Childfree


Oleh: Bekti (*)

Pada tahun 2022, istilah childfree semakin populer di kalangan masyarakat Indonesia, terutama di kalangan generasi millenial yang tumbuh bersama perkembangan teknologi digital. Seiring dengan tren ini, beberapa tokoh publik mulai menyuarakan pandangan mereka mengenai childfree termasuk dari perspektif Islam.

Tulisan ini pun berangkat dari siniar Gita Savitri Devi (Gitasav), seorang influencer, youtuber, dan penulis yang secara terbuka membagikan keputusan bersama suaminya untuk memilih childfree. Hal serupa juga dilakukan oleh aktris dan penyanyi Cinta Laura Kiehl yang mengungkapkan kemauannya untuk childfree dengan mengadopsi anak-anak terlantar sebagai alternatif lainnya. Intensi mereka tentu datang dari kesadaran dan pertimbangan logis bukan paksaan atau intervensi orang lain. Apalagi di balik pilihan ini, ada sejumlah isu besar yang membayangi seperti overpopulasi, kemiskinan struktural, dan kerusakan lingkungan yang momoknya dari manusia itu sendiri. Namun, yang menarik adalah mereka mampu menawarkan perspektif baru dengan menyertakan realitas konkret di negara yang masih memegang prinsip "banyak anak banyak rezeki." Wow, adiwarna sekali!

Kalau merujuk pada data dari Population Today, saat ini (2022) jumlah penduduk bumi tercatat mencapai lebih dari 7,99 miliar jiwa dengan tingkat pertumbuhan sebesar 0,864%. Diperkirakan pada tahun 2030, populasi manusia bisa mencapai sekitar 8,53 miliar jiwa dengan laju pertumbuhan yang sedikit melambat menjadi 0,759%. Di tengah realitas ini, apakah tren childfree masih relevan? 

Selain itu, ada temuan menarik dari survei yang dilakukan oleh Tomas Sobotko, penulis buku Childness in United States (2017-2018), yang mengungkapkan bahwa salah satu alasan umum di balik keputusan banyak perempuan untuk memilih childfree adalah kekhawatiran tentang overpopulasi. Di Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, populasi telah mencapai lebih dari 270 juta jiwa. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), laju pertumbuhan penduduk Indonesia berkisar antara 0,9% hingga 1,17% per tahun. Dengan beratnya tekanan sumber daya, lingkungan, dan kualitas hidup yang makin kompleks, tren childfree bukan cuma soal gaya hidup tapi bentuk kepedulian dan respons terhadap kondisi demografi yang semakin padat. Jadi, apakah tren ini bukan lagi sekedar keputusan pribadi tapi pertimbangan logis untuk masa depan bumi tempat kita hidup?

Apa itu childfree

Term childfree versi lebih ringannya itu jalan hidup tanpa momok anak. Merujuk pada pasangan suami istri yang memilih tidak menghadirkan anak di tengah perkawinannya. Secara etimologi, childfree diambil dari bahasa inggris “having no Child-Free; Childless, especially by choice” yang berarti tidak memiliki anak, terutama didasari oleh pilihan (Rozaq, M.A. 2021.Child-Free: Bagaimana Muslim Harus Bersikap?). Berbeda dengan istilah childless, mengarah kepada kondisi seseorang yang tidak mampu memiliki anak yang disebabkan karena keadaan, kondisi kesehatan, atau faktor tertentu. Pada inti sarinya, childfree berbeda dengan childless.

Tren childfree dalam Islam

Beberapa tokoh agama juga mulai menanggapi tren childfree yang kerap dianggap sebagai adopsi dari budaya Barat. Dalam berbagai forum publik, misalnya Buya Yahya dan Ustadz Adi Hidayat menyampaikan bahwa pilihan hidup tanpa anak dinilai bertolak belakang dengan nilai-nilai Islam yang menganjurkan umatnya untuk memiliki keturunan yang saleh dan bertakwa. Perspektif ini didasarkan pada firman Allah SWT. dalam QS Al-Baqarah ayat 187, yang berbunyi: “Maka sekarang campurilah mereka dan ikuti apa yang telah ditetapkan Allah untukmu”. Jika merujuk pada penafsiran yang lebih luas, ayat ini menjelaskan bahwa Tuhan menghalalkan hubungan suami istri - dimana keduanya diibaratkan pakaian satu sama lain - dan memerintahkan manusia untuk menjalani apa yang telah ditetapkan-Nya, termasuk dalam hal ini adalah keutamaan memiliki keturunan. Selaras dengan hadist Nabi SAW. yang berbunyi: “tazawwaju al-waduda al-waluda fainni mukatsirun bikum al-umama yauma al-qiyamah” yang artinya nikahilah perempuan yang penyayang dan melahirkan banyak anak, karena aku berbangga atas banyaknya kalian pada hari kiamat. Dari dalil beserta hadist mengenai anjuran memiliki anak memperlihatkan bagaimana Islam menentang tren childfree yang menyengajakan untuk tidak memiliki anak dengan berbagai alasan kecuali adanya masalah tertentu seperti penjelasan mengenai childless sebelumnya. 

Respons sosial terhadap tren childfree di Indonesia

Meskipun pilihan hidup tanpa anak semakin terbuka dibicarakan, adanya gap antara generasi tua dengan generasi muda, minimnya keterampilan untuk memahami perspektif baru atau comprehending skill, membuat pasangan childfree menghadapi tekanan sosial yang mau tidak mau harus selalu "tiptoeing" dengan pilihan mereka sendiri. Responnya banyak bentuk dari pertanyaan "kapan punya anak?" hingga stigma terhadap perempuan childfree sebagai individu egois, kurang bersyukur, tersesat, atau terlalu mementingkan karier. Sementara untuk laki-laki bisa diasosiasikan sebagai individu yang lemah syahwat. Out of context!

Tapi, di tengah respons sosial terhadap tren childfree yang demikian, bermunculan pula suara-suara yang memahami keputusan hidup tanpa anak ini dengan empatik. Seorang warganet menuliskan: "Merasakan sendiri seperti apa merawat dan membesarkan anak. Jadi, menurut pemikiran saya, menikah dan punya anak adalah keputusan besar. Jika hanya menikah saja, kehidupan belum begitu berubah. Tapi ketika punya anak, kehidupan sudah berubah. Membesarkan anak itu butuh kesiapan mental dan finansial." 

Warganet lainnya menuliskan: "Saya seorang nakes dan melihat sendiri ibu-ibu muda yang melahirkan tidak mau atau tidak mengerti mengurus newborn. Anak jadi kena penyakit dan nyawa terancam, dengan childfree menurut saya jauh lebih baik daripada menelantarkan anak atau alasan superficial misalnya lucu dan biar ada yang mengurus waktu tua." DAMN! Demi Apa Mau Nangis.

Pernyataan ini menggambarkan bahwa bagi sebagian orang, keputusan untuk memilih childfree bukan berarti menolak terhadap nilai keluarga, justru bentuk tanggung jawab bahwa menghadirkan anak tidak cukup perkara cinta tetapi kesiapan secara emosional, sosial, dan ekonomi. Bagaimana menurutmu?

*Calon entri Wikipedia, masih nunggu diedit sama semesta.