Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pandemi, Media dan Chaos


Oleh: Latif Fianto (*)

Apa yang ditawarkan media di tengah pandemi selain kabar kematian dan kekacauan informasi? Bagi saya sudah sangat pasti, media dalam berbagai bentuknya, menawarkan keberagaman informasi yang begitu kaya. Namun demikian, kekayaan yang dikandungnya masih perlu diverifikasi: mengandung kebenaran atau malah mengendali-sesatkan pikiran masyarakat.

Realitas yang disuguhkan media dalam bentuk laporan jurnalistik senantiasa membawa kabar dari ruang-ruang yang tak terjamah oleh mata telanjang. Kabar tersebut boleh jadi kegembiraan atau kegetiran, terlebih lagi di sepanjang pandemi corona yang melanda manusia sejak tahun 2019 lalu. Berbagai informasi berseliweran tidak hanya di halaman-halaman koran, layar kaca televisi, dan di meja siaran, tapi juga, yang paling masif dan seakan tidak bisa dibendung, di berbagai platform media sosial.

Dari sekian banyak hal yang sampai pada kita, informasi-informasi tersebut bisa jadi berupa paparan sebuah gagasan, perspektif para ahli, atau di lain waktu muncul dalam bentuk laporan-laporan realitas bencana kematian yang tak bisa dihindari. Lebih dari sekadar perasaan nyaman dan tenang, di halaman berbagai media setiap waktu kita disuguhi kabar ketakutan, kepanikan, dan terutama kematian yang tidak memiliki kewibawaan sama sekali di hadapan corona.

Dalam titik ini, kita bisa menelisik realitas yang dibangun tidak hanya oleh media massa atau media sosial, tapi juga yang dihadirkan oleh realitas itu sendiri. Mulai dari pemerintah yang melihat pandemi ini sebagai bahan bercandaan di hadapan wartawan, menganggap corona tidak bisa hidup dan bertahan di cuaca Indonesia, hingga akhirnya, setelah serangan varian Delta, mengakui betapa begitu sulit mengatasi corona dan menimpakan kesalahan pada masyarakat yang katanya begitu mudah melempar keritik pada pemeritah. Mengenai ini, secara khusus Ronny Agustinus, penulis Macondo, Para Raksasa, dan lain-lain hal, berkomentar, seandainya dari awal pemerintah tidak menjadikan corona sebagai bahan bercandaan dan tidak menempatkannya sebagai kenyataan yang jauh dari kebenaran, tidak akan berakibat sangat buruk sampai-sampai harus memberlakukan program PPKM darurat.

Itu belum kabar yang muncul dan tersebar dari telinga ke telinga masyarakat awam, yang percaya pada bahwa bencana ini bagian dari rekayasa para elit. Atau dalam waktu yang lain, mereka menganggap remeh wabah ini karena bisa ditangani dengan cara yang begitu mudah. Dengan hanya menghirup minyak kayu putih, memakan bawang putih, atau hanya meminum air kelapa. Di satu sisi kabar-kabar tersebut dapat memberikan ketenangan dan tidak terlalu menciptakan ketakutan yang begitu dalam di hati masyarakat. Namun di sisi lain, kabar-kabar tersebut juga membentuk sikap angkuh di hadapan realitas dan pelan-pelan begitu panik ketika kematian-kematian semakin mendekat ke dalam lingkaran hidup mereka.

Yang terbaru, misalnya, pernyataan Louis Owien tentang pasien Covid-19 yang meninggal bukan karena virus corona, tapi karena terlalu banyak diberi obat dokter. Beberapa orang setuju dengan pernyataan Louis Owien dan diam-diam menjadi pengikut dan menyebarkan gagasan-gagasannya dengan penuh kepercayaan diri. Di luar pernyataan Louis Owien, beberapa kalangan masyarakat percaya, kematian yang datang kepada orang-orang yang terserang virus corona sebenarnya bukan dipicu oleh virus tersebut, melainkan karena memang sudah dijemput malaikat Izrail. Dua narasi ini mengindikasikan betapa virus corona dipandang sebagai bukan bencana yang mengancam hidup dan kehidupan manusia, yang berarti tidak jauh berbeda dengan virus-virus lainnya. Pilek atau radang paru-paru, misalnya.

