Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Salah Baca Literasi Kita


“Saya tadi minta supaya disediakan satu hari saja untuk kirim buku itu bisa gratis.” (detikcom, 2 Mei 2017).

Para pegiat literasi ingat betul perkataan Presiden Joko Widodo tersebut. Ceruk kemudahan telah dibuka. Kirim-mengirim buku tidak lagi mahal. Tiap tanggal 17, pencinta buku merayakan literasi dengan membawa buku berkilo-kilo ke Kantor Pos untuk dikirim ke pelosok Nusantara. Semua gratis. Semua bergembira. Semua bersorak. Walaupun hanya sehari dalam sebulan, program pengiriman gratis ini berjalan lancar. Banyak yang bergerak. Banyak yang mengambil peran.

Implementasi itu telah berjalan setahun lamanya. Ini langkah “revolusioner” yang telah dilakukan pemimpin tertinggi di negeri yang konon tingkat baca masyarakatnya tersungkur di nomor 61 dari 62 negara. Sebelum ada pengiriman buku gratis, biaya kirim lebih tinggi daripada harga buku itu sendiri. Cek saja berapa biaya pengiriman dari Jawa ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, NTT. Mahalnya minta ampun.

Kirim gratis ini hanya teruntuk komunitas literasi yang terdaftar di Pos Indonesia, seperti Pustaka Bergerak Indonesia (PBI) dan Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Sejak pengiriman buku gratis pada 20 Mei 2017 hingga 17 Juli 2018 sudah lebih 200 ton buku tersebar ke penjuru pelosok Indonesia.

PBI dan TBM tidak memonopoli program pengiriman buku gratis ini. Mereka diberi kepercayaan, sebab mereka aktif membawa buku ke masyarakat bawah, bergerak masuk ke desa-desa, gang-gang, dan hutan-hutan. Mereka banyak berkabar di media sosial, khususnya di Facebook.

Bagi kalangan tertentu, Facebook adalah media sosial yang mengganggu aktivitas membaca. Berbeda dengan pegiat literasi ini, Facebook adalah ruang mereka untuk berbagi pengalaman, berbagi aktivitas, berbagi buku, dan pastinya berbagi bahwa mereka kekurangan buku berkualitas. Memang, semestinya dua medium ini tidak boleh dibenturkan. Sebab, Facebook/Instagram/Twitter punya peran sendiri, dan buku juga demikian.

Saya adalah salah satu dari jutaan anak bangsa ini yang mengalami kekurangan bacaan. Pulau Paisubebe, Kabupaten Banggai Laut, Provinsi Sulawesi Tengah adalah tempat saya dilahirkan. Saya tidak tahu bagaimana wujud buku itu; yang saya tahu, buku adalah buku tulis cetakan Sinar Dunia. Saya tidak tahu mana buku fiksi dan nonfiksi; yang saya tahu hanya mata ajar IPA, IPS, Matematika, dan mata ajar lainnya.

Kabupaten Banggai Laut tidak memiliki perpustakaan daerah. Ada kios buku, namun yang dijual adalah karya Fredy S, Teka-Teki Silang, dan Buku Panduan Salat. Namun, Ibu Mardia Abdul Karim (ibu dari sastrawati Erni Aladjai) terdorong membuat perpustakaan alam, yang disebut Bois Pustaka. Bois adalah keranjang pangan Suku Banggai yang terbuat dari anyaman rotan dengan tali dari kulit kayu. Bois digunakan untuk mengangkut ubi, sayuran, kayu bakar dan buah-buahan, dan daging kelapa.

Ibu Mardia mengubah fungsi Bois yang tadinya membawa bahan-bahan dari kebun, beralih membawa buku-buku ke anak-anak. Mereka menyambut buku-buku itu dengan senang hati. Bois Pustaka adalah bagian dari jejaring Pustaka Bergerak Indonesia sehingga mudah mendapatkan donasi dari penggiat literasi yang tinggal di kota.

Bukan minat baca kurang dan keterbatasan perpustakaan, tapi masalahnya adalah tidak ada buku-buku di sekitar kita. Perpustakaan itu adalah tempat buku-buku. Tidak ada buku, tidak ada perpustakaan. Dengan maraknya pegiat literasi di daerah-daerah, perpustakaan tidak lagi terkungkung di ruangan, yang kadang membosankan. Perpustakaan telah berubah menjadi taman bermain yang menyenangkan. Mereka baca buku di dermaga, di pantai, di pohon, di kapal, di perahu, di kereta, di mobil, dan di tempat-tempat menyenangkan lainnya.

