Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pilpres Ambisius


BEBERAPA
waktu lalu, saya berjumpa dengan salah seorang tokoh masyarakat. Tanpa basa-basi, beliau langsung ngomong soal Pilpres 2019 yang saat ini sudah riuh. Dukung-mendukung yang berujung pada caci maki di media sosial (medsos) memang semakin intensif jelang pesta demokrasi lima tahunan itu digelar.

Menurutnya, Pilpres 2019 yang saat ini sudah masuk tahapan kampanye tidak menunjukkan geliat etika politik santun yang tergambar dalam Pancasila. Bukan adu gagasan dan program ambisius, malah para elit politik mengumbar ‘perang’ dalam membela masing-masing pasangan calon yang diusungnya.

“Pilpres semakin dekat, kondisi politik semakin tidak jelas dan ambisius tak berdasar,” katanya kepada saya. “Kenapa kok seperti ini?,” tanya dia, seraya menegaskan keprihatinannya kepada saya. “Pilpres ambisius, cocok ya?,” tanyanya kepada saya.

Rupanya, pendapat dan pernyataan tersebut betul adanya. Hal ini diperkuat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang menyebutkan, jelang Pilpres 2019 yang menjadi tren antara tim sukses pasangan capres-cawapres nomor urut 01 dan 02 adalah saling melapor.

“Trennya sekarang ini tim sukses saling lapor di kami. Tentu kami akan sangat hati-hati semua laporan maupun temuan yang sifatnya dari jajaran kami adalah temuan yang sifatnya dari masyarakat adalah laporan,” kata komisioner Bawaslu RI Mochammad Afifuddin di Ecovention Ancol, Jl Lodan Timur, Ancol, Jakarta Utara, seperti dilansir detik.com, Sabtu, 17 November 2018 lalu.

Mungkin salah seorang tokoh yang sedang berbincang-bincang dengan saya tersebut sering nonton berita di TV. Tapi secara pasti, dia mengikuti perkembangan politik jelang pesta demokrasi lima tahunan yang kini dilaksanakan secara serentak.

Saling serang di antara masing-masing tim suksesnya tak lagi bisa dihindarkan. Baginya, (tokoh masyarakat yang berbincang-bincang dengan saya) hal itu boleh-boleh saja, hanya saja, masyarakat Indonesia yang masih awam bisa tertipu dari apa yang mereka dengarkan di TV-TV nasional dan isu yang berkembang.

Sebut saja soal masalah Jokowi yang dituduh PKI misalkan, isu tersebut hari ini perlahan dan pasti sudah mulai hilang dari perbincangan masyarakat di tataran bawah. KH Ma’ruf Amin yang tampil sebagai Cawapres dari pasangan Jokowi yang selalu dikait-kaitkan dengan PKI pun menjadi kandas dan tak bertaring lagi. Salah satu isu tentang PKI dalah kampanye politik yang jauh dari demokrasi santun ala Indonesia. Isu itu begitu kejam digoreng oleh pihak-pihak yang tidak senang dengan pemerintah Jokowi-JK.

Bagi sebagian masyarakat, isu itu sangat berpengaruh, namun pada sebagian lainnya hal itu dianggap biasa-biasa saja. Bagi saya sendiri, hal itu adalah kekejian politik dalam demokrasi yang dilakukan untuk hanya memperoleh kekuasaan semata. Tidak ada pendidikan dan kedewasaan demokrasi sama sekali dalam menggoreng isu tersebut selama ini. Akibatnya, masyarakat kelas bawah yang tidak tau dan paham terbawa emosi dan cenderung melakukan diskriminasi.

Sebagaimana dikatakan Menko Polhukam Wiranto, ada 324 kasus ujaran kebencian yang ditangani serta puluhan kasus terkait hoaks. “Cyber attack, hoaks yang muncul dari teknologi tinggi. Kita lakukan langkah yang nyata menghadapi ini. Sepanjang 2018 kita sudah menangani hate speech 324 kasus dan 152 kasus sudah diselesaikan. Sementara itu ada 53 kasus hoaks dan 30 diantaranya sudah ditangani,” ujar Wiranto dalam paparan 4 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK di gedung Kementerian Sekretariat Negara, seperti dilansir detik.com, Kamis, 25 Oktober 2018 lalu.

Bisa anda bayangkan sendiri, data yang dipaparkan di atas yang berhasil di ungkpa. Bagaimana yang masih diselidiki maupun yang belum terdeteksi? Kemungkinan besar masih banyak dan hal itu dilakukan secara terstruktur dan masif mulai dari pusat hingga daerah-daerah.

Rasa-rasanya, Pilpres 2019 ingin segera dilalui, agar ujaran kebencian dan persebaran berita bohong atau hoaks segera berkahir. Harapan hanyalah harapan, semua ada di tangan masing-masing masyarakat. Jika ingin mengakhiri hal ini, maka haruslah dimulai dari diri sendiri. Pertanyaannya, apakah itu bisa? Wallahu A’lam. (*)

*Ahmad Fairozi, Pendiri Rumah Baca Indonesia (Rumah Baca ID).