Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Benarkah Minat Baca Orang Indonesia Rendah?


Jakarta, Rumah Baca Orid

Menurut survei kelas dunia, orang-orang Indonesia tak suka baca buku. Minat baca anak-anak bangsa ini terpuruk di level bawah. Apa itu kenyataan?

Data-data tentang literasi berikut ini sering diulang untuk menunjukkan parahnya minat baca. Yang pertama, hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) rilisan Organisation for Economic Co-Operation and Develompent (OECD) tahun 2015.

Yang kedua, peringkat literasi bertajuk ‘World’s Most Literate Nations’ yang diumumkan pada Maret 2016, produk dari Central Connecticut State University (CCSU).

Penelitian PISA menunjukkan rendahnya tingkat literasi Indonesia dibanding negara-negara di dunia. Ini adalah hasil penelitian terhadap 72 negara. Respondennya adalah anak-anak sekolah usia 15 tahun, jumlahnya sekitar 540 ribu anak 15. Sampling error-nya kurang lebih 2 hingga 3 skor.

Indonesia berada pada ranking 62 dari 70 negara yang disurvei (bukan 72 karena 2 negara lainnya yakni Malaysia dan Kazakhstan tak memenuhi kualifikasi penelitian). Indonesia masih mengungguli Brazil namun berada di bawah Yordania. Skor rata-rata untuk sains adalah 493, untuk membaca 493 juga, dan untuk matematika 490. Skor Indonesia untuk sains adalah 403, untuk membaca 397, dan untuk matematika 386.

Pada kategori umum ‘performa dalam sains, membaca, dan matematika’ ini, negara yang menempati ranking 1 adalah Singapura dengan skor sains 556, membaca 535, dan matematika 564. Di bawah Singapura ada Jepang dengan skor sains 538, membaca 516, dan matematika 532. Urutan ke-3 diduduki Estonia dengan skor sains 534, membaca 519, dan matematika 520.

Finlandia yang selama ini dipandang punya pendidikan mumpuni ternyata ada pada urutan ke-5. Yang mengejutkan, Vietnam ada pada urutan ke-8 di bawah Kanada dan di atas Hong Kong. Inggris berada pada urutan ke-15 disusul Jerman. Amerika Serikat ada di urutan ke-25.

Pada kategori yang lebih rinci lagi, yakni hanya dalam hal ‘performa membaca’ saja, juaranya tetap Singapura (535), disusul Kanada dan Hong Kong dengan skor yang sama (527), dan Finlandia (526) di urutan ke-4. Korea (517) dan Jepang (516) masing-masing di ranking 7 dan 8. Jerman (509) yang dikenal sebagai negara dengan pemikir jempolan pada abad-abad silam, menduduki ranking 10 pada penelitian 2015 ini. Negeri Paman Sam (497) ada di ranking 24 dalam hal performa membaca.

Bagaimana dengan ranking performa membaca orang Indonesia? Negeri ini ada di urutan ke-44 dengan skor 397, kalah satu poin dari Peru (398). Di bawah Indonesia ada Tunisia (361), Republik Dominika (358), FYROM (352), Aljazair (350), Kosovo (347), dan Lebanon (347).

CCSU: Indonesia ranking 60 dari 61 negara

CCSU merilis peringkat literasi negara-negara dunia pada Maret 2016. Pemeringkatan perilaku literasi ini dibuat berdasar lima indikator kesehatan literasi negara, yakni perpustakaan, surat kabar, pendidikan, dan ketersediaan komputer.

Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara yang disurvei. Indonesia masih unggul dari satu negara, yakni Botswana yang berada di kerak peringkat literasi ini. Nomor satu ada Finlandia, disusul Norwegia, Islandia, Denmark, Swedia, Swiss, AS, dan Jerman.

Korea Selatan dapat ranking 22, Jepang ada pada ranking 32, dan Singapura berada di peringkat ke-36. Malaysia ada di barisan ke-53.

Bagaimana bisa Singapura yang dipandang punya pendidikan unggul namun tidak juara di penelitian ini? CCSU menjelaskan, penelitian ini tidak hanya berbasis pendidikan. Bila saja penelitian ini hanya berbasis pendidikan saja, maka Singapura, Korea Selatan, Jepang, dan China akan berada di peringkat teratas bersama Finlandia. Namun begitu faktor lain seperti ukuran perpustakaan dan kemudahan aksesnya dimasukkan, negara-negara Asia dan tepian Pasifik tersebut langsung melorot peringkatnya. Apapun itu, yang jelas peringkat Indonesia tentang literasi berada di level bawah.

Jangan salahkan anak-anak Indonesia

Inisiator Pustaka Bergerak, Nirwan Ahmad Arsuka, terang-terangan tak setuju dengan cap bahwa anak-anak Indonesia adalah anak-anak yang malas membaca buku. Menurutnya, survei PISA dan CCSU menimbulkan kesimpulan yang salah tentang minat baca orang Indonesia.

“Kawan-kawan di Pustaka Bergerak selalu melihat minat baca dari masyarkat itu tinggi sekali. Begitu disodorkan buku-buku yang sesuai, mereka sangat antusias,” kata Nirwan saat berbincang dengan detikcom, Jumat, 4 Januari 2019 lalu.