Membaca laporan-laporan jurnalistik tentang virus corona dari awal kemunculannya hingga penerapan PPKM Darurat yang semakin mencekik leher masyarakat kecil maupun kabar-kabar parsial yang tersaji di berbagai media sosial, kita bisa melihat bukan saja komunikasi satu arah tetapi juga interaktivitas yang sangat intim. Satu pihak melaporkan atau menyampaikan sesuatu, dan pihak lainnya menerima. Atau di waktu yang lain, masing-masing pihak berlomba-lomba bertindak sebagai produsen dan konsumen informasi secara bersamaan.

Setiap pihak menemukan kebebasan untuk memproduksi dan mendistribusikan informasi dari bahan-bahan parsial yang belum bisa ditentukan validitasnya. Potongan-potongan informasi ini setidaknya memiliki dua kemungkinan: bahwa mungkin saja dalam informasi yang berjubel dan mengalami obesitas tersebut terdapat setidaknya dua garis yang saling membelakangi. Dua narasi yang berlomba untuk saling menenggelamkan, antara kebenaran dan kebohongan, yang ditulis dan yang terbaca, yang dilaporkan dan yang tersembunyi. Bahwa kebenaran atau kebohongan, keadilan atau instabilitas, seluruhnya berada dalam letupan informasi yang tumpang tindih dan kacau. Kita tahu dari kenyataan yang dihadirkan berbagai media betapa informasi bukan saja mengalami polarisasi, tapi sudah bergerak menciptakan chaos.

Informasi yang pada mulanya sebentuk cara pandang tentang dunia, kini mulai menjelma kacang yang lupa pada kulitnya. Informasi yang pada mulanya berangkat dari realitas sosial masyarakat tidak lagi menjadi representasi dari dunia, tapi menjadi sebuah dunia otonom, kata Yasraf Amir Piliang, yang bertindak dari dan untuk informasi itu sendiri (information for the sake of information). Informasi virus corona mengalami pengembangbiakan dan hidup layaknya manusia. Tumbuh, bergerak, berketurunan, dan mati atau sengaja dihidup-matikan sesuai kepentingan yang hendak dicapai.

Tidak hanya dilahirkan, tapi informasi juga mampu melahirkan dirinya sendiri hingga pada gilirannya memangsa kita yang menciptakannya. Informasi virus corona berbalik mengendalikan kita hingga kita terjerengkang ke dalam ketakutan yang paling terpuruk. Kekacauan informasi yang meletup dan menghambur ke segala penjuru arah mengendalikan pikiran dan memprorak-porandakan sendi-sendi kehidupan. Masyarakat tidak lagi percaya pada data dan realitas. Mereka lebih yakin dan percaya pada omongan-omongan yang keluar dari mulut orang-orang yang dikultuskan. Perekonomian terjengkang akibat serangan virus corona dan, belakangan, PPKM darurat yang diberlakukan pemerintah.

Di abad ini, ketimbang merasakan keberaturan, kita lebih percaya bahwa kita sedang berada di tengah kondisi ketidakpastian, ketidakberaturan, dan kekacauan (disorder). Kita tidak hanya digiring ke dalam kepanikan tiada tara, melainkan juga pada apa yang disebut sebagai negative chaos, sebuah keadaan yang kita alami sekarang: kekacauan informasi, kesimpangsiuran bahasa, dan relativitas radikal interpretasi. Orang-orang menggunakan jaringan media komunikasi bukan saja untuk menyampaikan informasi, tapi juga melakukan kejahatan-kejahatan virtual yang tak terduga: merampok rasionalitas, kesadaran, menjual kebohongan sebagai komoditi, dan terutama menularkan virus ketidakpercayaan dan spekulasi.

Sejujurnya, kita sadar kita berada di tengah kekacauan informasi. Hanya saja, kita masih enggan untuk menjadi produsen sekaligus konsumen yang cerdas dan selektif dalam mengkonsumsi sekaligus menyebarkannya kepada orang lain. (*)

*Latif Fianto adalah penulis dan dosen Ilmu Komunikasi Universitas Tribhuwana Tunggadewi.