Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Childfree


Oleh: Sri Subekti Wahyuningrum (*)

Childfree, istilah ini sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia khususnya generasi milenial yang dominan pengguna aktif sosial media. Sejumlah publik figur serta akademisi pun menaruh minat terhadap topik ini hingga dijadikan riset dalam penelitian. Beberapa ulama ternama juga turut membicarakan atau tepatnya berorasi tentang Childfree dari perspektif Islam.

Pasca youtuber lokal Gita Savitri Devi dalam konten youtubenya menyampaikan perihal komitmennya bersama sang suami untuk tidak mempunyai anak, istilah Childfree mulai disebut-sebut dan dibahas oleh warganet. Banyak bermunculan pro-kontra di media sosial, website, ebook, ataupun youtube, termasuk yang berani speak-up kepada publik tentang dirinya yang juga memilih gaya hidup Childfree.

Serupa aktris lokal sekaligus penyanyi muda yaitu Cinta Laura Kiehl atau nama panggungnya Cinta Laura yang juga mengungkapkan keinginannya tidak memiliki anak dan memilih mengadopsi anak-anak terlantar. Keinginan demikian tentu diakuinya sebagai kesadaran logika bukan karena paksaan atau pengaruh eksternal. Secara tidak eksplisit, ia juga   memperlihatkan bahwa pilihan seseorang untuk Childfree bukan berarti seseorang itu memiliki problem terhadap anak-anak. Buktinya ia diketahui sudah lama melibatkan diri dalam kegiatan sosial yang didalamnya melibatkan anak-anak, seperti pengadaan beasiswa sekolah untuk anak-anak yang terkendala masalah biaya (The Hermansyah A6, 2021).

Terlepas dari alasan Cinta Laura mengenai pilihan menjadi Childfree, permasalahan seperti kerusakan lingkungan yang diakibatkan ulah manusia itu sendiri serta fakta mengenai overpopulasi juga dikaitkan sebagai alasan seseorang untuk terbebas dari anak. Data yang bersumber dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah tercatat ada sekitar 7,7 miliar orang yang tinggal di muka bumi. Dan diprediksi tahun 2030 populasi manusia bisa bertambah hingga 8,5 miliar penduduk. Ada pula survei yang dilakukan seorang penulis buku berjudul Childness in United States, Tomas Sobotka mengungkapkan bahwa, kenyataan adanya overpopulasi menjadi salah satu alasan umum para perempuan yang memilih Childfree.

Dan bila kita ingin mengetahui dari mana istilah ini muncul pertama kali, ternyata bermula dari negara Barat sekitar abad ke-20. Berangkat dari kepercayaan Maniisme yang dianut St. Augustine bahwa membuat anak adalah suatu sikap tidak bermoral, dan dengan demikian (sesuai sistem kepercayaannya) dianggap menjebak jiwa-jiwa dalam tubuh yang tidak kekal. Untuk mencegahnya mereka mempraktikkan penggunaan kontrasepsi.

Selanjutnya, tahun 1970-an di Amerika Serikat, satu dari sepuluh perempuan memutuskan mengakhiri masa subur mereka tanpa hamil. Di tahun 2010, pilihan hidup Childfree meningkat dua kali lipat menjadi satu banding lima perempuan.

Apa itu Childfree

Sebutan Childfree umumnya digunakan untuk perempuan yang memutuskan dan memilih tidak menjadi seorang Ibu. Merujuk pada sepasang suami istri yang memilih tidak menghadirkan anak ditengah-tengah pernikahannya. Secara bahasa, Childfree diambil dari bahasa inggris “having no Child-Free; Childless, especially by choice” yang berarti tidak memiliki anak, terutama didasari oleh pilihan (Rozaq, M.A. 2021.Child-Free: Bagaimana Muslim Harus Bersikap?).

Istilah Childfree biasa digunakan untuk orang-orang yang memilih tidak memiliki anak, atau situasi tanpa adanya anak. Berbeda dengan istilah Childless yang mana lebih mengarah kepada kondisi seseorang yang tidak mampu memiliki anak yang disebabkan karena keadaan, kondisi kesehatan, atau faktor tertentu. Dari pengertian tersebut, Childfree berbeda dengan Childless.

Ada banyak alasan yang dikemukakan pasangan suami istri atau perempuan yang belum menikah dalam memilih gaya hidup Childfree, apabila kita melihat di negara Barat itu sendiri diantaranya anak dianggap sebagai penghalang pencapaian karier cemerlang, kebebasan yang terenggut, mengeluarkan banyak biaya dan tenaga, serta kekhawatiran diri yang tidak mampu memperlakukan seorang anak dengan baik. Dan kebanyakan  trend Childfree di negara barat terjadi pada kalangan perempuan yang berpendidikan tinggi, pasangan yang memiliki pendapatan tinggi, dan mereka yang tinggal di daerah urban. Karena trend ini sudah merambah ke Indonesia yang mayoritas beragama Islam yang sebagian meyakini akan istilah ‘banyak anak banyak rezeki’ tentu harus mempertimbangkannya dari sudut pandang Islam itu sendiri.

Pandangan Islam Mengenai Childfree

Tidak sedikit ustadz ternama yang menyinggung istilah Childfree ini. Dari Buya Yahya hingga Ustadz Adi Hidayat dalam ceramahnya menyampaikan bagaimana Islam menyikapi trend yang tengah menarik perhatian khalayak ramai. Secara garis besar keduanya menentang dan menganggap gaya hidup Childfree menyalahi anjuran dalam agama Islam, yakni mempunyai keturunan yang baik lagi bertakwa.

