Rumah Tua
ENTAH, sudah berapa lama ibu tua duduk di kursi kayu dari pohon jati berukir itu, pantatnya yang tipis berkali-kali digerakkan, bertanda sudah cukup lama ibu tua merenung, di manik matanya tergambar anak-anaknya yang lucu 40 tahun silam. Setelah melongok jam dinding, jarum-jarum itu telah berhenti di angka 11:04, hampir tengah malam.
Mata ibu tua ditarik oleh pigora besar berwarna cokelat di depannya. Foto suaminya, Galuh, Nurma, dan Ibu Tua. Masa kecil Galuh yang diambil tukang foto keliling kala itu, di pigora besar itu Galuh masih kelihatan lugu, rambutnya ikal semi pirang persis seperti warna rambut bapaknya. Sedangkan Nurma masih dalam timangan ibu tua, tanpa ekspresi.
Dalam lamunannya yang hangat, seketika rasa kesepian kembali merayap ke seluruh tubuhnya, matanya pelan-pelan mengamati isi rumah, dipandanginya daun pintu depan yang lebar, kelambu jendela yang berlapis, foto-foto yang dibingkai bermacam pigora, dindingnya berwarna cream dengan atap tinggi menjulang, dipadu dengan lampu gantung kristal eropa berwarna kuning emas. Rumahnya yang megah, namun lengang.
Di luar rumah, bulan berbentuk perak timbul dan tenggelam dari awan yang berkejaran, di tirus pipi ibu tua air matanya membentuk sungai kecil yang seperti hafal rute jalan, Ibu tua menangis hampir setiap saat, tiap malam, tanpa alpa.
Ibu tua berdiri, berjalan ke arah cermin besar yang menggantung di samping etalase pot bunga, ibu tua mengaca, dalam bayangannya di cermin dia melihat ibu tua waktu muda dulu, ibu tua yang masih sehat, ibu tua yang harus segera ditinggal suaminya dalam keadaan Nurma berumur 3 tahun, lalu banting tulang, berjualan kecambah urap dan cendol untuk menghidupi kedua anaknya, menjajakan dagangannya dari desa ke desa yang lain, berangkat pagi pulang hampir gelap. Kedua anaknya dititipkan ke tetangga secara bergantian, kadang jika nahas hujan turun tak kunjung reda, ibu tua terpaksa numpang berteduh dari rumah ke rumah lainnya sampai hujan berhenti, dan ibu tua hanya dapat memandangi raut wajah anak-anaknya di langit sembari membayangkan bunyi kilat dan guntur yang gemuruh adalah suara anaknya yang ingar di dalam rumahnya.
Malam semakin larut, ibu tua merebahkan badannya pada sofa bed berwarna abu, mengirim pesan pada alam bawah sadar agar kantuknya segera dijemput, namun nihil, semakin ibu tua memaksa memejamkan mata semakin pula dia kecewa, pikirannya masih melayang pada kedua anaknya di rantau, di tempat yang jauh.
Belakangan ibu tua mendapat cara untuk mengelabuhi kesendiriannya, dengan beralasan tv di rumahnya sedang rusak ibu tua numpang di rumah Mukri. Di rumah Mukri ibu tua seperti hidup kembali, seperti memandangi suami dan kedua anaknya dalam pigora besar yang tergantung di dinding ruang tamunya, ketika memandangi istri Mukri yang sibuk membuatkan teh untuknya, ibu tua seperti sedang memandangi Nurma, anak gadisnya yang sudah bersuami di rantau sana. Ketika melihat anak lanang Mukri sedang main mobil-mobilan, di otaknya sosok galuh seperti mengendap secara utuh, Galuh yang gagah, yang perangainya akan menggantikan sosok bapaknya. Dalam setengah kesadaran, ibu tua menyadari kedua anaknya sudah tak terjangkau tangan dan matanya, bahwa setiap keinginan harus tetap tinggal menjadi keinginan, anak-anaknya sudah membangun dunianya yang baru, bersama keluarga-keluarganya yang baru, di rantau sana, di antah-berantah.
Bangun pagi-pagi, di halaman rumah ibu tua pohon-pohon belimbing, lengkeng, dan jeruk nipis tumbuh lebat, daun-daunnya yang rimbun masih basah oleh embun tadi malam. Cericit burung pipit masih terdengar nyaring dari pohon-pohon kelapa di samping rumahnya, sesekali hinggap ke ranting belimbing di depan rumah ibu tua, burung sejenis pemakan biji-bijian itu lari berhamburan ketika melihat ibu tua keluar, mengambil sapu lidi dan menyapu halaman. Selesai menyapu ibu tua bergegas berangkat ke pasar. Di langit timur, matahari masih berbentuk sepotong kubis, sinarnya masih hangat menyentuh kulit, sampai di pasar ibu tua melihat suasana yang sangat kontras dengan suasana di rumahnya, dalam bayangan ibu tua orang-orang di pasar seperti ikan-ikan dalam akuarium, bermacam warna dan bentuk, ada komet, koki, sumatra, molly, layar, dan cupang. Semuanya berbaur, sesekali berpapasan saling mengernyitkan alis lalu pergi seperti gelembung yang timbul tenggelam dari aerator dalam akuarium.
Pulang dari pasar ibu tua hanya mendapati celengan rindu pada anak-anak di dadanya semakin bertambah. Di pasar, Tutik penjual langganannya banyak bercerita tentang Galuh dan Nurma, Tutik sering berinteraksi dengan mereka lewat media sosial, Nurma yang badannya kini sedikit berisi, rambutnya dipotong sebahu, dia sering foto bersama anak dan suaminya, senyumnya lebar, giginya yang gingsul menambah kecantikannya berkali-kali lipat, Nurma sangat bahagia, Katanya. Kalau Galuh sering foto di ruangan yang bagus, dibelakangnya lukisan bunga sepatu di letakkan di pigora besar, kadang foto barsama teman-temannya yang sama-sama memakai kemeja putih dan berdasi, Galuh sangat gagah. Tutik ikut sumringah menceritakan anak-anak ibu tua, Setiap bertemu Tutik, tak ayal ibu tua selalu mendapat sumpah keberuntungan yang diulang-ulang, dengan nada yang sama. Beruntungnya engkau Buk.
Matahari secara samar membuat bayang-bayang setengah badan, dalam perjalanan pulang ibu tua sedikit mempercepat langkah kakinya, seperti berjalan di antah-berantah, telinga Ibu tua tuli walau sesekali berpapasan dengan orang-orang yang dikenalnya, dia hanya menatap sayu lalu bergeming.
Bukan main, Mukri tergopoh-gopoh membuka pintu pagar rumah ibu tua, mendengar kabar dari Pak RT bahwa ibu tua hendak mengontrakkan rumahnya, seperti diterpa kebingungan Mukri ingin segera mendapat penjelasan pasti, benarkah kabar yang didengarnya, dalam kepalanya Mukri menebak-nebak kebangkrutan Galuh dan Nurma, atau mereka kerampokan atau pula kecelakaan, atau…
Dalam kebingungan akhirnya Mukri mendapati ibu tua sedang duduk di kursi kayu belakang rumahnya, tubuhnya tipis, punggungnya yang bungkuk semakin menampakkan usianya yang lanjut, ibu tua sedang menatap pagar batu yang telah berlumut hitam, matanya sayu, kosong. seperti setengah sadar ibu tua tidak merasa kehadiran Mukri di sampingnya, kecuali setelah Mukri menyentuh pundaknya.
Ibu tua sudah menyangka bahwa Mukri sudah mendengar kabar itu, mulut ibu tua komat-kamit memberi penjelasan, wajah Mukri berkerut, lalu dengan tanpa pertimbangan Mukri seperti terhipnotis oleh kata-kata ibu tua, wajahnya perlahan lentur, mungkin itu yang terbaik. Batinnya, Mukri tidak bisa berbuat apa-apa.
Sudah satu bulan lebih ibu tua meninggalkan rumahnya yang megah, yang segala peralatannya lengkap dan mewah, pulang ke rumah muasalnya, rumah tua yang menjadi saksi kelahirannya bahkan kedua anaknya, rumah tua dari kayu jati yang masih kokoh seperti menantang zaman, rumah kecil peninggalan moyangnya secara turun temurun, tak ada kamar khusus, ruang tamu atau dapur secara terpisah seperti di rumah megahnya dulu. Semuanya berada dalam satu ruangan, hanya dipisah gedek. Di halamannya tidak ada pagar, hanya hamparan tanah kering yang membentang luas, di samping rumahnya pohon bambu menjulang tinggi, berdempet dengan pohon jati yang ranggas, cat kayu yang ngelupas pudar menambah kesan rumah tua yang lama tidak ditempati.