Nirwan dan Pustaka Bergerak adalah sosok penting di balik Kuda Pustaka, Perahu Pustaka, Becak Pustaka, atau aktivis-aktivis di pelosok Indonesia yang membawakan buku untuk anak-anak. Metodenya adalah ‘jemput bola’ dalam hal menghadirkan perpustakan ke anak-anak, bukan menunggu anak-anak mendatangi perpustakaan.

Anak-anak tidak membaca buku karena pelbagai faktor. Pertama, akses ke buku sulit. Bila mereka disodori buku-buku yang sesuai, maka mereka bakal senang hati membaca. Ini terbukti ketika tahun 2016, aktivis Pustaka Bergerak masih berusaha keras ‘berburu’ anak-anak untuk mau membaca buku. Namun kini anak-anak pelosok sudah bisa merasakan asyiknya membaca buku, gantian aktivis Pustaka Bergerak yang diuber anak-anak. Tak jarang, anak-anak itu ‘membegal’ aktivis yang berusaha mengedarkan buku pinjaman ke desa lainnya supaya berhenti dulu di desa yang lebih awal dilalui.

“Relawan kita yang mestinya bergerak ke desa B, di tengah jalan di desa A bisa dibegal oleh anak-anak untuk disuruh berhenti. Anak-anak dulu dikejar-kejar, tapi sekarang mereka yang mengejar-ngejar relawan,” kata Nirwan.

Hingga kini, relawan Pustaka Bergerak yang terdaftar berjumlah 15 ribu orang. Jumlah itu dirasa masih kurang untuk ukuran luas wilayah dan jumlah anak-anak Indonesia. Perlu lebih banyak lagi pejuang literasi di pelosok Provinsi Papua dan Papua Barat. Jumlah 15 ribu orang relawan belum mampu memuaskan minat baca bocah-bocah seluruh Indonesia.

“Sangat kewalahan kita. Anak-anak ini kalau sudah menyala rasa ingin tahunya, maka mereka akan kehausan membaca buku,” kata Nirwan.

Faktor kedua yang menyebabkan minat baca Indonesia rendah, yakni bukunya jelek-jelek. Jadi bukan salah orang Indonesia-nya yang malas membaca, tapi salahkan bukunya yang kebanyakan tidak menarik.

“Buku-buku terbitan P dan K (Kementerian/ Dinas Pendidikan dan Kebudayaan) itu materinya tidak menarik, ditulisnya juga tidak menarik, banyak ceramahnya, sehingga malah merusak imajinasi anak,” kritik Nirwan terhadap kualitas ‘buku proyekan’ pemerintah, meski dia mengakui ada pula buku-buku bagus terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Karena buku asli Indonesia kebanyakan tak menarik, maka anak-anak di banyak daerah menjadi gandrung dengan buku-buku terjemahan dari luar negeri yang lebih memikat. Ada bahaya yang membayangi. Anak-anak Indonesia bisa terasing dari lingkungannya sendiri. Nirwan mulai mencermati, banyak anak-anak di daerah yang lebih tahu soal hewan-hewan di belahan bumi lain ketimbang hewan-hewan di lingkungannya. Ini karena mereka kekurangan suplai buku asli Indonesia.

“Anak-anak lebih fasih berbicara tentang beruang kutub ketimbang tentang kuda Sumba. Kalau tentang beruang kutub hingga dinosaurus itu banyak di buku-buku terjemahan, tapi kalau tentang kuda Sumba atau tentang elang Jawa harusnya ditulis oleh orang Indonesia sendiri yang lebih menarik,” kata Nirwan.

Hal ketiga yang dipandangnya berpengaruh terhadap minat baca adalah peran pemerintah. Dia meminta pemerintah menolak anggapan bahwa anak-anak Indonesia itu punya minat baca yang rendah. Dia tak ingin anak-anak Indonesia disalahkan karena minat baca disebut rendah. “Penelitian itu sempat diulang-ulang (OECD dan CCSU) dan bahkan menyalahkan masyarakat, dianggapnya minat baca masyarakat rendah,” ujarnya.

Namun Nirwan sangat berterima kasih ke pemerintah yang telah menjalankan program pengiriman buku gratis tiap tanggal 17 melalui Kantor Pos (PT Pos Indonesia). Program itu sempat terancam berhenti karena persoalan biaya namun akhirnya dilanjutkan kembali oleh pemerintah.

Lewat pengiriman tiap bulan tanggal 17 itu, disebutnya sekitar 300 ton buku lalu-lalang dari dan ke seluruh sudut Indonesia, biayanya rata-rata menghabiskan Rp 700 juta sampai Rp 800 juta. Dia berharap program ini terus berlanjut. Soalnya, program saling kirim buku ke taman bacaan pelbagai daerah mampu menumbuhkan nasionalisme. Anak-anak Papua yang mendapat kiriman buk dari Aceh, atau orang Manado yang mendapat kiriman buku dari Malang, bisa mempunyai bayangan kebangsaan karena saling terhubung lewat buku.

“Orang-orang yang tadinya cuma membayangkan daerah-daerah lain hanya samar-samar, sekarang jadi punya bayangan konkret lewat buku. Ini muncul nasionalisme baru, yakni nasionalisme pustaka,” tandasnya.


Artikel ini telah terbit di detik.com, Sabtu, 5 Januari 2019.