Kita terjebak dalam bayang-bayang The World’s Most Literate Study (2016) bahwa minat baca masyarakat Indonesia rendah. Bayang-bayang itu semu. Tidak nyata. Tidak konkret. Padahal, sebenarnya anak-anak Indonesia mencintai buku. Saya menanyakan langsung kepada Nirwan Ahmad Arsuka (selaku pendiri PBI) tentang minat baca di Indonesia. Menurutnya, “Jika pemerintah menganggap minat baca di Indonesia rendah, PBI menganggap minat baca masyarakat sebenarnya tinggi, tapi akses pada buku yang bermutu justru sangat rendah. Jika akses terhadap bacaan bermutu diperbaiki, minat baca akan dengan sendiri meninggi.”

***

Selain penyedia buku, menjadi peran utama dalam hal penguatan melek literasi pada anak adalah orangtua. Saya mengambil sampel dari buku Dongeng Panjang Literasi Indonesia (2017) karya Yona Primadesi. Yona berkisah tentang bagaimana ia mendekatkan buku pada anaknya, Abinaya Ghina Jamela (Naya). Pada awal, Yona bekerja ekstra memperkenal buku pada anaknya, sebab Naya sudah kecanduan game dan gawai.

Anak semestinya tertarik dengan sendiri terhadap dunia bacaan, jangan dipaksakan. Kesadaran itu harus keluar dari anak itu sendiri. Bila ada paksaan dari pihak lain, mereka tidak akan peduli pada bacaan. Lalu, bagaimana mendekatkan mereka dengan buku?

Menurut Yona, “Awalnya, ketika sedang tidak melakukan apa-apa, Naya akan memilih untuk menonton, bermain handphone, atau ngomong-ngomong konyol. Lantas, kami coba mengenalkan aktivitas baru, yaitu baca. Naya langsung tertarik? Tentu saja tidak. Tetapi, ada semacam arahan dan instruksi terselubung yang tanpa disadari Naya menggiringnya untuk memilih, menyukai, dan melakukan aktivitas baca tersebut secara kontinu.”

Dengan konsisten dan metode pembelajaran yang tepat, Yona berhasil mendidik anaknya. Naya sudah menerbitkan dua buku: Resep Membuat Jagat Raya (2017) dan Aku Radio bagi Mamaku (2018).

Yang menjadi masalah di sini adalah kekurangan bacaan anak-anak. Memang ada beberapa buku anak, tetapi buku anak itu ditulis oleh orang dewasa. Orang dewasa dalam banyak buku anak menggambarkan hubungan mereka dengan anak-anak dalam bahasa egois. Mereka paling tahu tentang masa kanak-kanak.

Bolehkah kita bertanya, sebutkan sepuluh buku anak yang wajib dibaca oleh anak-anak? Semoga ada. Saya kutip tulisan Haksan Wirasutisna, Beberapa Pikiran Mengenai Pameran Buku Kanak-Kanak dalam Majalah Basis, Th. IV, No. 1, Oktober 1954:

“Apakah faedahnja membatja untuk kanak-kanak? …sesungguhnja membatja itu bukanlah merupakan tudjuan pada hakekatnja. Ia adalah djalan untuk mempeladjari teknik membatja. Tetapi membatja itu adalah suatu alat, jakni alat untuk memperkaja hidup (levensverrijking), tetapi djuga alat untuk mengetahui tentang hal-hal jang kita menaruh minat padanja. Sebab kanak-kanak pada umumnja ingin membatja tentang perkara-perkara jang dapat menarik perhatiannja atau dapat membangkitkan minatnja terhadap sesuatu hal. Mereka atjapkali tidak mengetahui, bahwa ada banjak sekali ditulis buku-buku tentang bermatjam-matjam soal.”

Ketika kegiatan membaca telah menjadi candu, maka ihwal membaca dunia tidak terelakkan lagi. Sebab, pada prinsipnya anak-anak itu mau belajar, mau menjadi cerdas, mau diajak berpikir, dan siap menjadi manusia kreatif. (*)

*Safar Banggai esais, bergiat di Komunitas KUTUB Yogyakarta.


Artikel ini telah terbit di detikcom, Rabu, 16 Januari 2019.