Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Literasi Masyarakat


DI TENGAH
hingar-bingar tensi politik jelang pelaksanaan Pilpres dan Pileg 2019, masyarakat Indonesia diterpa dengan persebaran informasi bohong (hoaks). Tidak hanya itu, isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) menjadi gorengan sedap para Sengkuni di media sosial (medsos).

Dari saking hebatnya peran Sengkuni itu, medsos sudah berubah menjadi lautan fitnah, adu domba dan ajang klaim sebagai sang hamba kebenaran tanpa melihat lagi bagaimana keadaan yang sesungguhnya. Namun demikian, Sengkuni hanyalah mahluk yang sama dengan kita dan mereka. Dan pada akhirnya, Sengkini pun akhirnya akan dikalahkan oleh Pandawa yang secara konsisten membela kebenaran.

Untuk bisa berhasil mengalahkan Sengkuni seperti yang dilakukan oleh Pandawa, masyarakat harus memiliki pemahaman yang luas terhadap perilaku Sengkuni yang sesungguhnya. Hal itu tentu bisa dilakukan dengan meningkatkan litarsi masyarakat. Apa sih literasi masyarakat itu?

Dilihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), literasi dapat dipahami sebagai kemampuan menulis dan membaca. Selain itu, literasi juga dapat diartikan sebagai pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu, atau kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.

Sementara masyarakata adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Jadi, literasi masyarakat adalah kemampuan suatu kelompok untuk membaca, menulis, memahami, berbicara, dan memiliki keterampilan dalam mengolah informasi serta pengetahuan untuk kecakapan hidup mereka.

Dalam survei Central Connecticut tate Uni­versity (2016) tentang Most Literate Na­tions in the World, posisi Indonesia dalam hal minat baca menempati uru­tan ke 60 dari 61 negara. Survei yang juga dirilis UNESCO tentang minat baca masyarakat Indonesia sungguh memiriskan hati. Bayangkan, persen­tase minat baca masyarakat Indonesia ha­nya 0,01 persen. Dengan kata lain perbandingannya adalah antara 10.000 orang hanya ada 1 orang yang ber­minat membaca.

Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) juga pernah melansir hasil survei yang menunjukkan, kemampuan membaca, berhitung, dan pengetahuan sains anak-anak Indonesia masih di bawah negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Vietnam dan Thailand. Dalam survei itu, Indonesia disejajarkan dengan negara-negara miskin di Afrika. Data ini berdasarkan hasil tes The Programme International Student Assessment (PISA) yang dilakukan.

Bahkan, dari 40 negara yang dites, Indonesia berada di posisi paling buntut. Menurut World Economic Forum, tingkat literasi dasar yang perlu dikuasai oleh orang dewasa meliputi kemampuan baca-tulis, literasi numerasi atau berhitung, literasi finansial (keuangan), literasi sains, literasi budaya dan kewarganegaraan, serta literasi informasi teknologi dan komunikasi atau digital.

Ada banyak faktor yang menyebabkan rendahnya minat baca dan tingkat literasi masyarakat Indonesia. Di antara sekian faktor itu, salah satuanya yakni masyarakat Indonesia masih mempertahankan budaya mendengar dan berbicara. Terbukti, masyarakat Indonesia suka mendengarkan pengajian dan khotbah keagamaan, ceramah, orasi politik, dan lain sebagainya. Selain suka mendengar, masyarakat kita juga suka berbicara, termasuk suka gosip dan ngerumpi hal-hal yang remeh-temeh dan kurang bermanfaat.

Jadi, dengan kata lain, bukan budaya baca dan tulis yang populer di masyarakat. Hal itu bisa dimaklumi karena tradisi membaca apalagi menulis dalam sejarah masyarakat Indonesia tergolong budaya yang sangat terbatas cakupannya. Hal itu kemudian menyebabkan masyarakat Indonesia terutama di pedesaan kebanyakan tabu dengan budaya literasi.

Nah, jika masyarakat Indonesia masih saja seperti demikian, Sengkuni modern akan semakin tumbuh subur di negeri ini. Maka untuk membendung kepicikan Sengkuni, Pandawa modern harus menyikapinya dengan melatih diri untuk membudayakan literasi sejak saat ini.

Literasi masyarakat akan sangat bermanfaat bagi kemajuan peradaban. Sebab, dengan menjadi masyarakat yang maju juga akan berdampak bagi tumbuh kembangnya sistem perekonomian, keilmuan, keterampilan dan hal lainnya yang tentu itu sangat positif untuk dilakukan. Semoga! (*)

*Ahmad Fairozi, Pendiri Rumahb Baca Indonesia (Rumah Baca ID).