Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Puisi-puisi Tino Watowuan: Dari Burung dalam Kepala hingga Mata Ibu


Burung dalam Kepala

Setiap kita memiliki burung-burung
yang hinggap di kepala masing-masing
Ada kecil, sedang, dan juga besar

Pergi bersama burung-burung
mengitari langit mematuk cahaya
Tak jarang bulu-bulu basah
Bahkan sering rontok
saat hujan dan terik tiba menghalau

Genggamlah selalu burung-burung itu
ia mesti tetap berkicau dalam kepala
Menggapai langit mematuk cahaya
selama kepala belum mengecup liang

Kb, 2021

Burung-Burung di Udara

Kita sekawanan burung yang terbang itu
mengais perut kenyang entah di mana
Ke mana saja sayap mengepak kembara
sekali tempo akan tiba kepada sangkar
Adalah tempat pulang paling tunggu

Kb, 2021

Saat Burung Kesepian

Seekor sepi telah bertengger
pada reranting waktu
Seorang pria menjelma burung
terbang ke dalam sangkar

Komat-kamit burung itu bertelur
Kemudian mengeram bebutir kata
dan menetaslah telur-telur puisi

Dilahapnya dalam sunyi
Setelah itu ia turun kembali
sambil mengepak kenyang di dada

“Hai, sesunyi apa kesepianmu?”
Tanya seorang perempuan
yang baru saja melihat sebutir telur
menggelinding di dinding maya

“Jilatlah sehabis-habisnya telurku itu,
nanti kau pun akan mengerti”

Kb, 2021

Memetik Puisi

Di atas tanah tumbuh biji-biji diksi
yang telah ia semai dari tangan puitik
bersama embun imaji menetes sunyi
saat fajar masih sibuk menyabit pekat

Kini tiba waktu memetik bebulir puisi
yang telah menguning di rumpun pepadi
Sebagaimana seorang yang memanen
bait-bait ranum pada helai-helai kertas

Mereka adalah sama-sama penyair
menulis di atas lahan masing-masing

Kb, 2021

Mata Ibu

Semenjak engkau tiba di sini
ada matahari bertengger di matanya
Menerangi matamu yang masih pagi

Ketika engkau masih gagu mengunyah kata
ada kobar api membara di matanya
Kebodohanmu perlahan menjadi hangus

Lalu di telaga matanya ada mata air
Kau cedok membasuh dahaga perjalanan
pada batang usia yang belum usai

Kb, 2021


*Tino Watowuan. Lekaki penikmat kopi. Sekarang ia betah di kampung, Adonara, Flotim, NTT. Beberapa puisinya yang lain masih berserakan di atas meja belajarnya yang hampir keropos.