Allah SWT. berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 187, “Maka sekarang campurilah mereka dan ikuti apa yang telah ditetapkan Allah untukmu”. Apabila melihat arti ayat lebih lengkap, dijelaskan bahwa Allah SWT. menghalalkan untuk menggauli pasangan mereka yang mana keduanya saling melengkapi kalau dalam al-Quran diumpamakan mereka adalah pakaianmu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Selanjutnya, Allah SWT. memerintahkan kepada kita untuk mencari apa yang telah ditetapkan oleh Allah yang sudah jelas tidak lain dari konteks yang tengah kita bahas adalah fadhilahnya memiliki keturunan.

Dalam kitab al-Insyirah fi Adabi an-Nikah juga tercantum mengenai keinginan memiliki anak merupakan tujuan paling mulia dalam pernikahan (al-Huwayni: 93). Tentu normal-normal saja bilamana dalam pernikahan pasangan suami istri berkeinginan untuk memiliki anak, karena telah menjadi fitrahnya makhluk hidup sekalipun itu hewan memiliki keturunan. Oleh karena itu, dimaksudkannya pernikahan agar diri terhindar dari zina serta mendekatkan diri kepada Allah. Dan tentunya kehadiran anak dimasukkan ke dalam fadhilah dalam menikah.

Adapun firman Allah SWT. dalam surah Ar-Rum ayat 21 yang artinya “Dan diantara tanda-tanda kebesaran –Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan diantarmu kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi kaum yang berpikir.”

Ayat ini kembali mempertegas akan ketetapan Allah SWT. yang mana menjadikan manusia saling berpasang-pasangan, terciptanya rasa kasih dan sayang, serta cinta dari keduanya. Itu semua diperkuat dengan adanya rahim yang Allah letakkan sebagai identitas perempuan sebagai tempat terbentuknya nutfah hingga Allah SWT. meniupkan ruh pada janin tersebut beserta takdirnya di dunia hingga kembali kepada-Nya. Demikian itu telah Allah SWT. atur sebaik mungkin untuk makhluk-Nya.

Selaras dengan hadist Nabi SAW. “tazawwaju al-waduda al-waluda fainni mukatsirun bikum al-umama yauma al-qiyamah” yang artinya nikahilah perempuan yang penyayang dan melahirkan banyak anak, karena aku berbangga atas banyaknya kalian pada hari kiamat.

Dari dalil-dalil beserta beberapa hadist mengenai anjuran memiliki anak memperlihatkan bagaimana Islam menentang trend Childfree yang menyengajakan untuk tidak memiliki anak dengan berbagai alasan kecuali adanya masalah tertentu seperti penjelasan mengenai Childless sebelumnya. Memang ini termasuk pilihan dan hak masing-masing individu, namun pilihan yang menyalahi syariat dan sunnah Rasul. Kehilangan kesempatan untuk mendapatkan amal jariyah dari anak yang shalih, tidak ada doa yang memintakan ampunan untuk kita, tentu menjadi salah satu akibat dari memilih Childfree.

Mengenai tanggung jawab sebagai orang tua seperti membesarkan, merawat, dan mendidik hingga mengeluarkan biaya dan tenaga yang tidak sedikit dan jangka waktunya tidak sebentar tentu menjadi investasi dunia sekaligus akhirat bagi orang tua. Menikah saja sudah dianggap sebagai perbuatan amal sholeh dimana ladangnya pahala bagi sepasang suami-istri apalagi perasaan lelahnya mengasuh dan merawat anak termasuk dihitung sebagai pahala. Allahua’lam.

Kembali melihat bagaimana warganet Indonesia menyikapi trend Childfree, sekarang ini baiknya kita perlu mengetahui sejauh apa trend ini mempengaruhi pola pikir dan cara pandang masyarakat. Dari data yang dikeluarkan world bank tren dalam laman Media Indonesia, angka kelahiran di Indonesia terus mengalami penurunan, pada tahun 2019 angka kelahiran kasar per 1000 penduduk di Indonesia mencapai 17,75. Laju pertumbuhan penduduk antara tahun 2010-2020 menunjukkan angka 1, 25% yang semula ada di angka 1, 49%.

Fenomena ini bukan sepenuhnya karena keinginan suami-istri terbebas dari anak, perempuan yang memutuskan tidak memiliki anak, atau adanya Childless. Faktor pandemi sepertinya juga turut andil dalam menurunnya populasi manusia di Indonesia. Terlepas dari masalah pandemi yang sampai sekarang ini menjadi masalah bersama, dilihat dari fakta tersebut sepertinya trend ini belum terlalu mempengaruhi masyarakat Indonesia termasuk yang sudah open minded pikirannya.

Untuk mereka yang memilih menjadi Childfree atau tidak sekalipun baiknya kita bersikap toleransi. Kembali pada pilihan dan hak masing-masing individu. Kurang tepat apabila kita bersikap berlebihan seperti menghujat atau memarginalkan suatu kelompok yang berbeda pandangan dengan kita,  karena tidak ada cara pandang yang salah atau benar selama itu tidak merugikan atau mengusik kehidupan orang lain. Allahua’lam. (*)

*Perempuan kelahiran 2002 ini tinggal dan besar di desa Merden, Jawa Tengah. Sekarang ini ia disibukkan dengan kegiatan di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) Purwokerto dan studi di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI).