendensi politik, sepertinya berbanding terbalik dengan negara siber. Kesadaran siber adalah kesadaran atas segala hal yang serba ada dan segala yang serba bisa, dan justru sarat akan politik. Warga siber dimudahkan dengan segala kemungkinan informasi atau teks yang berkelindan (hypertext).

Teks-teks tersebut tersebar dalam bentuknya yang masif, berubah-ubah dalam sekian detik, dan sangat aktif (huruf, gambar, video). Teks-teks dipilih oleh warganya dengan dua kemungkinan, sesuai representasi dirinya atau berseberangan dengannya. Yang pertama menunjukkan keberpihakannya, yang berikutnya menunjukkan oposisinya. Meskipun, keberpihakan itu –atau juga oposisi yang ditunjukkan– bisa berubah pula dalam hitungan detik.

Selain itu, ada satu hal yang menjadi mitos dalam pola kesadaran yang demikian, yaitu kebenaran (truth).

Mitos Siber

Donald Trump pernah dikritik oleh Huffington Post yang menyebut bahwa Trump itu didorong oleh “emosi”, bukan “fakta”, pada saat kampanye pemenangan dirinya. Media tersebut menandai dua kemungkinan atas kesadaran yang berkembang dalam kultur media sosial. Yaitu kesadaran yang didasari emosi, atau kesadaran yang didasarkan pada fakta-fakta. Dua-duanya mungkin juga beriringan.

Apakah dorongan emosi memang lebih besar mendominasi kesadaran ketimbang berusaha menemukan fakta-fakta dan menyajikannya sebagai teks siber? Barangkali tidak semua teks memang didasarkan pada emosi semata yang bisa berujung pada provokasi dan aksi-aksi lanjutan (yang berbahaya). Ada beberapa fakta yang memang sesuai kebenaran di sekelilingnya. Sayangnya, kultur internet yang hiperteks itu tidak kuasa juga menyediakan filter (yang rapat dan baik) untuk membuat klasifikasi-klasifikasi yang jelas mengenai emosi dan fakta tersebut.

Artinya, menemukan kebenaran di dalam lingkaran emosi adalah pekerjaan sulit. Apalagi emosi sudah menyentuh provokasi dan aksi. Apa yang bohong (fake) dalam emosi bisa diterima sebagai kenyataan. Oleh karena itu, membayangkan sebuah negara yang setiap hari tumbuh dan berkembang dengan didominasi oleh emosi, misalnya, adalah hal yang menimbulkan kengerian.

Dunia siber menyediakan kebenaran dalam posisinya yang rapuh. Ia mungkin benar sebagai fakta, tetapi sudah berpijak pada dasar yang emotif (didorong hasrat-hasrat politis yang masif). Apakah sesuatu yang emotif itu selalu merupakan kesalahan besar, dan sebaliknya fakta adalah kebenaran mutlak? Jawabannya tentu bukan pada salah-benarnya dua hal tersebut, tetapi pada posisi politisnya sebagai sebuah teks siber.

Nasionalisme Siber

Kesadaran atas nasionalisme di dunia siber saya kira perlu dipikirkan dengan serius. Saya tentu berpendapat bahwa nasionalisme siber itu perlu, bahkan sangat perlu. Ini perlu (sekali lagi) terlepas apakah media sosial sudah dianggap sebagai sebuah institusi atau representasi dari negara atau belum.

Pertama, nasionalisme siber berusaha mengatasi subjektivitas yang bias (subjective bias). Artinya, subjek-subjek (siapa pun: media, kelompok, personal, dll) haruslah “tunduk” pada semangat keindonesiaan. Apa pun kepentingan subjeknya, haruslah didasarkan kepada kepentingan bersama (Indonesia). Alasannya, yang sering terjadi adalah kepentingan bersama dijadikan alasan untuk kepentingan pribadi.

Kedua, nasionalisme siber berupaya mengatasi budaya emotif (“like“, “love“, “laugher“) dan berbagi (share), tetapi nir-berpikir. Alasannya, berpikir tentang kepentingan bersama yaitu Indonesia masih jauh lebih baik ketimbang secara emosional memenangkan hasrat dan kepentingan sendiri. Selain itu, membagikan teks dengan hasrat dan emosi pribadi hampir pasti berujung kepada pecah belah.

Ketiga, nasionalisme siber berusaha mengatasi angan-angan atau imaji tentang suatu negara dalam representasi hiperteks (kelindan teks). Ketika warganet menganggap bahwa media sosial adalah representasi dari negara, maka imaji atas bangsa terletak pada imaji itu sendiri. Artinya, landasan pokoknya hampir tidak ada selain hanya imajinasi. Oleh karenanya, kita sering berdebat atau bahkan mencibir di media sosial, meskipun kita sama-sama -entah sadar atau tidak- sedang bermimpi di dalam mimpi. (*)

*Joko Santoso, pengamat dan peneliti budaya, media, bahasa, dan sastra; dosen Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta.


Sumber: detik.com