Semenjak Galuh dan Nurma menolak untuk membiarkan salah satu anak-anaknya tinggal dengan ibu tua di kampung, dengan alasan lingkungan dan pendidikan yang kurang mendukung, ibu tua seperti memulai kehidupan baru, segala aktifitasnya serba baru, sangat kontras. Di rumahnya kini tidak didengarnya lagi bunyi lonceng jam dinding kecuali kokok ayam yang membangunkannya, tidak akan kenyang perutnya sebelum tungku mengepulkan asap, mencari rumput di ladang, mandi dan mencuci di sungai. Segala aktifitasnya lebih padat dan terjadwal. Begitu setiap saat. Semua itu ibu tua lakukan agar lebih bisa menyibukkan diri, segala pekerjaan harus melibatkan otot, dengan begitu ibu tua semakin punya sedikit waktu untuk meratapi nasibnya yang kurang berutung, dan jika malam jatuh kantuk akan segera bertamu, sebab lelah bekerja seharian matanya lebih cepat mengatup. Di luar rumah, bunyi burung kowak saling bersahutan seperti menggiring mimpinya menaiki undakan ke langit.
Kokok ayam kesekian, ibu tua bangun, kali ini tidak bergegas cuci muka lalu ke dapur, sedikit beda. Ibu tua membuka jendelanya yang kecil, berdiam lama disana, ditatapnya halaman yang masih remang, di telinganya kokok ayam, cericit burung gelatik dan bunyi sapi adalah ritme pagi yang sangat akrab dengan kepala ibu tua. Dalam lolongan sapinya yang kesekian ibu tua tersentak, tersadar pekerjaan-pekerjaannya belum satupun dikerjakan, seperti biasa dimulai dari dapur, lalu ke ladang, lalu ke sungai, lalu…
Matahari sudah bulat utuh seperti serabi dalam mangkok, tersebab kemarau yang panjang daun-daun jati dan bambu gugur berkali-kali, tak kenal siang malam, bunyinya yang khas ketika membentur genting menambah daftar ritme di kepala ibu tua. warnanya kuning ujung-ujungnya terbakar, lalu menyatu dengan tanah yang terpecah-pecah. entah hujan seperti lupa jalan pulang.
Siang itu ibu tua hendak ziarah ke makam suaminya, membawa yasin dan segumpal cerita yang beku di dadanya, prihal Nurma dan Galuh. Hanya dua nama itu. Sampai di pusara suaminya, matanya menggenang, lalu memejam sangat lama.
Dalam perjalanan pulang, beberapa kali ibu tua berhenti di bawah dahan pohon jambu mawar yang tumbuh liar, terdengar burung pipit berkejaran, hinggap ke dahan, dari hentakan kakinya yang kuat buah-buah jambu mawar jatuh berserakan.
Sampai di rumahnya angin berhembus pelan menyentuh bulu mata ibu tua, gesekan pohon bambu menggiringnya ke dalam rumah menuju dapur mengambil segelas air, tiba-tiba dalam telinganya terdengar berisik anak-anak berlarian di luar rumah, seketika jantungnya berdenyut sangat kencang, tangannya gemetar, tertatih-tatih ibu tua tarik gagang pintu tuanya, di depan mata ibu tua Galuh bersama istri dan anak-anaknya tersenyum lebar kepadanya, beberapa kali ibu tua hentakkan kakinya ke tanah. Sore itu, seperti ada yang pecah di dadanya, bertambahlah daftar ritme di kepala ibu tua, suara cucunya yang menggemaskan menjadi daftar terakhir yang akan diabsennya setiap hari.
Masih segar ucapan Galuh di kepala ibu tua, Galuh lupa bahwa Galuh kecil dulu tumbuh di kampung, akrab dengan tanah liat dan lingkungan pendidikan yang serba terbatas, lalu kenapa dia bisa digdaya saat ini, bukankah setiap manusia sama, harus mempunyai keyakinan dan tekad yang kuat untuk mewujudkan mimpi-mimpinya.
Sebelum kembali ke rantau, dipandanginya dalam-dalam mata Galuh, dari mata anak lanangnya itu, ibu tua samasekali tak menemukan kebimbangan setelah melepas anak gadisnya tinggal bersama neneknya di rumah tua. (*)
*Hayyi Zawair, bisa disapa melalui Instagram @yzawair__