Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Revolusi Senyap Perdesaan


DESA
bukanlah ruang hampa pengetahuan. Pembangunan telah menempatkan dikotomi desa-kota. Pengklasifikasian “perdesaan” dan “perkotaan” yang tertuang pada Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) No. 37/2010 disematkan pada wilayah administrasi kelurahan, desa, nagari, Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT), dan Pemukiman Masyarakat Terasing (PMT), menjadikan perkotaan sebagai kiblat penanda tipologi.

Perdesaan pun dipandang hanya sebagai antitesis perkotaan. Batasannya, kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan akses pada fasilitas infrastruktur. Di antaranya, akses sekolah taman kanak-kanak (TK), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), pasar, pertokoan, bioskop, Rumah Sakit (RS), Hotel/Biliar/Diskotik/Panti Pijat/Salon, dan persentase rumah tangga pengguna telepon dan listrik.
Sekarang, desa telah tumbuh dengan infrastrukturisasi serta modernisasi. Desa dijelmakan menjadi aglomerasi baru, menarik perhatian dunia luar bahwa desa semakin mengkota.

Guncangan Besar

Guncangan besar tengah berlangsung di perdesaan. Fukuyama (2002) menjelaskan, pembangunan berbasis lokalitas berdampak kompleks. Jika dikaitkan dengan kondisi desa saat ini, pertama, perekonomian meloncat dari kapitalisme rasional menjadi libidinal, melahirkan tata konsumsi yang hiper-rasional. Kedua, revolusi industri melahirkan teknologi baru, komputerisasi, hingga teknologi informasi dan komunikasi. Ketiga, percepatan adopsi globalisasi dalam tatanan lokal.

Perekonomian bukan lagi tentang memenuhi kebutuhan sehari-hari, lebih dari itu konsumsi dipengaruhi oleh hasrat (desire machine). Kapitalisme bukan lagi kalkulasi untung rugi, melainkan hasrat untuk terus produksi, distribusi, dan konsumsi. Peningkatan daya beli menumbuhkan pasar dan pertokoan tersebar jagat perdesaan, bukan lagi dominasi perkotaan.

Kosmopolitan warga desa mengalami hibridisasi. Lumbung padi bermetamorfosis jadi mata uang, barang, dan tabungan. Penduduk usia kerja memilih bekerja formal. Pola bertani yang menyesuaikan musim berubah mengikuti rancangan hasil kebijakan. Menggali keuntungan yang lebih besar dari pertanian, mengikuti pola peningkatan daya beli, berujung pada biasnya ketahanan pangan. Gambaran antara swasembada, kelebihan stok, atau mencukupi kebutuhan pangan dari pasar global.

Pembangunan telah meniscayakan warga mengakses fasilitas pelayanan dasar dengan lebih mudah. Warga desa dimanja dengan membangun pelbagai kebutuhan yang mencirikan kota. PAUD, ruang publik terbuka, kelompok pertokoan, minimarket, hingga membuka desa wisata. Dampaknya, aglomerasi baru memunculkan aktivitas ekonomi lainnya. Bahkan, berdasarkan publikasi statistik Potensi Desa (Podes), keberadaan tempat hiburan pub/diskotik/tempat karaoke dari 393 desa (2011), pelan-pelan menjamah 2.235 desa pada 2014, dan berpotensi terus meluas.

Pada adopsi teknologi, shifting belanja konsumsi dari konvensional menjadi berbasis aplikasi pun terjadi hingga pelosok negeri. Podes 2014 menunjukkan dukungan sinyal telepon seluler mencapai 55.870 desa, menjadi modal awal revolusi industri 4.0 yang ditandai konektivitas manusia, mesin, dan data. Pengguna telepon seluler pun telah menjamur hingga di sudut negeri. Elektrifikasi sudah menjadi kebutuhan, hanya menyisakan 2.519 desa yang belum teraliri.

Keterbukaan media informasi pun menghantarkan modernisasi, seperti mengesampingkan kearifan lokal sebagai penanda kehidupan bersahaja (baca: “ndeso“) seakan layak ditinggalkan. Berbagai kearifan lokal, ritual sedekah alam, larung laut, rumah adat, pakaian adat, tarian, upacara adat, lagu daerah, bahasa daerah, tersisa dalam kegiatan desa wisata serta sanggar seni dan budaya.

Selain itu, adopsi globalisasi hampir menihilkan desa sebagai ruang sumber pengetahuan. Teknologi lokal yang belum diakui secara ilmiah digerus oleh pengetahuan modern berbasis penelitian. Pandai besi, pengatur irigasi, penemu bibit lokal, pandai perahu, pandai bahasa dan sastra, dukun bayi, punden, pandai bintang dan pelayaran, dan berbagai pengetahuan lokal lainnya mulai lenyap. Daya serap modernisasi yang jauh lebih cepat menjadikan penanda lokal lugas ditelan zaman.

Pembangunan desa yang berlangsung secara big bang melipatgandakan aliran bahan alam, manusia, pangan, uang, serta ilmu pengetahuan. Ketegangannya membalikkan struktur sosial menjadi polarisasi sosial. Resistensinya teredam oleh etika, perlawanannya tidak terorganisir, hanya meletup kecil saat menerima perubahan. Inilah revolusi perdesaan, senyap tanpa konflik.

Pemetaan Kebijakan

Perdesaan merupakan ruang penting dalam pemetaan kebijakan. Pelbagai angka statistik kemiskinan, gini rasio, pengangguran, upah buruh, serta informasi statistik lain dipetakan melalui tipologi ini. Sayangnya, evolusi tipologi yang kompleks dan multilapis, pencirian desa-kota semakin tipis.

Pemilahan penanda perdesaan-perkotaan dapat berdampak serius pada sensitivitas pengambilan kebijakan. Menurut data BPS 2018, wilayah perkotaan mencapai 16.317 unit dan perdesaan 67.121 unit. Sementara, jika dibandingkan dengan wilayah administrasi desa/kelurahan sebagai penerima kebijakan, Permendagri No. 137/2017, ada 74.957 desa dan 8.479 kelurahan. Sebagian wilayah administrasi desa pun telah dicirikan sebagai perkotaan.

Bagaimanapun, pembangunan desa telah sukses menekan kesenjangan akses layanan dasar. Selanjutnya, bagaimana peran pemerintah dan masyarakat menjaga budaya lokal tetap lestari. UU No. 6/2014 tentang Desa telah mengakui kembali keberadaan desa adat. Bagaimana menghidupkan kembali penataan, kewenangan, pemerintah, dan peraturan adat sebagai penanda lokalitas yang sekian lama mati suri.

Desa tengah menjawab spirit zaman baru, berganti generasi, melek huruf, rata-rata lama sekolah meningkat, kosmologi kehidupan yang terbentang luas, akses dan mobilitas warga telah malang-melintang ruang tanpa batas. Kontestasi pengetahuan membawa kebaruan di ambang keteraturan sekaligus kekacauan menghantam penanda romantisme pedesaan. Apakah potensi desa ini akan ditegakkan dengan setia, atau tetap meninggalkannya dengan tega? (*)

*Udin Suchaini, fungsional statistisi di Badan Pusat Statistik (BPS).


Sumber: detik.com